Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah diharapkan serius mendorong pengembangan bioethanol sebagai bahan bakar nabati (BBN) setelah ditetapkan sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN).
Direktur Eksektif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan dengan ditetapkannya bioethanol sebagai salah satu PSN, semestinya pemerintah harus bersedia melakukan intervensi di bidang bahan baku.
“Perlu keseriusan Pemerintah. Hal yang utama adalah Pemerintah harus melakukan intervensi pengadaan feedstock (bahan baku),” ujarnya dilansir Antara, Selasa (28/1/2025).
Menurutnya, kesungguhan pemerintah sangat dibutuhkan karena terdapat tiga tantangan yang harus dihadapi dalam pengembangan bioethanol sebagai sumber energi nabati.
Hal ini karena tanaman yang menjadi sumber bahan baku bioethanol di Indonesia sangat sedikit jika dibandingkan kelapa sawit sehingga pengembangan biodiesel B40 lebih mudah dan cepat.
“Ini karena tinggal menghitung, berapa banyak untuk BBN dan berapa yang untuk ekspor. Hal itulah yang membedakan dengan bioethanol. Ethanol dihasilkan dari tanaman juga seperti tebu, jagung, sorgum maupun singkong. Masalahnya, feedstock-nya tidak cukup. Gula saat ini masih impor sedangkan untuk ethanol diambil molasenya juga tidak cukup dengan bahan baku yang ada,” katanya.
Baca Juga
Selain itu, untuk menghasilkan ethanol dengan standar fuel grade juga tidak mudah karena yang dibutuhkan adalah ethanol 99%. Oleh karena itu, untuk menghasilkan ethanol fuel grade tetap membutuhkan intervensi Pemerintah.
Kemudian, kenaikan harga ethanol di pasar internasional diproyeksikan lebih tinggi dari harga minyak karena ethanol juga menjadi bahan baku untuk industri dan pangan.
Di sisi lain, dalam pengembangan bioethanol tidak terdapat Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) seperti pada biodiesel. Jika harga fame terlalu mahal, maka subsidi bisa dihimpun dari badan tersebut yang dihimpun dari pengusaha sawit.
“Karena itulah, jadi kalau tetap mau mengembangkan bioethanol dengan harga terjangkau, Pemerintah harus siap-siap menggunakan APBN untuk subsidi,” katanya.
Menurutnya, jika Indonesia tetap ingin mengembangkan bioethanol, maka Pemerintah harus melakukan intervensi terhadap tiga tantangan tersebut terutama pengadaan bahan baku yang masih sedikit.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara berpendapat pemerintah harus serius atau terlibat aktif mendorong pengembangan bioethanol misalnya untuk mengerahkan potensi BUMN, keuangan sehingga bisa menyediakan bahan baku bioethanol dengan skala massal.
“Kita bisa atau tidak membangun lahan perkebunan singkong atau tebu yang luasannya bisa menghasilkan bahan mentah (ethanol) berharga murah,” ucapnya.
Menurutnya, jika bahan baku bioethanol mengandalkan kebun singkong atau tebu dari sisi produksi, maka tidak akan bisa mengimbangi produksi crude palm oil (CPO) kecuali pemerintah memang mau intensif menanam singkong atau tebu dengan luas lahan jutaan hektare.