Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nasib Pembiayaan Transisi Energi Indonesia: Amerika Serikat Mundur, Uni Eropa Bertahan

Uni Eropa dan Prancis mengumumkan pemberian hibah senilai 14,7 juta euro untuk transisi energi Indonesia dan menegaskan komitmen pendanaan iklim
Iim Fathimah Timorria,Lorenzo Anugrah Mahardhika
Kamis, 6 Februari 2025 | 11:00
Teknisi melakukan pengecekan rutin pada proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata di Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Selasa (26/9/2023). (Bisnis Indonesia/Rachman)
Teknisi melakukan pengecekan rutin pada proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata di Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Selasa (26/9/2023). (Bisnis Indonesia/Rachman)

Bisnis.com, JAKARTA — Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk menghentikan pendanaan iklim internasional sempat menimbulkan pertanyaan mengenai nasib proyek-proyek ketahanan iklim dan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia, tak terkecuali dalam skema Just Energy Transition Partnership (JETP).

Bagaimana tidak, sejak diluncurkan pada 2022, tak sepeser pun mengalir ke proyek-proyek transisi energi Indonesia. Setidaknya demikian kesaksian sejumlah pejabat di Tanah Air.

Belum lama ini, Utusan Khusus Presiden RI Bidang Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo mendaulat komitmen pendanaan transisi energi JETP sebagai program gagal.

Dia berpandangan komitmen mobilisasi pendanaan senilai US$20 miliar atau setara Rp325,94 triliun (asumsi kurs Rp16.297 per dolar AS) yang dipimpin Amerika Serikat dan Jepang itu hanya omong kosong.

“JETP itu gagal, program gagal. Dua tahun berjalan, tetapi tidak satu dolar pun dikucurkan oleh pemerintah Amerika Serikat. Banyak omon-omon ternyata,” kata Hashim dalam ESG Sustainability Forum 2025, Jumat (31/1/2025).

Hashim mengatakan terdapat salah satu klausul dalam JETP yang menyebutkan bahwa komitmen hibah US$5 miliar dari Amerika Serikat hanya akan dimobilisasi jika dana tersedia. Alhasil, keputusan pemerintahan baru di bawah Presiden Donald Trump untuk menarik bantuan internasional senilai US$11 miliar bakal turut berimpak ke janji AS dalam JETP.

“Saya kira kata jangan harapkan deh US$20 miliar. Saya juga melihat komitmen ESG [environment, social and governance] kita nanti teruji karena Pak Prabowo sudah menetapkan target pertumbuhan ekonomi 8%,” imbuh Hashim, merujuk pada kebutuhan energi Indonesia yang besar untuk menopang aktivitas ekonomi.

Kekhawatiran Indonesia, sedikit terobati untuk saat ini. Sebab Uni Eropa dan Prancis mengumumkan pemberian hibah senilai 14,7 juta euro atau sekitar Rp249,01 miliar (kurs 1 euro= Rp16.945) guna membantu upaya transisi energi Indonesia.

Hibah ini diberikan melalui program Indonesia Energy Transition Facility (IETF) yang dirancang oleh Badan Pembangunan Prancis atau Agence Française de Développement (AFD). IETF dibentuk sebagai dukungan untuk implementasi JETP.

“JETP adalah bukti nyata dari apa yang bisa dicapai jika negara-negara bersatu. Dalam hal ini, Prancis benar-benar serius merealisasikan komitmennya dengan dukungan pendanaan sebesar 500 juta euro melalui AFD,” kata Duta Besar Prancis untuk Indonesia, Timor Leste dan Asean Fabien Penone dalam acara Kick-off Meeting Indonesia Energy Transition Facility di Jakarta pada Rabu (5/2/2025).

Penone mengemukakan realisasi dukungan pendanaan tersebut berjalan sesuai harapan, dengan 450 juta euro di antaranya telah disetujui untuk disalurkan oleh Dewan AFD dan sedang dalam proses penandatanganan dengan otoritas Indonesia.

Komitmen Uni Eropa ketika Amerika Serikat Tinggalkan Perjanjian Paris

Pada kesempatan ini, Uni Eropa juga kembali menegaskan komitmennya untuk mendukung upaya global dalam menangkal dampak perubahan iklim. Salah satunya dengan tetap mempertahankan posisi di kesepakatan iklim Perjanjian Paris, meski Amerika Serikat memutuskan hengkang.

Direktur Urusan Internasional dan Pendanaan Perubahan Iklim Direktorat Jenderal Aksi Perubahan Iklim Komisi Eropa Diana Acconcia tidak memungkiri bahwa mundurnya AS dari dari Perjanjian Paris meninggalkan lubang yang besar dalam upaya global menghentikan pemanasan global.

"Kami sangat menyayangkan hal ini [penarikan AS dari Perjanjian Paris]. Namun ini tak lantas menghentikan dan memperlambat upaya kami dalam melawan perubahan iklim,” kata Acconcia.

Dia mengemukakan upaya menghentikan perubahan iklim memerlukan persatuan negara-negara. Pesan inilah yang ingin disampaikan Uni Eropa untuk Indonesia, kata Acconcia.

“Saya juga ingin mengatakan bahwa Uni Eropa tidak akan mundur,” kata dia.

Oleh karena itu, Acconcia memastikan Uni Eropa mempertahankan komitmennya untuk mencapai emisi karbon nol (zero carbon emission) pada 2050 mendatang. Blok kerja sama sama itu tercatat memiliki target pengurangan emisi sebesar 55% pada 2030 dan kini hanya menyumbang 6% dari total emisi dunia. Di sisi lain, China, Amerika Serikat, dan India kini mengeluarkan emisi lebih banyak dibandingkan dengan Uni Eropa.

Acconcia turut menyoroti peluang besar Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tanpa emisi karbon tinggi melalui transisi hijau, sebagaimana telah dicapai Uni Eropa.

“Kami memiliki teknologi yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi dengan cara yang berbeda—dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistem planet kita,” katanya.

Indonesia, lanjut Acconcia, bisa menerapkan model pertumbuhan ekonomi serupa. Terlebih dengan tren investasi perusahaan-perusahaan internasional di pusat industri hijau dalam rangka dekarbonisasi aktivitas produksi mereka.

“Indonesia memiliki semua yang dibutuhkan untuk mendukung perusahaan-perusahaan yang ingin datang ke sini. Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar, tenaga surya, panas bumi, serta mineral penting untuk teknologi hijau,” kata dia.

Acconcia meyakini daya saing Indonesia dalam perekonomian akan bergantung pada pengurangan emisi karbon dalam sistem energinya, dengan secara bertahap beralih dari penggunaan bahan bakar fosil.

“Ada banyak alasan mengapa transisi energi penting bagi Indonesia. Dan ada banyak alasan mengapa Uni Eropa, Prancis, dan negara-negara anggota lainnya menjadi mitra dalam perjalanan Indonesia menuju masa depan yang lebih berkelanjutan,” tutup Acconcia.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper