Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nasib Target Penurunan Emisi di Tengah Rencana Pemakaian 20 Juta Hektare Hutan

Pemerintah menyebutkan telah mengidentifikasi 20 juta hektare hutan yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan energi
Lahan hutan yang dibuka di Kalimantan Utara/Bloomberg-Dimas Ardian
Lahan hutan yang dibuka di Kalimantan Utara/Bloomberg-Dimas Ardian

Bisnis.com, JAKARTA – Masih segar di ingatan ketika Presiden Prabowo Subianto berbicara soal komitmen iklim Indonesia di hadapan para pemimpin G20 di Rio de Janeiro pada November 2024.

Prabowo yang resmi dilantik sebagai presiden sebulan sebelumnya kala itu optimistis Indonesia dapat mencapai target nol emisi (net zero emission/NZE) sebelum 2050, 10 tahun lebih cepat daripada target asli pada 2060. Ketersediaan sumber energi terbarukan, kata dia, menjadi modal utama Indonesia dalam mengejar ambisi tersebut.

“Lokasi kami di khatulistiwa juga membuat pasokan sinar matahari diterima sepanjang tahun dan ini menjadi modal untuk listrik bertenaga surya. Kami juga memiliki sumber energi terbarukan lainnya sehingga kami optimistis dapat mencapai target nol emisi sebelum 2050,” kata Prabowo saat itu.

Impian dalam pernyataan itu langsung ditepis sendiri oleh Prabowo sebulan kemudian. Berbicara di Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrembangnas) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2025 di gedung Bappenas pada Senin (30/12/2024), Prabowo justru menyerukan perluasan area tanam sawit untuk menjamin pasokan bahan baku minyak goreng tersebut ke pasar internasional.

Prabowo bahkan meminta jajarannya tidak mengkhawatirkan ancaman dari negara asing soal tuduhan deforestasi yang kerap disematkan ke perkebunan kelapa sawit. Menurutnya, Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas penggunaan sumber daya alamnya dan harus mampu menjelaskan bahwa kebijakan pengelolaan sawit tetap mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan.

“Tidak usah takut apa itu namanya membahayakan, deforestation. Ya namanya kelapa sawit ya pohon. Iya kan? boleh tidak? Kelapa sawit itu pohon ada daunnya kan. Ya dia keluarkan dia menyerap karbon dioksida. Dari mana kita kok dituduh, yang mboten-mboten aja orang-orang itu,” kata Prabowo.

Tak lama berselang, kali ini giliran Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni yang melontarkan pernyataan mengejutkan. Dia mengatakan bahwa pemerintah memiliki rencana untuk memanfaatkan cadangan 20 juta hektare hutan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan energi.

Dia secara spesifik menjelaskan bahwa program baru ini merupakan dukungan langsung untuk Kementerian Pertanian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

"Kami sudah mengidentifikasi 20 juta hektare hutan yang bisa dimanfaatkan untuk cadangan pangan, energi, dan air," katanya setelah rapat terbatas di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (31/12/2024), dikutip Antara.

Dalam pembicaraan informal bersama Presiden Prabowo Subianto serta Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, ia menyebut salah satu fokus utama adalah budidaya padi gogo, yaitu padi yang dapat tumbuh di lahan kering.

Menhut memperkirakan ada potensi sekitar 1,1 juta hektare lahan yang bisa menghasilkan hingga 3,5 juta ton beras per tahun. Jumlah ini setara dengan total impor beras Indonesia pada 2023. Selain itu, pemerintah juga berencana menanam pohon aren sebagai sumber bioetanol.

Komitmen Lingkungan Jangan Sebatas Ucapan

Rentetan pernyataan yang kuat mengeluarkan aroma alih fungsi hutan untuk kebutuhan pangan dan energi ini lantas memicu reaksi dari berbagai pihak. Tak terkecuali dari serikat petani sawit.

Mansuetus Darto dari Dewan Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit berpandangan bahwa apa yang disampaikan Kepala Negara kontradiktif dengan inisiatif pemerintah yang ingin menjadikan sawit lebih kompetitif dengan pendekatan sawit berkelanjutan sebagaimana tertuang dalam Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

Melalui pernyataan tertulis, dia memberi catatan bahwa perluasan area sawit sebagaimana diserukan Presiden justru membuat sawit nasional kehilangan daya saing di pasar, terlebih dengan regulasi negara importir yang makin ketat menyeleksi komoditas penyebab deforestasi.

“Pelaku sawit nasional kini sedang dikejar waktu karena Uni Eropa akan menerapkan aturan antideforestasi pada Januari 2026. Kami sedang memperbaiki rantai pasok dengan ketelusuran,” kata Darto dalam pernyataan tertulis.

Alih-alih mengkampanyekan perluasan area tanam sawit, Darto menyarankan Prabowo untuk meningkatkan realisasi peremajaan perkebunan sawit yang kurang produktif. Peremajaan sendiri diestimasi bisa menaikkan produktivitas sebesar 20% hingga 2029 tanpa pembukaan lahan baru.

Terpisah, Yayasan Madani Berkelanjutan mengingatkan bahwa Indonesia perlu menekan laju deforestasi untuk menjaga daya dukung lingkungan dan mencapai target iklim.

Deputi Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan Giorgio Budi Indrarto mengatakan rencana besar pemerintah untuk memanfaatkan lahan hutan cadangan sebagai sumber ketahanan pangan, energi, dan air perlu mempertimbangkan beberapa hal, termasuk dampaknya kepada lingkungan serta target iklim nasional yang hendak dicapai.

Dia memberikan contoh bagaimana Indonesia sudah mendekati batas maksimal luas kebun sawit. Berdasarkan riset Madani Berkelanjutan, Sawit Watch dan Satya Bumi, batas tersebut berada di kisaran 18,15 juta hektare.

Data teranyar Badan Informasi dan Geospasial (BIG) serta Kementerian Pertanian pada 2023 menunjukkan bahwa luas perkebunan sawit telah mencapai 17,3 juta hektare. Sementara menurut data dari lembaga nonpemerintah Sawit Watch, total perkebunan sawit di Indonesia mencapai 25,07 juta hektare.

Kalkulasi di atas, kata Giorgio, baru mencakup area yang terkait perkebunan sawit. Jika terjadi pembukaan hutan secara masif berlanjut untuk kebutuhan lain, maka daya dukung dan daya tampung lingkungan bakal ikut terdampak.

Giorgio juga menyoroti target  pengurangan emisi gas rumah kaca Indonesia yang tertuang dalam dokumen Enhanced National Determined Contributions (NDC). Dalam komitmen itu, Indonesia menargetkan pengurangan emisi sampai dengan 2030 mencapai 31,89 persen dengan upaya sendiri dan sebesar 43,2 persen dengan dukungan internasional.

Sementara itu untuk sektor kehutanan sebagai salah satu penyumbang emisi terbesar selain sektor energi, terdapat target food and land use (FOLU) Net Sink pada 2030. Target ini secara spesifik berisi target di mana tingkat serapan sektor kehutanan dan penggunaan lahan lebih tinggi dibandingkan dengan emisi yang dihasilkan.

"Ini sekarang saatnya kita untuk walk the talk. Kita punya komitmen Netsink FOLU, kita punya komitmen untuk restorasi, rehabilitasi dan lainnya, itu yang saatnya kita lakukan, bukan untuk membuka lahan baru," tutur Giorgio sebagaimana dikutip Antara.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper