Bisnis.com, JAKARTA — Nilai transaksi perdagangan di Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon) cenderung terbatas dalam dua tahun terakhir, terlepas dari volume perdagangan yang tumbuh mencetak rekor.
Data Bursa Efek Indonesia (BEI) memperlihatkan bahwa total nilai perdagangan karbon dalam kurun 1 Januari–22 Agustus 2025 mencapai Rp27,74 miliar. Meski naik signifikan dari capaian sepanjang 2024 yang hanya berada di angka Rp19,72 miliar, tetapi torehan tersebut lebih kecil daripada nilai perdagangan selama periode tiga bulan 26 September–31 Desember 2023 yang menembus Rp30,90 miliar.
Catatan ini dibukukan ketika volume perdagangan justru tumbuh dan mencapai rekor. Dalam waktu delapan bulan per 22 Agustus 2025, jumlah kredit karbon yang terjual mencapai 696.763 ton setara karbon dioksida (CO2e).
Volume tersebut naik 483% daripada periode yang sama tahun lalu sebesar 119.463 ton CO2e, bahkan melampaui capaian sepanjang 2024 di angka 413.764 ton CO2e. Adapun pada 2023, volume perdagangan karbon ditutup di angka 494.254 ton setelah resmi diluncurkan pada 26 September 2023.
Kepala Divisi Pengembangan Bisnis 2 Bursa Efek Indonesia Ignatius Denny Wicaksono memaparkan nilai transaksi yang tidak memperlihatkan tren pertumbuhan sebagaimana volume perdagangan mengindikasikan harga kredit karbon yang lebih rendah. Adapun salah satu faktor penentu harga kredit karbon adalah jenis proyek penurunan emisi yang dicatatkan.
“Saat peluncuran, kredit karbon yang dijual berasal dari proyek energi panas bumi Lahendong. Dari sisi harga lebih tinggi karena 100% renewable energy. Sementara itu, saat ini banyak kredit karbon yang dicatat dan beredar berasal dari proyek efisiensi energi,” kata Denny dalam diskusi daring, Senin (25/8/2025).
Baca Juga
Proyek berbasis efisiensi energi itu di antaranya berasal dari penggunaan gas bumi, seperti Pengoperasian Pembangkit Listrik Baru Berbahan Bakar Gas Bumi PLTGU Priok Blok 4, Konversi dari Pembangkit Single Cycle Menjadi Combined Cycle (Add On) PLTGU Grati Blok 2 dan Konversi dari Pembangkit Single Cycle Menjadi Combined Cycle Blok 2 PLN NP.
“Jadi [kredit karbon] di gas bumi dan uap dari sisi harga agak lebih rendah, sementara dari proyek panas bumi Lahendong itu memang habisnya cepat, sudah laku sejak tahun-tahun sebelumnya,” kata Denny.
Denny berpandangan pasokan kredit karbon berbasis teknologi efisiensi yang cukup besar menjadi tantangan tersendiri dalam perdagangan karbon. Terlebih dengan proyek berbasis gas bumi dan uap yang mendominasi pencatatan di Indonesia saat ini. Untuk pasar luar negeri, kredit karbon ini masih dinilai kotor.
Sebaliknya, Indonesia justru memiliki peluang untuk kredit karbon berbasis alam (nature-based). Denny mengatakan kredit karbon ini cenderung dibanderol dengan harga lebih tinggi, tetapi Indonesia belum merilis proyek kredit karbon berbasis alam terlepas dari target yang dibidik Kementerian Kehutanan.
“Yang ditunggu-tunggu oleh banyak pihak itu adalah karbon kredit yang sifatnya dari nature, atau yang dari kehutanan, nah ini sampai saat ini juga kami masih menunggu. Harapannya bisa keluar tahun ini,” kata Denny.