Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah baru saja meluncurkan Peta Jalan Hidrogen dan Amonia Nasional (RHAN) 2025–2060 sebagai turunan dari strategi hidrogen nasional.
Namun, roadmap ini tak cukup dibuka dengan pidato. Dibutuhkan komando nyata dan langkah konkret dari pemerintah agar roadmap ini tak berakhir sebagai sekadar dokumen kebijakan.
Peta jalan ini terbagi menjadi tiga fase: Inisiasi (2025–2034), Pengembangan dan Integrasi (2035–2045), dan Akselerasi dan Keberlanjutan (2046–2060).
Pada fase inisiasi, langkah awal mencakup proyek percontohan dan komersialisasi stasiun pengisian bahan bakar hidrogen (SPBH), kendaraan fuel cell, serta bus dan truk hidrogen. Di sektor gas, direncanakan pencampuran hidrogen 20% dalam jaringan distribusi gas (2028–2034).
Adapun untuk sektor kelistrikan, uji coba co-firing amonia di PLTU dan co-firing hidrogen di turbin gas dijalankan, bersama dengan komersialisasi pembangkit fuel cell hybrid pada 2027. Selain itu, sektor industri memulai pemanfaatan hidrogen bersih di baja, kilang, dan pupuk sejak 2026.
Merujuk roadmap tersebut, keberhasilan fase pengembangan dan akselerasi ditentukan dari implementasi fase inisiasi. Mengingat pada tahapan ini, semua potensi pengembangan hidrogen dilakukan.
Baca Juga
Di sisi lain, inisiasi kajian pengembangan hidrogen juga dilakukan oleh civitas akademika dan pelaku usaha. Misalnya saja, Guru Besar Fakultas Teknik Universita Gadjah Mada, Deendarlianto telah melakukan penelitian terkait hidrogen hijau yang berkolaborasi dan dibiayai pemerintah serta beberapa pihak dari industri seperti PLN dan Pertamina.
Deendarlianto mengatakan regulasi dari pemerintah diperlukan dengan melibatkan kerangka hukum yang jelas.
“Tingginya target demand yang dicanangkan pemerintah mempertimbangkan target NDC 2060, kemudian juga dengan perkembangan demand dari industri jadi pertimbangan pemerintah,” ujarnya belum lama ini.
Hanya saja, untuk mendorong geliat pengembangan hidrogen sebagai peluru sakti transisi energi, pemerintah dihadapkan sejumlah pekerjaan rumah. Deendarlianto mengatakan hal mendasar yang harus dihadirkan pemerintah ialah menyiapkan aturan khusus terkait pengembangan hidrogen.
“Karena terminologi tentang hidrogen belum terlihat. Itu disiapkan dulu. Kemudian baru menyiapkan peta jalan industri yang matang,” tegas Deendarlianto.
Strategi Pemerintah
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan regulasi akan disiapkan jika pasar dan investor mulai masuk. Namun, pendekatan semacam ini kontraproduktif. Menurutnya, roadmap justru harus menjadi sinyal pembuka untuk menciptakan pasar dan menarik investasi.
"Kalau ditanya, bagaimana regulasinya? Memang selama ini kita bikin regulasi itu baru mobil listrik, belum hidrogen. Kalau sudah banyak, sudah bagus, dan kita lihat potensi market-nya sudah ada, maka pemerintah harus melakukan penyesuaian," ujar Bahlil dalam Global Hydrogen Ecosystem 2025 di JCC, Senayan, Selasa (15/4/2025).
Hidrogen hijau dinilai dapat menjadi salah satu solusi untuk mencapai dekarbonisasi sektor energi Indonesia khususnya pada sektor industri berat dan transportasi berat yang sulit dikurangi emisinya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan hidrogen hijau yang diproduksi dari pemecahan molekul air dengan listrik dari energi terbarukan seperti energi surya, angin, biomassa dan panas bumi merupakan sumber energi yang paling kompetitif secara biaya.
Menurutnya, biaya produksi hidrogen hijau (Levelized Cost of Hydrogen/LCOH) dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Indonesia akan terus menurun seiring penurunan harga listrik dari energi surya, angin, dan harga teknologi elektroliser.
Saat ini, LCOH berkisar antara US$4,3 hingga US$8,3 per kilogram. Namun, dengan skenario strategis Indonesia berpeluang menurunkannya hingga US$2 per kilogram sebelum 2040.
"Bahkan bisa tercapai pada 2030 asalkan dapat segera mengembangkan ekosistem energi hijau," ujarnya dikutip dari laman resmi, Sabtu (26/4/2025).
Merujuk Laporan Global Hydrogen Review 2024 dari IEA, dinamika sektor hidrogen global masih sangat bergantung pada arah dan kekuatan kebijakan pemerintah.
Meski permintaan global tumbuh hingga 97 juta ton pada 2023, pasar tetap didominasi oleh hidrogen berbasis bahan bakar fosil tanpa mitigasi emisi.
Sejauh ini, mayoritas proyek masih di tahap perencanaan awal dan sangat bergantung pada dukungan kebijakan, insentif fiskal, dan kejelasan regulasi untuk mencapai keputusan investasi final (FID).
IEA bahkan mencatat, untuk merealisasikan seluruh pipeline, sektor ini butuh pertumbuhan tahunan mencapai 90% hingga 2030 atau lebih tinggi dari lonjakan energi surya pada masa keemasannya.
Bagi Indonesia, temuan ini sangat relevan. Tanpa membangun ekosistem permintaan yang jelas, RHAN bisa terjebak dalam perencanaan sepihak. Sinergi dengan sektor industri, transportasi, serta kejelasan insentif dan pembiayaan akan menjadi kunci agar proyek dapat menarik investasi dan berkelanjutan.