Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RI Tetap Komitmen Tangani Masalah Iklim Meski Trump Keluar Perjanjian Paris

Indonesia berkomitmen mengambil langkah mengatasi isu iklim meski Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump telah menarik diri dari Perjanjian Paris.
Ilustrasi gelombang panas atau heatwave. Dok BMKG
Ilustrasi gelombang panas atau heatwave. Dok BMKG

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menyatakan Indonesia tetap melakukan upaya untuk menangani perubahan iklim. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam pertemuan internasional.

Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) Hanif Faisol Nurofiq mengatakan komitmen Indonesia mengambil langkah mengatasi isu iklim meski Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump telah menarik diri dari Perjanjian Paris (Paris Agreement).

Merujuk pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam KTT G20 di Brazil pada November 2024, Hanif mengatakan pihaknya berkomitmen mengambil langkah-langkah menghadapi isu iklim dalam upaya menekan kenaikan suhu Bumi.

“Ini komitmen akhir yang disampaikan Pak Presiden sampai hari ini sehingga kemudian pada saat dikontribusi dengan Presiden Trump yang keluar dari Paris Agreement, kita masih memegang pada arahan pidato Pak Presiden secara resmi di dalam G20 di Brazil,” ujarnya dilansir Antara, Kamis (6/2/2025). 

Hal itu akan diwujudkan dalam program yang diusung KLH/BPLH pada 2025 merujuk kepada Asta Cita yaitu mendorong kemandirian dalam hal air dan ekonomi hijau, hilirisasi industri berbasis sumber daya alam serta pembangunan yang berketahanan iklim.

Dia menyampaikan tema pembangunan lingkungan hidup untuk tahun ini yakni optimalisasi ekonomi sirkular dan nilai ekonom karbon untuk mendorong ketahanan pangan dan energi dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan

“Ada indikator kinerja utama yang akan kita capai sesuai dengan draft final RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) yang menunggu pengesahannya,” katanya. 

Beberapa indikator kinerja utama 2025 itu termasuk prosentase penurunan emisi GRK dari lima sektor yang selaras dengan pembangunan rendah karbon mencapai 26,67%, indeks kinerja pengelolaan sampah mencapai 58 poin, indeks daya dukung dan data tampung lingkungan hidup 0,567 poin serta indeks kualitas lingkungan hidup mencapai 76,49 poin.

Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengakui pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia diadang ketidakpastian dengan keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menarik diri dari komitmen iklim Paris Agreement.

“Yang menginisiasi Paris Agreement perlahan-lahan sudah mulai mundur. Amerika sudah mulai mundur dari itu setelah mengkaji ulang. Tapi oke, kita kan bagian daripada konsensus global yang harus kita jalanin,” ucapnya Kamis (30/1/2025). 

Kendati demikian, posisi Indonesia masih menjadi bagian dari konsensus global tersebut. Adapun, komitmen transisi energi bersih yang disepakati secara global pada 2016 itu telah memicu lembaga-lembaga keuangan dunia untuk membiayai proyek yang pendekatannya pada energi hijau. 

“Presiden Amerika baru terpilih langsung mundur barang ini? Mundur daripada Paris Agreement padahal salah satu yang mempelopori. Dia yang memulai, tapi engkau juga yang mengakhiri. Nah, kalau otaknya, kalau pemikirnya, negara yang memikirkan ini aja mundur, masa kita yang follower ini mau masuk pada jurang itu?” tuturnya. 

Dalam hal ini, Bahlil mengakui bahwa ongkos untuk pengembangan EBT lebih mahal dibandingkan energi yang emisi karbonnya masih tinggi. 

“Tapi waktu itu kan kita mau tidak mau harus ikuti konsensus itu dan itu kemudian menjadi satu hal yang harus dilakukan. Mulailah orang bangun [energi] air, matahari, angin, gas,” ujarnya. 

Bahlil menyebut, saat ini posisi Indonesia sangat dilematis mengikuti sentimen saat ini. Namun, dia menegaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto mengamanahkan dirinya untuk kedaulatan energi. 

Menurut dia, untuk mewujudkan kedaulatan energi, maka bukan berarti seluruh energi diganti menjadi EBT. Untuk itu, Indonesia saat ini masih terus melakukan perhitungan potensi energi hijau yang ada dari air, matahari, angin, geothermal, batu bara. 

“Jadi kalau pakai energi baru terbarukan itu bukan power plant [pembangkit listrik] yang dipindahin tapi bagaimana membangun transmisinya,” katanya. 

Untuk mendorong EBT, terdapat dua konsep yang dilakukan ke depannya yakni terkait pembangunan alat transmisi sebagai infrastruktur distribusi energi, serta nilai keekonomian dan tingkat cadangan bahan baku EBT nasional. 

“Tapi, saya pikir ada bagusnya juga untuk tetap kita memakai energi baru-barukan sebagai konsensus pertanggung jawaban kita sebagai mahluk sosial untuk mengamankan udara kita,” ucapnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yanita Petriella
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper