Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Inggris, Kenya, dan Singapura Bentuk Koalisi Dorong Pembelian Kredit Karbon

Keterlibatan perusahaan dalam perdagangan kredit karbon masih rendah
Ilustrasi kredit karbon
Ilustrasi kredit karbon

Bisnis.com, JAKARTA — Inggris, Kenya, dan Singapura meluncurkan koalisi baru untuk mendorong pembelian kredit karbon oleh perusahaan melalui penyusunan seperangkat pedoman bagi para pembeli. Langkah ini dinilai para ahli sebagai salah satu dukungan kebijakan terkuat di pasar karbon hingga saat ini.

Selama beberapa dekade, para pendukung pasar karbon telah berupaya membentuk sistem jual beli kredit karbon. Mekanisme ini memungkinkan perusahaan mengimbangi emisi mereka melalui pembelian kredit.

Meskipun pertemuan KTT Iklim atau COP29 di Baku tahun lalu menghasilkan kesepakatan sistem pasar karbon di bawah naungan PBB, perusahaan-perusahaan masih enggan terlibat dalam mekanisme ini.

Inggris, Prancis, Kenya, Singapura, dan Panama menyatakan komitmennya untuk menyepakati prinsip-prinsip dasar bagi sektor swasta menjelang COP30 di Brasil, November mendatang. Inisiatif ini bertujuan membangkitkan permintaan terhadap kredit karbon, yang berpotensi menyalurkan miliaran dolar pembiayaan iklim ke negara-negara berkembang.

Ravi Menon, Duta Iklim Singapura sekaligus penandatangan awal koalisi ini, menyatakan bahwa pasar karbon merupakan instrumen penting untuk mendorong aksi iklim. Namun, kepercayaan pelaku usaha menurun setelah muncul sejumlah kasus penyimpangan dalam proyek-proyek kredit karbon.

“Tantangan utama ada di sisi permintaan. Banyak korporasi yang kini enggan membeli kredit karena khawatir dianggap melakukan greenwashing,” ujar Menon, dikutip dari Reuters, Rabu (25/6/2025).

Di tengah ketiadaan regulasi atau pajak karbon yang tegas dari pemerintah, CEO Standard Chartered Bill Winters menambahkan bahwa perusahaan membutuhkan insentif untuk mengambil langkah yang benar.

“Pemegang saham kami kini tidak lagi mendukung hal-hal yang tidak menghasilkan keuntungan. Oleh karena itu, kita perlu mengembalikan siklus kebijakan dan keuntungan yang kini tidak berjalan,” kata Winters.

Hingga saat ini, aturan mengenai bagaimana perusahaan dapat menggunakan kredit karbon belum seragam. Lembaga-lembaga penetap standar masih berkonsultasi mengenai penggunaan kredit tersebut dalam target iklim korporasi.

“Lembaga standar sudah bekerja dengan baik, tetapi dukungan pemerintah tetap tak tergantikan,” tambah Menon.

Data dari penyedia informasi Abatable menunjukkan bahwa jumlah kredit karbon yang digunakan per tahun masih stagnan di angka 160 juta ton setara karbon dioksida sejak 2021, meski jumlah pembelinya menurun.

Menteri Iklim Inggris, Kerry McCarthy, menyebut koalisi ini bertujuan memberikan “sinyal kuat” kepada sektor bisnis tentang pentingnya penggunaan kredit karbon sebagai bagian dari strategi keberlanjutan perusahaan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Sumber : Reuters
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper