Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Prospek Kelabu Obligasi Berkelanjutan Semester II/2025 di Tengah Keputusan Tarif Trump

Penerbitan obligasi berkelanjutan pada semester II/2025 diperkirakan jauh di bawah proyeksi karena kebijakan tarif Trump
Ilustrasi utang berkelanjutan dan obligasi hijau
Ilustrasi utang berkelanjutan dan obligasi hijau

Bisnis.com, JAKARTA — Nilai penawaran surat utang berkelanjutan global (sustainable bond) pada 2025 diperkirakan akan jauh di bawah proyeksi awal sebesar US$2,1 triliun. Riset terbaru Bloomberg Intelligence menyebutkan bahwa kekhawatiran terhadap reaksi politik dari pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump serta ketidakjelasan kebijakan tarif menjadi faktor utama yang membatasi minat penerbitan.

Meskipun prospek penerbitan hingga akhir 2025 diliputi ketidakpastian, imbal hasil obligasi berkelanjutan justru melampaui ekspektasi Bloomberg yang sebelumnya memperkirakan pertumbuhan satu digit di kisaran menengah. Produk-produk khusus seperti debt-for-nature swaps, blue bonds, dan catastrophe bonds diperkirakan tetap tumbuh seiring kuatnya permintaan pasar.

“Obligasi hijau, sosial, dan berkelanjutan korporasi global mencatatkan kinerja lebih dari 10% sejak awal tahun, melampaui ekspektasi kami yang moderat, sementara spreads telah kembali sejajar dengan tingkat obligasi investment grade,” tulis Chris Ratti, Bloomberg Intelligence ESG Senior Strategist dalam risetnya, dikutip Selasa (8/7/2025).

Spread sempat melebar di tengah volatilitas pasar terkait isu tarif, tetapi kembali menyempit pada Mei 2025. Setelah melonjak tajam pada April, obligasi hijau dan obligasi korporasi berkualitas tinggi kini kembali ke level ketat dalam basis 12 bulan yang dinormalisasi.

Spread bisa melebar kembali pada paruh kedua tahun ini jika tidak ada kesepakatan dagang baru seiring berakhirnya jeda tarif global,” lanjut Ratti.

Bloomberg Intelligence mencatat beberapa katalis yang bakal berpengaruh ke arah obligasi berkelanjutan. Inflasi global yang mereda dan pemangkasan suku bunga oleh bank sentral bakal menjadi penopang kinerja obligasi.

Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi global yang melemah bisa mempersempit margin keuntungan melalui pelebaran credit spreads. Ketegangan geopolitik juga berpotensi memperlebar spread dan menekan imbal hasil.

Penerbitan Masih Sepi

Penjualan surat utang berkelanjutan global saat ini masih di bawah ekspektasi, khususnya pada segmen korporasi, dan kemungkinan besar tidak akan mencapai proyeksi US$2,1 triliun hingga akhir tahun.

Kontribusi utama diperkirakan bakal tetap datang dari penerbitan obligasi hijau. Sementara itu, obligasi sosial mencatat pertumbuhan tercepat, didorong oleh program pemerintah dan lembaga multilateral serta kuatnya permintaan atas investasi berdampak.

Secara terperinci, penerbitan obligasi hijau turun 7% pada semester I/2025 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Berkaca dari hal ini, Bloomberg kini memproyeksikan volume yang lebih rendah untuk penerbitan pada semester II/2025, sambil menunggu kejelasan kebijakan tarif dan risiko litigasi bagi korporasi.

Sebaliknya, penerbitan obligasi sosial diperkirakan terus mencetak rekor baru pada 2025, terutama didorong oleh lembaga negara dan supranasional. Ginnie Mae tercatat sebagai penerbit tunggal terbesar karena posisinya untuk mendukung akses pembiayaan rumah bagi komunitas kurang terlayani di Amerika Serikat.

Volume obligasi yang jatuh tempo akan meningkat tajam dalam dua tahun ke depan dan berpotensi menekan pertumbuhan pasar jika penerbitan menghadapi hambatan tambahan.

Per 1 Mei 2025, total obligasi berkelanjutan yang akan jatuh tempo hingga akhir 2025 mencapai US$553 miliar, dengan korporasi menyumbang US$392,5 miliar (71%) dan pemerintah serta lembaga lainnya sebesar US$160,7 miliar (29%).

“Penerbitan oleh korporasi tergolong lesu hingga April, turun 31% menjadi US$247,5 miliar, mencerminkan kehati-hatian di pasar primer,” kata Ratti.

Berdasarkan pola historis, rata-rata penerbitan korporasi antara Mei hingga Desember selama empat tahun terakhir adalah US$730 miliar. Jika laju saat ini berlanjut, total penerbitan bisa mencapai sekitar US$500 miliar, dan bila memburuk, risiko pembiayaan ulang (refinancing) akan meningkat signifikan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper