Bisnis.com, JEPARA — Letaknya terpencil, jauh dari mana-mana. Aksesnya terbatas, tak ada transportasi umum darat maupun udara—hanya ada jalur laut yang baru dibuka pada 2021. Begitulah sekilas gambaran lokasi Pulau Nyamuk.
Namun, dalam konteks penggunaan energi baru terbarukan (EBT), Pulau Nyamuk sudah lebih maju puluhan tahun dari sebagian besar wilayah Indonesia lainnya. Ketika pemerintah masih memabukkan mayoritas penduduk Indonesia dengan listrik yang berasal dari energi kotor fosil, warga Pulau Nyamuk sudah bergantung kepada EBT sejak 1997—hampir tiga dekade lalu!
Pulau Nyamuk berada di Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Hanya ada satu desa di pulau itu: Desa Nyamuk. Desa Nyamuk merupakan desa terkecil di Kabupaten Jepara, dengan luas 1,33 km².
Jarak Nyamuk ke Jepara capai 130 km, menjadikannya desa terjauh dari ibukota kabupaten. Perlu waktu sekitar tujuh jam perjalanan laut dari Jepara ke Nyamuk: lima jam dari Pelabuhan Jepara ke Karimunjawa, dilanjutkan dua jam dari Pelabuhan Karimunjawa ke Nyamuk.
Jika dilihat dari peta maka Pulau Nyamuk hampir berada di tengah-tengah Laut Jawa. Keterisolasian itu membuat listrik terlambat masuk ke Pulau Nyamuk yaitu baru pada 1997.
Dendi Irama, warga asli Pulau Nyamuk, menceritakan saat itu pemerintah daerah (pemda) membangun delapan kincir angin sebagai perangkat pembangkit listrik. Artinya, sejak awal, warga Nyamuk sudah menggunakan listrik dari EBT.
Baca Juga
Hanya saja, hasilnya tak maksimal. Berjalannya waktu, kebutuhan listrik warga Pulau Nyamuk dibantu oleh genset diesel, yang juga disediakan pemda. Pun, kombinasi pembangkit listrik tenaga angin dan genset diesel itu hanya bisa memenuhi kebutuhan listrik warga selama enam jam.
“Jadi dulu itu kami hidupnya ya dari jam enam sore sampai jam 12 malam. Setelah jam 12 itu sampai paginya ya gelap lagi,” ungkap Dendi saat ditemui Bisnis, belum lama ini.
Dendi, yang kini menjadi petugas unit layanan distribusi PLN Karimunjawa di Pulau Nyamuk, mengungkapkan bahwa warga mulai bisa menikmati listrik selama 24 jam pada 2015, ketika pemda membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Saat itu, total kapasitas daya maksimum PLTS mencapai 25 kilowatt peak (kWp). Hanya saja masih ada pembatasan penggunaan daya per rumah tangga.
Pembatasan itu mulai dilonggarkan usai pemerintah Denmark memberikan hibah tambahan panel surya beserta komponen-komponennya pada 2018. Kini, total ada 288 panel surya di Pulau Nyamuk dengan daya maksimum mencapai 86 kWp, yang pengelolaannya mulai diambil alih PLN pada 2021.
Total daya itu sudah bisa memasok kebutuhan setrum-menyetrum 641 warga atau sekitar 200 rumah tangga Pulau Nyamuk. Kendati demikian, PLTS hanya berfungsi maksimal ketika matahari sedang terik, sehingga warga tetap mengandalkan genset diesel sebagai pembangkit listrik pada malam hari.
Dendi mengungkapkan bahwa PLN sudah merencanakan akan tambah kapasitas daya PLTS Pulau Nyamuk menjadi 350 kWp pada 2026. Dengan demikian, kebutuhan listrik warga desa Nyamuk akan sepenuhnya bisa berasal dari EBT.
Pulau Nyamuk seakan menjadi cerminan, jika pemerintah memiliki kehendak politik yang kuat maka transisi energi bukan suatu masalah. Bahkan, dari sisi pendanaan, negara maju tak sungkan mendukung negara berkembang beralih dari energi fosil ke EBT—seperti hibah PLTS pemerintah Denmark untuk Pulau Nyamuk.