Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Seribu Langkah Pemerintah Cari Pendanaan Capai Target Iklim NDC dan Pertumbuhan Ekonomi

Pemerintah Indonesia menyusun dokumen NDC kedua untuk menurunkan emisi GRK hingga 43,2% pada 2030 dengan dukungan internasional. Target ini memerlukan pendanaan besar, mencapai Rp4.000 triliun.
Yanita Petriella, Iim Fathimah Timorria
Selasa, 26 Agustus 2025 | 11:00
Ilustrasi investasi ESG
Ilustrasi investasi ESG

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah tengah menyelesaikan dokumen iklim second Nationally Determined Contribution (NDC) yang akan diserahkan kepada United Nations Climate Change Conference (UNFCCC) pada September tahun ini. 

Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon Kementerian Lingkungan Hidup Ary Sudijanto mengatakan sejak tahun 2015 dengan Paris Agreement, semua negara diminta untuk berkontribusi mengatasi krisis iklim. Indonesia juga berkomitmen untuk berkontribusi dalam upaya secara global menahan kenaikan suhu rata-rata bumi itu tidak melebihi 2 derajat Celsius. Bahkan, Indonesia menargetkan rerata kenaikan bumi tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius di atas dari suhu praindustri. Tentunya komitmen ini dengan mempertimbangkan perlunya menjaga kesesuaian dengan tujuan pembangunan ekonomi.

Indonesia berkomitmen pada NDC yang pertama untuk mengurangi gas rumah kaca sebesar 31,89% dengan kemampuan sendiri dan bahkan bisa mencapai 43,2% dengan dukungan internasional pada 2030. Saat ini, Indonesia akan memperbarui strategi dan komitmen iklimnya untuk periode 2031–2035 melalui dokumen NDC 3.0 atau bagi Indonesia, dokumen second NDC. Sesuai dengan kesepakatan Persetujuan Paris, NDC diperbarui setiap5 tahun dengan target yang lebih ambisius dari NDC sebelumnya. NDC adalah cerminan arah pembangunan nasional Indonesia ke depan.

Adapun dokumen second NDC tersebut tengah dalam proses finalisasi dimana nantinya akan memiliki dua skenario pertumbuhan ekonomi untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Dokumen iklim Indonesia yang kedua sudah menggunakan emisi pada 2019 sebagai batas dasar dengan target pengurangan dengan upaya sendiri 31,89% sebagai skenario saat ini. 

Berbeda dari pendekatan sebelumnya yang menggunakan skenario business as usual, NDC kedua memakai skenario proyeksi emisi Current Policy Scenario (CPOS). Selain itu, data tahun 2019 untuk menentukan target penurunan emisi. CPOS merupakan kelanjutan dari countermeasure 1 yakni kebijakan, program, dan aksi mitigasi utama dalam NDC sebelumnya. 

"Untuk skenario tingkat pertumbuhan ekonomi rendah akan mempertimbangkan kondisi pertumbuhan ekonomi 6,3% sebagai faktor target pengurangan emisi, sedangkan skenario tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi 8%," ujarnya dikutip Selasa (26/8/2025). 

Dalam dokumen second NDC juga mempertimbangkan proyeksi Indonesia akan mencapai puncak menghasilkan emisi GRK pada 2030 kecuali sektor energi yang diperkirakan baru mencapai kondisi tersebut pada 2035 hingga tahun 2038. Dalam jangka panjang, Indonesia menargetkan net zero emission tercapai pada 2060 atau bahkan lebih cepat tercapai di 2050. 

"Perhitungannya di tahun 2060 sekitar -80 juta karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Jadi kalau dihitung interpolasinya mungkin 2039 atau 2039 itu mencapai kondisi net zero. Dokumen second NDC masih finalisasi, kami dapat kesepakatan dari sektor penyumbang emisi terkait hitungan koreksi penurunan," katanya. 

Menurutnya, untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca ini membutuhkan pendanaan yang luar biasa besar yakni mencapai US$280 miliar atau setara hampir Rp4.000 triliun rupiah sampai tahun 2030. Bahkan, data dari Kementerian Perindustrian, untuk mencapai dekarbonisasi sektor industri dimana terdapat target lebih ambisius NZE lebih cepat 10 tahun yakni pada 2050 membutuhkan dana Rp5.000 triliun. 

"Sektor industri punya target yang lebih ambisius untuk bisa mencapai NZE 10 tahun lebih awal yaitu tahun 2050 dari target 2060. Perindustrian juga melakukan upaya untuk melakukan dekarbonisasi terhadap keseluruhan atau sembilan subsektor yang ada di kementerian perindustrian mereka menyampaikan perhitungan kira-kira sampai 2030 itu butuh Rp5.000 triliun," ucapnya. 

Kebutuhan anggaran tersebut sebesar 20% bisa didukung dari APBN dan APBD, sedangkan sisanya 80% berasal dari pendanaan aksi iklim. Pemerintah telah menerbitkan peraturan presiden nomor 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional yang pada dasarnya peraturan tersebut sebagai kerangka dasar untuk Indonesia bisa melaksanakan Paris Agreement di dalamnya termasuk pelaksanaan nilai ekonomi karbon.

Adapun terdapat 4 skema besar yang bisa digunakan untuk mendapatkan sumber daya pendanaan yakni dana pembayaran berbasis hasil atau Results-Based Payment (RBP) Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) dari Green Climate Fund (GCF) yang mendapatkan pendanaan US$103,8 juta untuk mengurangi 20,3 juta ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Lalu, pendanaan dari Norwegia melalui Result Based Contribution (RBC). Norwegia menyalurkan dana kompensasi dalam beberapa tahap, yaitu RBC tahap pertama sebesar US$54 juta, tahap kedua dan ketiga sebesar US$100 juta, dan tahap keempat sebesar US$60 juta. 

"Dana tersebut digunakan untuk menjaga hutan dari deforestasi baik di Jambi, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan juga akan mulai di Aceh. Kami juga ada skema pendanaan perdagangan emisi dan perdagangan offset yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan Rp4.000 triliun," tuturnya. 

Namun demikian, dia menilai perdagangan carbon offset saat ini masih belum banyak diminati.

"Catatannya hampir 3 juta ton CO2e yang bisa kami sediakan. Kemudian sudah lebih dari 1,6 juta yang dibeli dengan nilai hampir Rp78 miliar, memang mungkin masih kecil, tetapi ternyata IDX Carbon dapat penghargaan sebagai pasar karbon yang aktif di emerging economic," ujarnya. 

Pihaknya kini tengah berupaya memasuki pasar karbon sukarela untuk menambah kebutuhan pendanaan iklim senilai Rp4.000 triliun. KLH telah menjalin mutual economic agreement dengan Gold Standard dan akan dilanjutkan kerja sama dengan Plan Vivo. Adapun Gold Standard merupakan organisasi nirlaba yang berfokus pada isu iklim, proyek energi, dan industri, sedangkan kerja sama dengan Plan Vivo rencananya akan mencakup solusi berbasis alam salah satunya perhutanan sosial.

"Harapannya, kami menyediakan semua kanal yang ada untuk memobilisasi bagi pendanaan, aksi-aksi perubahan iklim. Di samping itu juga kami melakukan bilateral agreement untuk implementasi dari artikel 6.2 Paris Agreement, yang sekarang sudah ada dengan Jepang dan Norwegia. Norwegia mendukung pendanaan proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung dengan nilai investasi mencapai sekitar US$12 juta hingga 2035," terangnya.

Ary memastikan setiap transaksi karbon nantinya wajib dilakukan melalui Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) sebagai pusat data iklim nasional guna mencapai target pengurangan emisi. Pemerintah telah mengembangkan versi baru SRN PPI yang diharapkan agar dapat mempermudah para pelapor dari berbagai latar belakang untuk mengakses dan memasukkan data.

