Bisnis.com, JAKARTA — Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperingatkan bahwa dunia tengah memasuki titik perubahan iklim yang kritis. Hal ini tergambar dari fenomena panas ekstrem pada 2024.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengungkapkan, tahun 2024 resmi menjadi tahun terpanas dalam sejarah pencatatan instrumental, dengan suhu rata-rata global mencapai 1,55°C di atas tingkat pra-industri.
Dwikorita menyebut, angka tersebut melampaui batas ambang Perjanjian Paris yang telah disepakati secara global untuk mencegah krisis iklim.
“Ini bukan hanya soal cuaca panas. Ini adalah tanda bahwa kita sedang bergerak menuju titik kritis yang bisa mengancam keberlangsungan hidup manusia,” kata Dwikorita dalam keterangannya dikutip, Rabu (7/5/2025).
Dwikorita menjelaskan bahwa perubahan suhu yang terjadi saat ini jauh lebih cepat dibanding perubahan iklim yang pernah menyebabkan kepunahan massal jutaan tahun lalu.
Tanpa upaya mitigasi yang kuat dan kolaboratif, perubahan suhu yang ekstrem ini berpotensi membawa dampak besar terhadap stabilitas ekosistem, ketahanan pangan, serta keselamatan umat manusia di berbagai belahan dunia.
Baca Juga
“Jika punahnya dinosaurus dipicu oleh perubahan suhu yang berlangsung dalam jutaan tahun, kita sekarang mengalami lonjakan serupa hanya dalam 30 hingga 40 tahun,” tambahnya.
Data observasi BMKG menunjukkan tren peningkatan suhu yang terus berlanjut sejak 1981. Tahun 2024 mencatat suhu rata-rata nasional tertinggi sebesar 27,52°C.
Kondisi ini, menurut Dwikorita, bukan sekadar anomali, tetapi bukti nyata bahwa krisis iklim telah berlangsung dan akan berdampak langsung pada sektor-sektor vital, termasuk kesehatan publik.
Dwikorita memaparkan bahwa perubahan iklim tidak hanya menyebabkan cuaca ekstrem, tetapi juga meningkatkan risiko penyakit menular, malnutrisi, gangguan kesehatan mental, hingga memburuknya kualitas hidup masyarakat.
Perubahan pola curah hujan dan suhu berkontribusi terhadap meningkatnya kasus infeksi berbasis air dan makanan, seperti kolera dan salmonella, serta penyakit akibat gigitan serangga seperti demam berdarah dan Lyme disease.
Untuk menjawab tantangan tersebut, BMKG bersama-sama dengan Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dengan didukung oleh Institute for Health Modeling and Climate Solutions (IMACS) dan Mohamed bin Zayed University of Artificial Intelligence (MBZUAI) mengembangkan inisiatif Climate Smart Indonesia, sistem peringatan dini multi-bahaya yang berbasis kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
“Dengan teknologi saat ini, BMKG bisa memprediksi musim hingga enam bulan ke depan dengan akurasi 85%. Dengan bantuan AI, prediksi ini bisa lebih akurat dan presisi, hingga skala kota, kabupaten atau bahkan satu desa,” tuturnya.
BMKG, kata Dwikorita, juga mengembangkan platform layanan seperti DBDKlim, yang telah diterapkan di Jakarta dan Bali untuk memberikan peringatan dini terhadap potensi lonjakan kasus demam berdarah.
Dwikorita mengingatkan bahwa Indonesia sedang bersiap memasuki musim kemarau, yang biasanya diiringi peningkatan suhu dan memburuknya kualitas udara.
Risiko kekeringan dan polusi udara, terutama partikulat halus PM 2.5, semakin tinggi karena minimnya curah hujan dan pergerakan angin yang stagnan.
BMKG kini memantau kualitas udara dan menyajikannya secara real-time melalui aplikasi Info BMKG, yang dapat diakses masyarakat untuk mengambil tindakan mitigasi sejak dini.
“Kita sedang berpacu dengan waktu. Semakin cepat kita bertindak, semakin besar peluang kita menyelamatkan masyarakat dari dampak paling buruk perubahan iklim. Kolaborasi adalah satu-satunya jalan,” pungkasnya.