Bisnis.com, JAKARTA — Peringkat Indonesia dalam rantai pasok global baterai ion litium naik signifikan sepanjang 2024 berdasarkan laporan terbaru BloombergNEF. Indonesia kini menempati posisi ke-13 dari 30 negara dalam daftar, naik empat tingkat dibandingkan sebelumnya.
Posisi Indonesia jauh mengungguli negara Asia Tenggara lainnya seperti Vietnam di peringkat 19, Thailand di 22 dan Filipina di peringkat ke-27.
Laporan BloombergNEF bertajuk Global Lithium-Ion Battery Supply Chain Ranking mengungkap bahwa China berhasil mendepak Kanada dalam peringat teratas. Laporan ini sendiri memuat penilaian atas potensi 30 negara dalam membangun rantai pasok yang aman, bisa diandalkan dan berkelanjutan.
Harga listrik komersial yang rendah dan infrastruktur yang maju di China menjadi faktor utama yang membuat negara ini menempati peringkat teratas pada 2024. Di sisi lain, Kanada yang turun ke peringkat kedua tetap memiliki keunggulan dari sisi bahan baku dan iklim investasi yang stabil. Namun kenaikan skala produksi baterai yang lambat membuat Kanada cenderung tertinggal daripada China.
Kekuatan besar dalam rantai pasok baterai adalah Amerika Serikat yang juga berada di peringkat kedua. Posisi AS didukung dengan regulasi pemerintahan Joe Biden Inflation Reduction Act (IRA) tahun lalu. Namun, tarif yang diberlakukan oleh Presiden Donald Trump dan pengurangan ambisi terkait iklim mengancam posisi AS.
Biaya produksi yang berpotensi terkerek di AS bakal membuat investor mengalihkan investasinya ke wilayah lain. Harga yang naik karena tarif juga berisiko membuat konsumen menahan belanja produk energi bersih.
“Dalam pemeringkatan kali ini, Brasil dan Indonesia mencatat kenaikan terbesar,” kata Associate Metals and Mining di BloombergNEF Ellie Gomes-Callus dalam siaran pers, dikutip Jumat (16/5/2025).
Gomes-Callus mengatakan pertumbuhan rantai pasok baterai di pasar berkembang didorong oleh lonjakan permintaan dan peta jalan kebijakan yang ambisius. Namun, dia tetap memberi catatan soal perhatian global yang bakal mengarah pada AS, seiring dengan perkembangan kebijakan dagang pemerintahan Trump.
Beberapa pasar mapan seperti Jepang dan Korea Selatan juga memperlihatkan kenaikan peringkat pada 2024 dan berhasil masuk dalam 10 besar. Seperti China, Jepang dan Korea Selatan merupakan pelopor dalam rantai pasok baterai.
Posisi Jepang dan Korea Selatan memungkinkan mereka mempertahankan kinerja, meski harus menghadapi kondisi pasar yang makin sulit.
“Tahun lalu, industri baterai global menghadapi tantangan kelebihan pasokan, margin keuntungan yang menyusut, dan meningkatnya ketegangan perdagangan,” tulis BloombergNEF.
Sementara itu, potensi rantai pasok baterai Eropa justru menunjukkan tanda-tanda kemunduran. Dari 11 negara Eropa dalam peringkat tersebut, hanya Republik Ceko dan Turki yang meningkat, sementara lima mempertahankan posisinya dan empat mengalami penurunan.
BloombergNEF juga mencatat bahwa penurunan peringkat terbesar dialami oleh negara-negara Eropa, yakni Hungaria dan Finlandia. Masing-masing negara turun turun tujuh dan enam peringkat ke posisi 21 dan 11.
Kinerja Hungaria pada metrik sosial dan tata kelola merosot menjadi yang terburuk kedua di kawasan ini, sementara Finlandia terhambat oleh stagnasi industri kobalt dan nikel serta proses perizinan yang rumit. Pabrik komponen baterai milik BASF di Harjavalta tertunda akibat kesulitan terkait perizinan.
“Tanpa momentum baru dan intervensi terarah untuk mengatasi hambatan industri seperti perizinan dan biaya operasional yang tinggi, kawasan yang dulunya menjanjikan ini berisiko kehilangan pijakan dari pasar berkembang yang bergerak lebih cepat,” tulis BloombergNEF.
Daya saing Eropa perlahan tertinggal karena kapasitas produksi baterai yang tidak tumbuh secepat di kawasan lain dan skor permintaan yang melemah. Kondisi ini dipicu oleh kombinasi ukuran pasar yang kecil dan kejenuhan pasar. Beberapa negara di Eropa Timur dan Nordik masing-masing tertinggal akibat kondisi tersebut.
Laporan ini juga menyebutkan bahwa pasar bahan baku baterai menghadapi kelebihan pasokan dan permintaan yang lebih rendah dari perkiraan.
Selain itu, pasokan bahan baku baterai olahan masih terpusat di China meskipun ada upaya diversifikasi. Posisi sentral China juga terlihat dalam aspek penambahan kapasitas di sepanjang rantai nilai produksi baterai. Di sisi lain, pemain baru di luar kawasan China, Jepang dan Korea Selatan sering kali menghadapi tantangan dalam meningkatkan skala produksi baterai.