Sistem baru menargetkan akurasi, konsisten dan keterlacakan data sebagai bagian dari transparansi. KLH juga menargetkan integrasi dengan sistem informasi lain terkait penanganan perubahan iklim untuk memastikan SRN PPI menjadi pusat data iklim nasional yang lebih kuat. Fitur-fitur baru disiapkan untuk memudahkan proses verifikasi, memberikan visualisasi data yang lebih jelas, dan mendukung analisis berbasis bukti dalam pengambilan keputusan.

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menuturkan pemerintah Indonesia menegaskan kembali komitmennya dalam memimpin diplomasi iklim global dengan menyatakan kesiapan meluncurkan dokumen NDC 3.0 menjelang Konferensi Perubahan Iklim COP30 di Brasil pada November 2025.

"NDC 3.0 menargetkan penurunan emisi sebesar 440 juta ton CO2e pada 2030 dan 525 juta ton CO2e pada 2035, menggunakan tahun acuan 2019. Penyusunan dokumen ini melibatkan pemangku kepentingan lintas sektor dan sudah terintegrasi dalam agenda pembangunan nasional. Kami tengah selesaikan sebelum diserahkan ke Presiden Prabowo," ujarnya. 

Indonesia juga meminta dukungan konkret UNFCCC untuk penguatan kebijakan, pengembangan kapasitas, serta fasilitasi dalam pengaturan pasar karbon termasuk optimalisasi pemanfaatan Pasal 6 Perjanjian Paris. Dukungan tersebut diharapkan dapat mempercepat transisi ekonomi hijau dan menciptakan lapangan kerja berkelanjutan.

Menurutnya, transisi menuju ekonomi hijau harus dilakukan secara realistis. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan pendekatan bertahap, pendanaan besar, serta sinergi lintas sektor. KLH terus memperkuat koordinasi antar-kementerian agar implementasi NDC 3.0 seimbang antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Dia berharap sektor energi dan kehutanan sebagai penyumbang emisi terbesar meningkatkan kontribusi mereka. Strategi utama mencakup percepatan penghentian PLTU batu bara, pencegahan kebakaran hutan dan lahan, dan pencapaian target sektor FOLU.

"Kami meminta UNFCCC menyelenggarakan forum regional untuk memperkuat dialog antar negara serta memberikan panduan teknis penguatan pasar karbon sukarela. Usulan ini bertujuan mempercepat operasionalisasi pasar karbon domestik Indonesia," katanya. 

Indonesia sendiri sudah berkomitmen kepada global untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Adapun tiga dokumen penting yang memberikan garisan bahwa Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK dengan upaya sendiri sebesar 31,89%, dan upaya dengan dukungan internasional sebesar 43,20% yaitu post NDC, objective nationally determined contribution (ONDC), dan enhanced nationally determined contribution (ENDC).

"Kondisi-kondisi alam hari ini menunjukkan Indonesia maupun dunia masih jauh dari harapan karena angka kenaikan suhu terus naik. Dokumen second NDC ini sangat penting karena tidak ada lagi langkah yang bisa diakal-akali jika tidak konkret melakukan penurunan emisi gas rumah kaca. Emisi GRK membuat salju di Puncak Cartenz meluruh dari bebatuan di gunung dan diproyeksikan oleh BMKG tutupan es akan habis pada 2026," ucap Hanif. 

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengatakan pihaknya membuka peluang partisipasi sektor swasta dalam pendanaan iklim kehutanan melalui perdagangan karbon sukarela (voluntary carbon market/VCM). Namun pemerintah tengah merevisi Peraturan Presiden (Perpres) No. 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional untuk memperkuat ekosistem yang mengakomodasi pasar karbon sektor kehutanan.

"Pasar karbon sektor kehutanan juga akan segera kami buka, terutama melalui revisi Perpres No. 98 Tahun 2021 yang tengah berjalan. Itu akan memungkinkan pihak swasta untuk berinvestasi," tuturnya. 

