Bisnis.com, JAKARTA – Ekspektasi besar menjelang Konferensi ke-5.2 Komite Negosiasi antar-Pemerintah (INC 5.2) atau sering disebut sebagai Global Plastic Treaty di Geneva, Swiss pada 5 - 14 Agustus mendatang.
Diharapkan, Global Plastic Treaty ini melahirkan perjanjian global yang mengikat secara hukum untuk mengakhiri polusi plastik. Mengutip data World Economic Forum, hasil Perjanjian Plastik Global sangat penting mengingat limbah plastik global diproyeksikan mencapai 1,7 miliar metrik ton pada 2060, dengan biaya kumulatif sebesar $281 triliun.
Laporan Risiko Global Forum Ekonomi Dunia 2025, menempatkan polusi di antara 10 risiko teratas dengan dampak terparah yang diperkirakan terjadi dalam dekade berikutnya, dengan polusi plastik menjadi kontributor utama.
Adapun tantangan utama dalam negosiasi INC-5.2 adalah menentukan fokus perjanjian, apakah hanya pada pengurangan limbah plastik atau pada seluruh siklus hidup plastik.
Fokus perjanjian juga akan menjawab isu-isu sensitif seperti penghentian penggunaan bahan kimia berbahaya dalam plastik, produksi polimer primer (bahan dasar plastik), dan dukungan finansial untuk negara-negara berkembang.
Jelang pertemuan yang diikuti 175 negara di bawah naungan PBB ini, Greenpeace Inggris merilis laporan terkait bagaimana Perjanjian Plastik Global terancam oleh beberapa perusahaan petrokimia terbesar di dunia yang secara sistematis melobi untuk menentang pengurangan produksi plastik.
Baca Juga
Laporan berjudul Plastik, Keuntungan, dan Kekuasaan: Bagaimana Perusahaan Petrokimia Menggagalkan Perjanjian Plastik Global, mengungkapkan bahwa sejak perundingan perjanjian dimulai pada November 2022, tujuh perusahaan telah memproduksi plastik yang cukup untuk mengisi 6,3 juta truk sampah.
Greenpeace menemukan bahwa sejak dimulainya proses perjanjian, Dow, ExxonMobil, BASF, Chevron Phillips, Shell, SABIC, dan INEOS, diduga telah meningkatkan kapasitas produksi plastik mereka sebesar 1,4 juta ton dan mengirimkan total 70 pelobi ke negosiasi, di mana mereka juga diwakili oleh kelompok-kelompok terdepan industri yang berpengaruh.
Juru Kampanye Plastik Senior di Greenpeace Inggris Anna Diski mengatakan penelitiannya ingin menunjukkan bahwa perusahaan petrokimia yang paling dirugikan dari regulasi yang bermakna justru bekerja paling keras untuk menghalanginya.
“Sudah saatnya melarang pelobi dari Perundingan dan bagi Negara-negara Anggota PBB untuk berdiri teguh dan mendukung Perjanjian yang kuat,” dalam keterangan resmi, dikutip Jumat (1/8/2025).
Posisi Indonesia
Kepentingan Indonesia dalam Global Plastic Treaty juga tidak bisa dianggap sebelah mata. Sampah plastik terbukti menjadi masalah. Data Pusat Riset Oseanografi BRIN, menyebutkan lebih dari 8 juta ton sampah plastik dibuang ke laut setiap tahunnya.
Adapun, Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), pada 2024 dihasilkan 34,27 juta ton dari yang dilaporkan 319 kabupaten/kota.
Capaian pengurangan sampah sendiri baru berada di kisaran 1,14% atau sekitar 390.278 ton dan terdapat 14,46 juta ton sampah berhasil terkelola. Sampah tidak terkelola yang dapat bocor ke lingkungan diperkirakan mencapai 19,8 juta ton.
Staf Ahli Bidang Hubungan Internasional dan Diplomasi Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Erik Teguh Primiantoro menjelaskan Indonesia sudah menyiapkan rencana aksi yang diterjemahkan melalui Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah.
“Kita mau revisi, kita ingin perkuat rencana aksi nasional,” katanya, Rabu (30/7/2025).
Terkait perdebatan antara pertentangan di sektor petrokimia dunia, lanjut Erik, Indonesia juga memiliki tantangannya tersendiri. Menurutnya, Indonesia tidak mencanangkan target penurunan produksi di sektor petrokimia.
Bahkan, ada peluang mendorong kinerja industri kimia dasar. “Di situ ada pembangunan mega project dengan plastik, dan segala macam,” tambahnya.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Mochamad Chalid mengatakan pemerintah perlu menghadirkan tata kelola sampah plastik. Menurutnya, dalam pengelolaan sampah plastik Kementerian/Lembaga sudah memiliki program kerja, hanya saja masih terkesan masing-masing.
“Antara Kementerian/Lembaga, masyarakat, menjadikan ini sebagai isu bareng, sama-sama. Kita nggak bisa sendiri-sendiri. Kalau bersama, jangan sampai sama-sama kerja, tapi harus kerja sama,” ujarnya.
Pakar polimer ini juga mengatakan rumitnya mengelola sampah plastik karena Indonesia belum memiliki siklus industri plastik yang mumpuni. Padahal, limbah plastik dapat dijadikan produk daur ulang yang tetap memiliki nilai tambah yang tinggi.
“Materialnya belum dapat dioptimalkan. Kalau disikluskan sesuai dengan sirkulasi dari materialnya, maka sebenarnya bisa kita setidaknya bisa minimasi dampak terhadap lingkungan,” tambahnya.
Pengelolaan Sampah
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) terus mencari jalan menangani persoalan sampah. Salah satunya dengan membentuk Waste Crisis Center (WCC) untuk membantu mendukung perbaikan pengelolaan sampah di daerah dan menerima laporan warga termasuk terkait tempat pengelolaan akhir (TPA) ilegal.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol mengatakan setiap daerah di Indonesia mengalami persoalan sampah yang cara penyelesaiannya berbeda satu dengan lainnya.
Dengan hadirnya WCC, KLH menegaskan target nasional 100% cakupan layanan pengangkutan sampah, 100% pengolahan sampah melalui berbagai fasilitas Tempat Pengolahan Sampah dengan konsep Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R), Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST), Refuse-derived Fuel (RDF), kompos, waste-to-energy, dan pengiriman residu seminimal mungkin ke TPA dengan sanitary landfill.
Fasilitasi pembentukan WCC ini mencerminkan komitmen KLH dalam mempercepat transformasi sistem pengelolaan sampah yang berbasis data, inklusif, dan terukur menuju lingkungan hidup yang bersih, sehat, dan berkelanjutan bagi seluruh rakyat Indonesia.
"Berbagai macam tipikal itu yang kemudian harus kita bahas region per region, ini yang kemudian diperlukan Waste Crisis Center. Tempat di mana kita bertanya, tempat di mana kita mendapatkan jawabannya," ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (1/8/2025).