Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia masih berkomitmen dalam Paris Agreement atau perjanjian iklim Paris meskipun Amerika Serikat lebih memilih mundur dari komitmen tersebut.
Untuk diketahui, Amerika Serikat (AS) akan keluar secara resmi dari kesepakatan iklim Perjanjian Paris pada 27 Januari 2026. Hengkangnya AS dari Perjanjian Paris diumumkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Selasa (28/1/2025), setelah Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menerima notifikasi penarikan diri resmi dari Washington, menurut laporan Reuters.
Sebagaimana diketahui, Presiden Donald Trump secara resmi kembali menarik keluar Amerika Serikat dari Perjanjian Paris. Keputusan ini tertuang dalam perintah eksekutif (executive order) yang ditandatangani Trump setelah resmi dilantik untuk periode kedua, Senin (20/1/2025).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan Indonesia tak akan mengikuti jejak Amerika Serikat (AS) keluar dari perjanjian iklim Paris atau Paris Agreement. Perjanjian Paris 2016 merupakan perjanjian komitmen untuk memitigasi perubahan iklim antar negara-negara di dunia. Namun demikian, kebijakan energi nasional harus mempertimbangkan skala prioritas, termasuk biaya listrik dan keuangan negara.
“Oh enggak ada keluar dari Paris Agreement, kita masih tetap komitmen. Tapi kita lihat skala prioritas untuk melihat keuangan negara dan biaya listrik kita,” ujarnya, Selasa (11/2/2025).
Menurutnya, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara masih menjadi pilihan yang sulit dihindari karena faktor biaya murah. Hal ini karena biaya produksi listrik dari PLTU hanya sekitar 5 sen hingga 6 sen per kWh, sementara energi baru terbarukan (EBT) bisa mencapai lebih dari 10 sen per kWh.
Baca Juga
“Kalau kita pakai energi baru terbarukan di atas 10 sen. Bahkan selisihnya kalau kita pakai antara batubara dan gas, per satu gigawatt per tahun bisa mencapai Rp5 triliun-Rp6 triliun. Jadi Rp5 triliun hingga Rp6 triliun ini siapa yang menanggung? negara? subsidi lagi, atau rakyat?,” katanya.
Dia menilai beban biaya ini harus ditanggung oleh negara melalui subsidi atau dialihkan ke masyarakat. Jika negara maju seperti Amerika Serikat (AS) saja keluar dari Paris Agreement, maka Indonesia juga jangan turut memaksakan.
Namun demikian, pemerintah Indonesia tetap berkomitmen untuk menggunakan energi hijau dan mendukung transisi energi. Salah satu strategi yang sedang dikembangkan adalah co-firing atau pencampuran batubara dengan gas dan energi surya, serta penggunaan teknologi carbon capture untuk mengurangi emisi dari PLTU.
Terkait dnegan rencana pensiun dini PLTU, Bahlil menyatakan proses ini akan tetap berjalan secara bertahap. Salah satu langkah konkret yang telah dilakukan adalah pensiun dini PLTU Cirebon berkapasitas 600 megawatt (MW). Langkah ini menjadi salah satu wujud komitmen pemerintah untuk menekan emisi rumah kaca.
“Pasti waktunya untuk pensiun karena kan 600 MW yang kita lakukan di Cirebon,” ucap Bahlil.
Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) Hanif Faisol Nurofiq menuturkan komitmen Indonesia mengambil langkah mengatasi isu iklim meski Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump telah menarik diri dari Perjanjian Paris.
Merujuk pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam KTT G20 di Brazil pada November 2024, Hanif mengatakan pihaknya berkomitmen mengambil langkah-langkah menghadapi isu iklim dalam upaya menekan kenaikan suhu Bumi.
“Ini komitmen akhir yang disampaikan Pak Presiden sampai hari ini sehingga kemudian pada saat dikontribusi dengan Presiden Trump yang keluar dari Paris Agreement, kita masih memegang pada arahan pidato Pak Presiden secara resmi di dalam G20 di Brazil,” ujarnya dilansir Antara.
Hal itu akan diwujudkan dalam program yang diusung KLH/BPLH pada 2025 merujuk kepada Asta Cita yaitu mendorong kemandirian dalam hal air dan ekonomi hijau, hilirisasi industri berbasis sumber daya alam serta pembangunan yang berketahanan iklim.
Dia menyampaikan tema pembangunan lingkungan hidup untuk tahun ini yakni optimalisasi ekonomi sirkular dan nilai ekonom karbon untuk mendorong ketahanan pangan dan energi dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan
“Ada indikator kinerja utama yang akan kita capai sesuai dengan draft final RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) yang menunggu pengesahannya,” katanya.
Beberapa indikator kinerja utama 2025 itu termasuk prosentase penurunan emisi gas rumah kaca dari lima sektor yang selaras dengan pembangunan rendah karbon mencapai 26,67%, indeks kinerja pengelolaan sampah mencapai 58 poin, indeks daya dukung dan data tampung lingkungan hidup 0,567 poin serta indeks kualitas lingkungan hidup mencapai 76,49 poin.
CARI SUMBER ENERGI
Sementara itu, Direktur Eksplorasi PT Pertamina Hulu Energi (PHE) Muharram Jaya Panguriseng menilai langkah Presiden AS Donald Trump menarik Negeri Paman Sam dari Perjanjian Paris, harus direspons oleh Indonesia.
Menurutnya, langkah Trump tersebut menegaskan bahwa AS masih akan menggunakan energi fosil. Oleh karena itu, Indonesia pun harus mengambil sikap.
Muharram berpendapat tidak adil jika negara besar seperti AS masih menggunakan energi fosil, bahkan melakukan pengeboran minyak, sementara RI harus melakukan transisi energi.
Oleh karena itu, Muharram mengatakan, jika Indonesia ingin menjadi negara maju pada 2045 dan mencapai pertumbuhan ekonomi 8%, pencarian sumber energi baru lewat pengeboran menjadi keniscayaan.
“Cari, cari, cari sumber energi baru. Oleh sebab itu, ketika Protokol Paris itu sering di-down-kan, saya terus terang punya program sendiri yang betul-betul akan mengenai itu. Yaitu agresivitas dari pengeboran eksplorasi di PHE,” ucapnya.
Menurutnya, untuk mencapai swasembada energi, PHE harus mengambil peran untuk terus mencari sumber migas baru. Untuk itu, PHE memiliki tiga strategi untuk meningkatkan lifting. Pertama, mempertahankan aktivitas eksplorasi di blok-blok yang sudah dimiliki pertahanan sekarang. Kedua, PHE harus diberi blok baru. Menurut Muharram, blok-blok baru memiliki potensi untuk menumbuhkan produksi migas. Ketiga, mencari partner untuk mencari blok-blok baru.
“Jadi bukan hanya kita mikirin, partner kita itu memikirkan sehingga ada partner untuk diskusi,” tutur Muharram.
Terpisah, Policy Strategist Cerah Sholahudin Al Ayubi berpendapat sejumlah konsekuensi membayangi Indonesia di masa depan jika memutuskan mundur dari Perjanjian Paris. Dampaknya sama sekali tidak menguntungkan bagi Indonesia dan bisa menjadi bunuh diri ekonomi sesungguhnya.
Hal ini melihat pernyataan Utusan Khusus Presiden RI Bidang Iklim dan Energi Hashim S Djojohadikusumo, yang secara tersirat mempertanyakan keikutsertaan Indonesia dalam Perjanjian Paris. Selain itu, juga disusul disetujuinya rancangan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang masih mempertahankan PLTU.
Menurut Sholahudin, hal tersebut merupakan sinyal pelemahan transisi energi yang akan memperburuk krisis iklim dan pada gilirannya berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi. Dengan meratifikasi Perjanjian Paris, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi hingga 31,89% dengan upaya sendiri dan 43,2% dengan dukungan internasional pada 2030.
Sektor energi sendiri termasuk penghasil emisi terbesar, sehingga Indonesia menargetkan pensiun dini PLTU dan bertransisi ke energi terbarukan. Namun, sinyal-sinyal pembatalan pensiun dini PLTU justru menguat. Hal ini diperburuk dengan disetujuinya Rancangan Peraturan Pemerintah tentang KEN oleh DPR, yang menunjukkan penggunaan PLTU hingga 2060 akan tetap dilanjutkan dengan memanfaatkan teknologi penangkapan karbon dan co-firing.
“Pernyataan pemerintah yang ragu melanjutkan Perjanjian Paris dan kemungkinan membatalkan pensiun dini PLTU perlu dipertimbangkan ulang. Pensiun dini PLTU justru bisa membuka peluang ekonomi yang lebih baik untuk masa depan Indonesia, karena tren investasi global kini mengarah pada negara-negara yang memiliki komitmen kuat untuk bertransisi dan menyediakan sumber energi hijau,” terangnya.
Dia menuturkan ada beberapa dampak yang akan terjadi pada Indonesia jika keluar dari Perjanjian Paris. Pertama, turunnya kepercayaan internasional terhadap Indonesia sebagai mitra global untuk mengatasi krisis iklim.
Hal ini berdampak pada hubungan diplomatik dan perdagangan, terutama dengan negara-negara yang memiliki standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), serta pembangunan berkelanjutan yang ketat, seperti Uni Eropa.
Kedua, berpotensi menghambat aliran investasi asing ke Indonesia khususnya dari negara-negara yang berkomitmen pada pembiayaan hijau dan proyek berkelanjutan.
Sejumlah negara telah melakukan penjajakan, bahkan bekerja sama dengan Indonesia di sektor energi bersih, seperti Singapura, Norwegia, Jepang, Uni Emirat Arab (UEA), Jerman dan negara lainnya.
“Jadi, transisi energi sesungguhnya tidak hanya soal upaya menurunkan emisi, melainkan juga cara memaksimalkan potensi ekonomi Indonesia yang sesungguhnya. Jika hal ini tidak kita lakukan, Indonesia akan semakin tertinggal dalam laju supply-demand transisi energi yang sedang terjadi di hampir seluruh negara,” ujarnya.
Ketiga, pembangunan energi terbarukan di Indonesia akan terhambat dan ketergantungan negara pada bahan bakar fosil, khususnya batu bara, semakin kuat. Kondisi ini akan membebani ekonomi negara, mengingat subsidi bahan bakar fosil pada 2024 saja menelan anggaran hingga Rp386,9 triliun yang hampir setengahnya atau Rp156,4 triliun, digunakan untuk subsidi dan kompensasi listrik.
Tak hanya itu, laporan International Renewable Energy Agency (IRENA) dan Kementerian ESDM bertajuk Indonesia Energy Transition Outlook (2022) menyebutkan, transisi dari bahan bakar fosil dapat mengurangi biaya eksternalitas polusi dan perubahan iklim, dengan potensi penghematan hingga US$20 miliar hingga US$38 miliar per tahun atau sekitar 2% hingga 4% produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2050.
“Biaya transisi energi terbarukan kini 40% hingga 80% jauh lebih murah sejak 10 tahun terakhir. Transisi ke energi terbarukan membantu Indonesia mengurangi ketergantungan pada subsidi bahan bakar fosil yang membebani anggaran negara, sekaligus menciptakan kemandirian energi dan peluang ekonomi jangka panjang,” katanya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat pengembangan EBT di Indonesia akan tetap jalan meskipun AS mengambil langkah mundur dalam kebijakan iklimnya.
“Pengembangan EBT di Indonesia tidak terdampak dengan keluarnya Trump dari Paris Agreement. Ini kan kebijakan unilateral AS,” ucapnya.
Terlebih dalam beberapa kesempatan di konferensi internasional, Presiden Prabowo Subianto menegaskan peningkatan penggunaan pembangkit energi baru terbarukan dan mengurangi penggunaan pembangkit fosil. Hal ini menjadi acuan dalam pengembangan energi hijau di Indonesia.
INSENTIF PELAKU USAHA
Di sisi lain, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Eniya Listiani mengatakan Pemerintah akan memberikan insentif kepada pelaku yang mengupayakan penurunan emisi karbon. Adapun hal ini sebagai supaya untuk mencapai nol emisi karbon atau Net Zero Emission (NZE).
Adapun rencana insentif tersebut akan tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).
Insentif yang hendak diberikan khusus bagi pelaku industri yang melakukan dekarbonisasi akan diatur dalam peraturan teknis setelah RUU tersebut disahkan.
“Satu pasal yang penting untuk industri, bahwa semua industri, badan usaha yang mengupayakan penurunan emisi. Itu mendapatkan insentif melalui nilai ekonomi karbon. Undang-undangnya seperti itu nantinya. Ini nanti diturunkan, seperti apa model insentifnya. Jadi model real-nya seperti apa itu belum, karena kita masih menunggu RUU EBT ini bisa disahkan,” tuturnya dilansir Antara.
Adapun esensi dari pasal tersebut yakni untuk menjadi pemacu pengusaha industri di Tanah Air untuk melakukan dekarbonisasi, mengingat swasembada dan transisi energi menjadi salah satu prioritas yang ditetapkan oleh Presiden Prabowo.
“Pemerintahan Pak Prabowo itu urgent sekali untuk memantapkan swasembada energi dan penurunan emisinya,” katanya.
Dia mencontohkan pada 2018, pemerintah membuat stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) pertama yang ditujukan untuk menjadi pemicu ekosistem kendaraan listrik yang mendukung transisi energi di Tanah Air.
“Lalu kan baru mobil-mobil listrik berdatangan,” ujar Eniya.