Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pelaku Industri Sawit Pertanyakan Dasar Penetapan 436 Kebun Sawit di Dalam Kawasan Hutan

Banyak perusahaan dalam daftar kebun tak berizin di kawasan hutan dalam SK Menteri Kehutanan No. 36/2025 disebut telah memenuhi syarat legalitas lahan
Suaka Margasatwa Rawa Singkil di Aceh sejak awal 2019 hingga Juni 2023 telah kehilangan 1.324 hektare (Ha) tutupan hutan, hampir setara dengan lima kali luas kompleks Gelora Bung Karno (GBK) di Jakarta. Hal ini terjadi akibat maraknya perambahan dan alih fungsi hutan ke perkebunan kelapa sawit./change.org
Suaka Margasatwa Rawa Singkil di Aceh sejak awal 2019 hingga Juni 2023 telah kehilangan 1.324 hektare (Ha) tutupan hutan, hampir setara dengan lima kali luas kompleks Gelora Bung Karno (GBK) di Jakarta. Hal ini terjadi akibat maraknya perambahan dan alih fungsi hutan ke perkebunan kelapa sawit./change.org

Bisnis.com, JAKARTA — Pemangku kepentingan industri sawit buka suara soal status 436 perusahaan perkebunan sawit yang terindikasi memiliki kebun tanpa izin dalam kawasan hutan sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 36/2025.

Dalam SK tersebut, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menetapkan daftar perusahaan sawit sebagai subjek hukum dengan perkebunan yang telah terbangun dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan.

Keputusan tersebut menyebutkan bahwa area perkebunan seluas 790.474 hektare (ha) yang terindikasi berada di dalam kawasan hutan dinyatakan sedang dalam proses penyelesaian karena telah memenuhi kriteria Pasal 110A Undang-Undang Cipta Kerja. Namun, terdapat area seluas 317.253 ha yang dinyatakan ditolak permohonan penyelesaiannya karena tidak memenuhi kriteria Pasal 110A UUCK.

Ketua Umum Rumah Sawit Indonesia Kacuk Sumarto mengemukakan SK tersebut tidak bisa dijadikan dasar untuk menentukan apakah perkebunan kelapa sawit beroperasi di dalam kawasan hutan. Dia memberi catatan soal deretan perusahaan sawit dalam daftar yang telah memenuhi alas legalitas lahan yang sah berupa hak guna usaha (HGU) oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/ BPN).

“Ada kebun yang HGU-nya sudah perpanjangan, tapi masuk dalam daftar SK tersebut. Mestinya, SK yang bersifat penunjukan tidak bisa dijadikan dasar penetapan kawasan hutan. Harus ada proses verifikasi lapangan, pengukuran dan lain-lain,” kata Kacuk di sela-sela Konferensi Internasional RSI di Medan, Rabu (19/2/2025).

Mengutip Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, khususnya pasal 15, Kacuk mengatakan penunjukan kawasan hutan merupakan awal dari proses penetapan kawasan hutan. Setidaknya terdapat tiga tahap lainnya hingga status di dalam kawasan hutan disematkan.

“Terbitnya SK harus dicek terlebih dahulu, dasar pengenaannya oleh SK yang mana, SK Penunjukan atau SK Penetapan. Kalau hanya SK Penunjukan ya tentunya tidak sah untuk mengatakan suatu lahan masuk di dalam kawasan hutan,” paparnya.

Kacuk mengatakan inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam penetapan kawasan hutan akan membawa dampak pada komoditas sawit di level global. Terlebih di tengah tudingan deforestasi yang disematkan ke sektor ini.

“Ini akan makin menyulitkan komoditas minyak sawit untuk menembus pasar Eropa. Orang Eropa akan bilang, lho pemerintah Indonesia sendiri kan yang mengatakan bahwa ada kebun sawit di kawasan hutan,” katanya.

Sementara itu, Direktur Sawit Watch Achmad Surambo memberi catatan soal kelanjutan SK Menhut No. 36/2025, terutama soal permasalahan status kebun di dalam kawasan hutan yang penyelesaiannya ditolak.

“Apakah akan diambil alih dan dikelola BUMN atau akan dihutankan kembali. Jika dibiarkan tanpa pengawasan maka dikhawatirkan akan dimanfaatkan atau menjadi ‘bancakan’ bagi kelompok tertentu yang tidak bertanggung jawab,” kata Surambo, dikutip Senin (17/2/2025).

Sawit Watch pun mendesak pengambilan langkah penegakan hukum pidana kehutanan terhadap perusahaan perkebunan tersebut.

Surambo mengatakan komitmen dan implementasi dalam mendorong prinsip sawit berkelanjutan dalam tata kelola perkebunan perusahaan sawit patut dipertanyakan. Hal ini tak lepas dari temuan pengelolaan kebun ilegal di kawasan hutan terlepas dari sertifikat ISPO dan RSPO yang telah dikantongi perusahaan.

Hasil investigasi dan rekapitulasi Sawit Watch dari 15 Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan memperlihatkan bahwa terdapat 11 grup besar anggota RSPO di Provinsi Riau dengan total luasan mencapai 59.817,70 ha. Sementara di Provinsi Kalimantan Tengah, terdapat 10 grup besar sawit dengan total luasan mencapai 134.319,63 ha.

Sawit Watch pun meminta RSPO untuk mengambil tindakan tegas atas indikasi aktivitas perkebunan sawit ilegal anggotanya di kawasan hutan misal. Salah satu langkah yang disarankan diambil adalah pembekuan status keanggotaan dan sertifikat keberlanjutan perusahaan yang membuka kawasan hutan tanpa izin.

“Bagi Pemerintah Indonesia juga perlu melakukan audit terhadap perusahaan-perusahaan yang memiliki sertifikat ISPO,” tambah Surambo.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper