Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Asa Pemerintah Kebut Bangun PLTSa Demi Atasi Timbulan Sampah

Dari target 12 kota yang dicanangkan, saat ini baru dua PLTSa yang beroperasi secara penuh, yaitu PLTSa Putri Cempo di Surakarta dan PLTSa Benowo di Surabaya.
Lokasi pembuangan sampah akhir di Cipeucang, Kecamatan Serpong. Pemkot Tangerang Selatan akan membangun fasilitas pengolahan sampah modern di wilayah dengan skema kerja sama badan usaha dan pemerintah.
Lokasi pembuangan sampah akhir di Cipeucang, Kecamatan Serpong. Pemkot Tangerang Selatan akan membangun fasilitas pengolahan sampah modern di wilayah dengan skema kerja sama badan usaha dan pemerintah.

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menargetkan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dapat dilakukan di 33 lokasi. PLTSa menjadi strategi untuk menekan timbulan sampah terutama yang produksi sampahnya mencapai 1.000 ton per hari. Selain itu, juga mendorong transisi energi bersih. 

Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, mengatakan pemerintah dalam rangka mencapai target pengelolaan sampah, sedang melakukan penyatuan tiga Peraturan Presiden (Perpres) terkait pengelolaan sampah berbasis teknologi ramah lingkungan.

"Dalam Perpres 35 Tahun 2018 awalnya hanya ditargetkan 12 kota, sekarang bertambah menjadi 33 lokasi," ujarnya dalam rapat kerja bersama Komisi XII DPR RI, Rabu (14/5/2025).

Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan yang sebelumnya menargetkan 12 wilayah menjadi lokasi pembangunan PLTSa. Target pembangunan itu terdiri atas satu provinsi yakni Jakarta dan 11 kota, seperti Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Semarang, Makassar, dan lainnya. 

Dari target 12 kota yang dicanangkan, saat ini baru dua PLTSa yang beroperasi secara penuh, yaitu PLTSa Putri Cempo di Surakarta dan PLTSa Benowo di Surabaya.

Dalam beleid baru nantinya, penanganan pengelolaan sampah akan dilakukan penugasannya kepada Badan Pengelola Investasi Danantara (BPI Danantara) dan PT PLN, kemudian pemerintah daerah berkewajiban untuk menyiapkan lokasi dari tempat pengelolaan sampah untuk energi listrik dan menyiapkan bahan bakunya.

Selain itu, skema pembiayaan juga akan mengalami perubahan signifikan. Bila sebelumnya insentif diberikan melalui tipping fee atau atau biaya yang dibayar pemerintah kepada pihak pengolah sampah, maka ke depan berubah dengan subsidi langsung dalam bentuk pembelian tenaga listrik dari PLTSa.

"Bapak Presiden mengharapkan seluruh perizinan penanganan sampah ini bisa selesai di tahun 2025," katanya. 

Berbagai cara dilakukan untuk mengatasi persoalan sampah. Pasalnya, Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) total sampah di RI secara keseluruhan mencapai 56,63 juta ton sepajang 2023. Dari total sampah tersebut terdapat 39% sudah dikelola dengan baik dengan sejumlah metode.

"Dari 56,6 juta ton itu, 39% telah terkelola. Artinya, telah dilakukan pilah-pilih dan dilakukan dengan penimbunan melalui sanitary landfill maupun control landfill sejumlah 22,9 juta ton. Sebenarnya ini yang diamanatkan Undang-Undang 18 Tahun 2008," ucap Hanif.

Namun demikian, terdapat 61% atau sekitar 33,73 juta ton dari total sampah itu dikatakan tak terkelola dengan baik. Bahkan, dari jumlah 33,73 juta ton terdapat sebanyak 22,17 ton atau 39,14% sampah itu terbuang di bantaran sungai hingga pantai.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menuturkan pengolahan sampah menjadi energi listrik memiliki tantangan keekonomian proyek dimana biaya investasi yang mahal dengan tarif listrik tak sesuai dengan biaya investasi dan risiko. 

"Selain itu ada tantangan offtaker yaitu PLN. Pengembang pada akhirnya harus tanda tangan Power Purchase Agreement (PPA) dengan PLN," tuturnya. 

Menurutnya, pemerintah perlu menyiapkan kebijakan dan regulasi untuk mengatasi tantangan pengembangan waste to energy (WTE). Salah satunya melalui penetapan tarif listrik untuk WTE. Kemudian, perlu ada penetapan mengenai pengolahan sampah pada sanitary landfill.

Manajer Kampanye Polusi dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Abdul Ghofar menuturkan pada awal Maret 2025, pemerintah mengumumkan penutupan 343 Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) yang masih menggunakan sistem penimbunan terbuka atau open dumping. Penutupan ini dibarengi dengan instruksi pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melakukan pengelolaan sampah menggunakan teknologi thermal seperti incinerator dengan skala bervariasi.

Pengelolaan sampah menggunakan teknologi thermal seperti incinerator bukan hal baru di Indonesia. Setidaknya sejak 2007, pemerintah telah memperkenalkan infrastruktur pembakaran sampah yang diyakini mampu menghasilkan listrik sebagai nilai tambah dalam bentuk PLTSa.

Dalam perjalanannya, PLTSa kemudian masuk menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) di 12 kota di Indonesia. Namun implementasi PLTSa berjalan lambat, saat ini hanya ada dua kota yang mengoperasikan PLTSa yaitu, Kota Surakarta dan Kota Surabaya. P

Pada perkembangannya, PLTSa di dua kota tersebut kurang maksimal dalam menghasilkan energi listrik. Belum lagi jika menilik dampak lingkungan seperti penurunan kualitas udara, bau tidak sedap, pengelolaan abu terbang dan abu kerak (FABA), hingga pembuangan limbah ke lingkungan. Selain dampak lingkungan, operasi dua PLTSa tersebut juga menimbulkan gangguan kesehatan terutama gangguan pernafasan.

"Pada kasus PLTSa Putri Cempo, Kota Surakarta, warga mengadukan dampak lingkungan, sosial dan kesehatan tersebut ke pemerintah kota selalu pemrakarsa proyek," ujarnya. 

Di tengah kegagalan proyek PLTSa di 12 kota. Pemerintah justru mau mendorong PLTSa dijalankan di 30 kota sebagai usulan pasca penutupan 343 TPA. Menurutnya,pemerintah justru perlu mengevaluasi implementasi PLTSa yang berdampak pada lingkungan, kesehatan dan sosial.

"Belum lagi efektifitas dalam memproduksi listrik juga berjalan kurang maksimal," katanya. 

Dia menilai pemerintah semestinya menggaungkan Zero Waste Cities (ZWC) yang merupakan program perubahan perilaku yang mendorong sebuah
wilayah agar mampu mandiri mengelola sampah sesuai dengan jenisnya. Pada prinsipnya, pemerintah daerah menjadi kolaborator dan menjadi sasaran penguatannya juga. Hal ini agar pemerintah daerah bisa mengatasi permasalahan pengelolaan sampah seperti kebutuhan biaya yang tinggi.

"Dengan menjalankan sistem yang menyesuaikan dengan konteks lapangan yang diintervensi, maka diharapkan lingkungan sekitar akan lebih menerima dan budaya baru akan lebih mengakar di wilayah tersebut. Seperti program perubahan perilaku pada umumnya, menjalankan program ini hingga ke titik terjadinya perubahan perilaku akan membutuhkan beberapa tahun," tutur Abdul. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yanita Petriella
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper