Bisnis.com, JAKARTA — Para penasihat independen Uni Eropa telah memperingatkan agar tidak melemahkan target iklim 2040 yang direncanakan blok tersebut. Hal ini karena para pejabat Uni Eropa mempertimbangkan untuk melunakkan target tersebut guna mencoba menahan reaksi politik terhadap kebijakan lingkungan yang ambisius.
Komisi Eropa berencana untuk mengusulkan pada bulan Juli target yang mengikat secara hukum untuk memangkas emisi negara-negara Uni Eropa hingga 90% pada 2040 dari tingkat tahun 1990.
Namun, rencana menghadapi penolakan dari pemerintah dimana Brussels menilai berbagai opsi termasuk menetapkan target yang lebih rendah untuk industri dalam negeri dan menggunakan kredit karbon internasional untuk menutupi kesenjangan hingga 90%.
Dewan Penasihat Ilmiah Eropa tentang Perubahan Iklim (European Scientific Advisory Board on Climate Change/ESABCC) memperingatkan terhadap pendekatan ini karena berisiko mengalihkan dana dari investasi di industri dan infrastruktur Eropa.
Kredit karbon dari proyek-proyek konservasi hutan dan transisi energi di Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu sumber potensial. Namun langkah ini menuai peringatan keras dari lembaga penasihat iklim independen Uni Eropa, European Scientific Advisory Board on Climate Change (ESABCC).
"Menggunakan kredit karbon internasional untuk memenuhi target ini, bahkan sebagian, dapat merusak penciptaan nilai domestik dengan mengalihkan sumber daya dari transformasi ekonomi Uni Eropa," kata ESABCC dilansir Reuters, Selasa (3/6/2025).
Baca Juga
ESABCC menilai menghitung kredit karbon berarti negara-negara UE dapat membeli kredit dari proyek-proyek yang mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) di luar negeri seperti pemulihan hutan di Brasil dan menghitungnya untuk mencapai tujuan Uni Eropa.
Kredit karbon menjadi cara penting untuk mengumpulkan dana bagi proyek-proyek pengurangan CO2 di negara-negara berkembang. Namun, beberapa pejabat UE waspada melarang kredit internasional dari pasar karbonnya pada 2013 setelah banjir kredit murah dengan manfaat lingkungan yang lemah menyebabkan jatuhnya harga karbon.
Pembelian kredit karbon artinya negara-negara Uni Eropa bisa mengklaim pengurangan emisi dengan mendanai proyek penanaman pohon, konservasi hutan, atau transisi energi di negara lain, alih-alih memangkas emisi dari industri domestiknya.
Indonesia dengan potensi hutan tropis dan proyek hijau yang berkembang, menjadi salah satu pasar paling menarik dalam perdagangan karbon global.
Namun, sejarah perdagangan karbon menunjukkan banyak risiko. Uni Eropa sendiri telah melarang kredit karbon internasional masuk ke dalam sistem pasar karbonnya sejak 2013, menyusul masuknya kredit murah yang minim dampak lingkungan dan menjatuhkan harga karbon secara drastis.
Kendati demikian, tekanan politik dan ekonomi mendorong munculnya kembali wacana ini. Pendukung skema ini menilai perdagangan karbon lintas negara penting untuk membantu pendanaan proyek hijau di negara berkembang. Namun, ESABCC menegaskan pendekatan semacam itu berisiko menunda transformasi energi domestik di Eropa sendiri.
Meskipun ada hambatan geopolitik, tarif AS yang membayangi dan harga energi yang tinggi, ESABCC akan tetap berpegang pada rekomendasinya dari tahun 2023 bahwa Uni Eropa menyetujui pengurangan bersih emisi gas rumah kaca sebesar 90% hingga 95% untuk tahun 2040. Hal ini dapat dicapai dan sejalan dengan tujuan global untuk mencegah perubahan iklim yang lebih buruk.
Untuk mencapai target pada 2040, membutuhkan sektor listrik yang hampir sepenuhnya bebas emisi dan peralihan ke elektrifikasi industri yang berpolusi.
Para penasihat mengatakan hal ini akan membawa manfaat termasuk berkurangnya masalah kesehatan terkait polusi, mendorong investasi untuk memodernisasi industri, dan meningkatkan keamanan dengan mengurangi ketergantungan Eropa pada bahan bakar fosil impor.