Kemenhut telah mengidentifikasi 6,5 juta hektare lahan dan hutan terdegradasi maupun berstatus kritis yang bisa diikutsertakan dalam proyek penurunan emisi karbon. Investasi swasta untuk pemulihan lahan-lahan ini dia sebut dapat menghasilkan kredit karbon yang kemudian diperdagangkan dan menjadi insentif bagi korporasi.

"Kami berharap akan ada investasi untuk menanam di daerah-daerah yang tandus itu, dan konsekuensinya tentu swasta mendapatkan insentif dari usaha mereka. Namun saya kira ini juga akan baik untuk pendapatan negara melalui pajak dan sebagainya. Ini mekanisme yang sedang kami bicarakan," ujarnya.

Kementerian Kehutanan mulanya berencana membuka perdagangan kredit karbon sektor kehutanan pada Juli 2025. Namun, rencana tersebut belum memperlihatkan realisasi hingga kini.

“Ada sedikit yang belum selesai ya. Sebelumnya saya sebut Juli [dimulai], tetapi belum bisa. Sesegera mungkin ketika revisi itu selesai, kami akan buka pendekatan perdagangan karbon secara sukarela,” kata Raja Juli.

Pada tahap awal perdagangan karbon sektor kehutanan akan mencakup skema pengelolaan hutan oleh swasta pemegang perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) dan perhutanan sosial dengan potensi serapan karbon yang berbeda. PBPH memiliki potensi serapan 20–58 ton CO2 per hektare dengan harga US$5 hingga US$10 per ton CO2, sementara perhutanan Sosial dapat menyerap hingga 100 ton CO2 per hektare dengan harga mencapai 30 euro per ton CO2. Pada 2025, potensi perdagangan karbon sektor kehutanan diperkirakan mencapai 26,5 juta ton CO2 dengan nilai transaksi berkisar Rp1,6 triliun–Rp3,2 triliun per tahun

Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Papua Barat Jimmy Walter Susanto mengatakan pihaknya tengah menyelesaikan dokumen ringkas atau concept note pemanfaatan dana hibah RPB perubahan iklim dari GCF  yang nantinya dikirim ke Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).

Penyusunan dokumen pemanfaatan dana hibah RBP wajib mengakomodasi tujuh jenis kegiatan yang akan dilaksanakan oleh satu lembaga perantara yaitu Samdhana Institute. Tujuh kegiatan yang dimaksud antara lain penguatan kesatuan pengelolaan hutan, program kampung iklim, rehabilitasi hutan dan lahan, pengelolaan hutan lestari, serta penanganan kebakaran hutan.

"Kemudian penyusunan arsitektur Reduced Emissions from Deforestation and forest Degradation (REDD+) yang berkaitan dengan karbon," ucapnya.

Selain itu, juga memperhatikan rencana kerja maupun rencana strategis dari Dinas Kehutanan serta Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (DLHP) Papua Barat. Hal itu bertujuan mencegah terjadinya penggandaan kegiatan yang telah dibiayai melalui alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Papua Barat Tahun 2025.

"Supaya kegiatan yang belum dianggarkan dalam APBD, dapat dibiayai dengan dana hibah RBP," tuturnya

Penyaluran dana hibah perubahan iklim tidak dilakukan melalui kas daerah, tetapi langsung membiayai jenis kegiatan yang dilaksanakan lembaga perantara Samdhana Institute. Seluruh program kegiatan tentunya sudah memperoleh persetujuan dari BPDLH dan penunjukan Samdhana Institute sebagai pelaksana program tidak terlepas dari jejak rekam kegiatan sebelumnya yakni kegiatan konservasi di Kabupaten Teluk Bintuni dan sejumlah daerah di Tanah Papua.

PERDAGANGAN KARBON

Kepala Divisi Pengembangan Bisnis 2 Bursa Efek Indonesia Ignatius Denny Wicaksono mengatakan nilai transaksi perdagangan di Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon) cenderung terbatas dalam dua tahun terakhir, terlepas dari volume perdagangan yang tumbuh mencetak rekor.

Data Bursa Efek Indonesia (BEI) memperlihatkan bahwa total nilai perdagangan karbon dalam kurun 1 Januari–22 Agustus 2025 mencapai Rp27,74 miliar. Meski naik signifikan dari capaian sepanjang 2024 yang hanya berada di angka Rp19,72 miliar, tetapi torehan tersebut lebih kecil daripada nilai perdagangan selama periode tiga bulan 26 September–31 Desember 2023 yang menembus Rp30,90 miliar.

Catatan ini dibukukan ketika volume perdagangan justru tumbuh dan mencapai rekor. Dalam waktu delapan bulan per 22 Agustus 2025, jumlah kredit karbon yang terjual mencapai 696.763 ton setara karbon dioksida (CO2e). Volume tersebut naik 483% daripada periode yang sama tahun lalu sebesar 119.463 ton CO2e, bahkan melampaui capaian sepanjang 2024 di angka 413.764 ton CO2e. Adapun pada 2023, volume perdagangan karbon ditutup di angka 494.254 ton setelah resmi diluncurkan pada 26 September 2023.

Menurutnya, nilai transaksi yang tidak memperlihatkan tren pertumbuhan sebagaimana volume perdagangan mengindikasikan harga kredit karbon yang lebih rendah. Adapun salah satu faktor penentu harga kredit karbon adalah jenis proyek penurunan emisi yang dicatatkan.

"Saat peluncuran, kredit karbon yang dijual berasal dari proyek energi panas bumi Lahendong. Dari sisi harga lebih tinggi karena 100% renewable energy. Sementara itu, saat ini banyak kredit karbon yang dicatat dan beredar berasal dari proyek efisiensi energi," ujarnya.

Proyek berbasis efisiensi energi itu di antaranya berasal dari penggunaan gas bumi, seperti Pengoperasian Pembangkit Listrik Baru Berbahan Bakar Gas Bumi PLTGU Priok Blok 4, Konversi dari Pembangkit Single Cycle Menjadi Combined Cycle (Add On) PLTGU Grati Blok 2 dan Konversi dari Pembangkit Single Cycle Menjadi Combined Cycle Blok 2 PLN NP.

"Jadi kredit karbon di gas bumi dan uap dari sisi harga agak lebih rendah, sementara dari proyek panas bumi Lahendong itu memang habisnya cepat, sudah laku sejak tahun-tahun sebelumnya," katanya. 

Denny berpandangan pasokan kredit karbon berbasis teknologi efisiensi yang cukup besar menjadi tantangan tersendiri dalam perdagangan karbon. Terlebih dengan proyek berbasis gas bumi dan uap yang mendominasi pencatatan di Indonesia saat ini. Untuk pasar luar negeri, kredit karbon ini masih dinilai kotor.

Sebaliknya, Indonesia justru memiliki peluang untuk kredit karbon berbasis alam karena cenderung dibanderol dengan harga lebih tinggi. Namun, Indonesia belum merilis proyek kredit karbon berbasis alam terlepas dari target yang dibidik Kementerian Kehutanan.

"Yang ditunggu-tunggu oleh banyak pihak itu adalah karbon kredit yang sifatnya dari nature, atau yang dari kehutanan, nah ini sampai saat ini juga kami masih menunggu. Harapannya bisa keluar tahun ini," ucapnya. 

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat pendanaan melalui bursa karbon belum bisa menjadi opsi sumber dana utama. Menurutnya, terdapat beberapa solusi pendanaan yang ditawarkan salah satunya melalui pajak alternatif seperti pemberlakuan pajak kehilangan keanekaragaman hayati Rp48,6 triliun, pajak karbon Rp76,4 triliun, pajak produksi batu bara Rp66,5 triliun, pajak windfall profit sektor ekstraktif Rp50 triliun, wealth tax Rp81,6 triliun dengan total dari penerimaan alternatif Rp323,1 triliun.

"Opsi lain dari kerjasama internasional seperti TFFF (Tropical Forest Forever Facility) yang tengah digagas oleh Brazil pada COP30 mendatang. Potensi dari TFFF bagi Indonesia sebesar Rp6,68 triliun per tahun dengan asumsi luas hutan Indonesia 102,53 juta hektar yang layak masuk skema TFFF, dengan nilai kompensasi USD4 per hektare," tutur kepada Bisnis. 

Bhima berharap Indonesia bisa terlibat aktif dalam negosiasi TFFF untuk memperoleh sumber pendanaan memenuhi target second NDC. 

USULAN DOKUMEN SECOND NDC

Terpisah, Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal berpendapat tantangan terbesar adalah memastikan bahwa target iklim benar-benar tercapai agar NDC yang dirancang dengan sungguh-sungguh dan dijalankan dan tidak hanya sekadar dokumen formal tanpa strategi nyata. Dia mendorong agar target iklim Indonesia segera memiliki payung hukum yang mengikat.

"Kalau kita serius, seharusnya ambisi iklim ini dijadikan undang-undang, agar tidak bergantung pada dinamika politik. Saya apresiasi Presiden Prabowo Subianto yang menargetkan 100% energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan, ambisi itu belum pernah disampaikan secara terbuka oleh pemimpin Indonesia sebelumnya," terangnya.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berharap Indonesia memperkuat strategi dan aksi nyata dalam menghadapi krisis iklim, sekaligus memimpin upaya global untuk menjaga kenaikan suhu Bumi di bawah 1,5°C, sebagaimana yang disepakati dalam Persetujuan Paris, yang telah diratifikasi dalam UU No. 16 Tahun 2016.

"Kami harap pemerintah dapat menetapkan target iklim yang lebih ambisius, berbasis sains, dan selaras dengan 1,5 derajat Celcius dan target emisi nasional agar turun di bawah emisi tahun 2019 sebanyak 6% pada 2030 dan 21% pada 2035 di luar penyerapan dan/atau emisi sektor kehutanan dan lahan (FOLU)," ujarnya kepada Bisnis. 

Komitmen ini harus berlandaskan prinsip fair share, serta dibangun secara transparan dan akuntabel. Komitmen ini juga harus didukung oleh perencanaan sektoral yang kredibel dan actionable, implementasi yang sesuai, serta perbaikan ekosistem finansial yang mendukung dekarbonisasi seluruh sektor ekonomi. 

Menurutnya, Indonesia memiliki seluruh modal yakni kekayaan sumber daya alam yang penting dilindungi, sumber energi bersih dan terbarukan yang besar, posisi strategis, kekuatan diplomasi, dan bonus demografi. Target iklim yang kuat dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berpihak pada keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia. 

Data dari dokumen inisiatif pembangunan rendah karbon atau low carbon development initiative dari Bappenas RI di tahun 2021 menyebutkan bahwa di sektor energi, komitmen tegas dan implementasi pada energi terbarukan dapat menciptakan hampir 5 juta pekerjaan baru di sektor energi surya dan hingga 11 juta pekerjaan di sektor energi secara keseluruhan.

Data International Energy Agency (IEA), dunia kini memasuki era clean energy boom yang diperkirakan akan mencapai nilai lebih dari US$2 triliun per tahun pada 2030. Sejak 2022, investasi global pada energi bersih telah melampaui investasi pada energi fosil, dan terus meningkat. Lalu sektor FOLU diperlukan penetapan target net-zero emission yang ambisius dapat menghasilkan manfaat ekonomi sebesar US$1,5 triliun hingga tahun 2045.

"Komitmen iklim yang kuat dalam second NDC akan menjadi sinyal penting bahwa Indonesia serius dan mampu, tidak hanya untuk mengatasi krisis iklim, tetapi juga untuk memperkuat daya saing ekonomi di tingkat global. Sinyal kuat komitmen tersebut juga dapat menarik investasi hijau dan komitmen pendanaan iklim ke depannya," tuturnya. 

Dia menilai transisi yang berkeadilan menuju ekonomi yang rendah emisi dan tahan iklim menjadi pilar utama ketahanan ekonomi, pangan, energi, dan penciptaan jutaan lapangan kerja hijau. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro