RI Masih Bergantung ke Energi Kotor
RI Masih Bergantung ke Energi Kotor
Kementerian ESDM mengungkapkan bahwa sekitar 85% pembangkit listrik di Indonesia masih menggunakan bahan bakar fosil, yang notabenenya memperparah krisis iklim.
Masalah hingga kini, tampak belum ada upaya ekstra dari pemerintah untuk mengurangi ketergantungan ke energi kotor itu. Misalnya hingga Desember 2024, bauran energi terbarukan baru mencapai 13,9%—jauh dari target 23% yang ditetapkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2017.
Stagnannya transisi energi itu kerap dianggap karena kurang investasi. Direktur Manajemen Risiko PLN Suroso Isnandar misalnya, yang mengungkapkan bahwa Indonesia memerlukan investasi hingga US$162 miliar atau sekitar Rp2.717,2 triliun (asumsi JISDOR 14 April 2025 Rp16.773 per dolar AS) untuk membangun infrastruktur energi baru terbarukan.
Dari jumlah tersebut, kebutuhan dana terbesar diperlukan untuk mendukung proyek listrik tenaga hidro dan panas bumi. Suroso mengatakan dua sektor ini memerlukan investasi yang nilainya mencapai US$59 miliar.
"Ini adalah peluang bisnis di Indonesia untuk 10 tahun ke depan. Untuk mengaksesnya, kami membutuhkan kolaborasi dan komitmen yang kuat," jelasnya dalam acara Indonesia-Switzerland Hydropower Conference 2025 di Kantor Pusat PLN, Jakarta Selatan, Selasa (15/4/2025).
Baca Juga
PLN, sambungnya, menargetkan pasokan energi terbarukan di angka 59% dari total kebutuhan listrik di Indonesia, sesuai draf Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034.
"Jadi energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan akan mendominasi lanskap Indonesia," ujar Suroso.
Untuk mencapai target itu, PLN berencana menambah kepasitas pembangkit listrik dari energi terbarukan sekitar 41,9 gigawatt (GW) hingga 2034. Perinciannya, 7,2 GW dari tenaga angin, 16,9 GW dari tenaga surya, 5,1 GW dari tenaga panas bumi, 11,7 GW dari tenaga air atau hidro, dan 1 GW dari bioenergi.
Masalahnya, Ketua Bidang Komunikasi dan Hubungan Eksternal Indonesia Hydropower Association M. Assegaf mengemukakan bahwa pihak swasta sulit masuk ke bisnis EBT karena kurang menguntungkan.
Assegaf menjelaskan pengembang swasta hanya perlu kepastian hukum untuk ikut serta dalam pengembangan sektor tertentu, tak terkecuali sektor energi terbarukan. Kepastian hukum ini diperlukan di tengah modal besar yang harus dikeluarkan perusahaan di energi terbarukan, sementara tingkat pengembalian atau return memerlukan waktu yang relatif panjang.
"Ada mismatch [ketidakcocokan] terkait masalah kelayakan ekonomi. Oleh karena itu, peran pemerintah, regulator, menjadi sangat penting," ujar Assegaf di sela-sela acara Indonesia-Switzerland Hydropower Conference 2025 di Kantor Pusat PLN, Jakarta Selatan, Selasa (15/4/2025).
Dia menjelaskan ada tiga dilema utama dalam pengembangan energi baru terbarukan di pengembang swasta, yaitu keamanan, keberlanjutan, dan keterjangkauan (security, sustainability, dan affordability).
Menurutnya, dilema keterjangkauan merupakan aspek paling krusial bagi pihak swasta. Hal ini mencakup tingkat kelayakan ekonomi bagi bisnis swasta.
"Berbagai asosiasi meng-endorse kepada regulator untuk memberikan regulasi yang kira-kira favorable [menguntungkan] untuk semua pihak, termasuk pengembang-pengembang swasta dapat diberi kesempatan untuk kelayakan ekonomi dalam investasinya," jelas Assegaf.