Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Industri Tekstil RI Hadapi Kendala untuk Dekarbonisasi

Di tengah kebutuhan akan produk tekstil rendah karbon, sektor ini justru kesulitan dalam menurunkan jejak emisinya
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA — Industri tekstil Indonesia menghadapi sejumlah kendala dalam mengadopsi aktivitas produksi rendah karbon atau dekarbonisasi. Hambatan pembiayaan menjadi kendala utama di tengah tuntutan merek terhadap produk yang rendah emisi.

Analisis yang dilakukan World Resources Institute (WRI) Indonesia memperlihatkan bahwa sektor manufaktur berkontribusi hingga 34% terhadap total emisi gas rumah kaca (GRK) nasional. Dari porsi tersebut, sumbangan industri tekstil mencapai 5%.

“Sebanyak 5% emisi sektor industri berasal dari tekstil. Pada saat yang sama, kontribusi sektor ini terhadap produk domestik bruto mencapai 5%,” kata Supply Chain Finance Consultant WRI Indonesia Sabrina Sebastiana dalam acara diskusi yang disponsori WWF Indonesia, WRI Indonesia dan HSBC di Jakarta, Selasa (27/5/2025).

Sabrina mengemukakan jejak karbon yang tinggi membuat industri tekstil nasional berada di posisi yang sulit. Terlebih dengan makin ketatnya persaingan dengan produk impor sejenis dan tuntutan merek-merek ternama terkait pemenuhan standar keberlanjutan dan lingkungan produk.

Dekarbonisasi atau penurunan emisi di sektor ini pun bukan perkara mudah. Sabrina memaparkan pelaku industri di level pemasok (supplier) cenderung tidak memiliki keleluasaan finansial dalam investasi untuk dekarbonisasi, terutama untuk lini bisnis dengan margin keuntungan yang tidak besar.

“Ada kapasitas finansial yang terbatas untuk investasi pada teknologi rendah karbon. Di sisi lain karakteristik produksinya berbeda-beda dan panjang [dari hulu ke hilir],” paparnya.

Penyedia solusi berbasis teknologi juga menghadapi kendala serupa dalam mendukung dekarbonisasi sektor ini, yaitu ketiadaan skema pembiayaan yang sesuai.

Dari sisi institusi finansial atau lembaga pembiayaan, Sabrina memaparkan bahwa industri tekstil masih dianggap sebagai sektor dengan risiko tinggi dan prospek pertumbuhan yang terbatas. Terlebih dengan dinamika pemutusan hubungan kerja dan masalah kredit sektor ini di Indonesia.

“Industri tekstil tidak dianggap sebagai industri yang menarik atau tidak dianggap prioritas. Ada mismatch dalam kebutuhan pembiayaan dekarbonisasi dan penyaluran kreditnya. Karena profil risikonya, tingkat bunga untuk pembiayaan juga tergolong tinggi,” kata Sabrina.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper