Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tren Bangunan Gedung Hijau Menggeliat di Level Asia, Bagaimana Indonesia?

Pasar real estat Asia semakin fokus pada bangunan hijau untuk keberlanjutan. Indonesia aktif mengadopsi sertifikasi hijau, dengan 200 proyek EDGE tersertifikasi.
Ilustrasi bangunan hijau. /istimewa
Ilustrasi bangunan hijau. /istimewa

Bisnis.com, JAKARTA — Pasar real estat Asia semakin menyadari pentingnya mengintegrasikan praktik ramah lingkungan. Hal ini tidak hanya untuk kepatuhan tetapi juga untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat akan kehidupan berkelanjutan.

Founder Portman Investments Kristin Thorsteins mengatakan perlunya regulasi yang lebih ketat untuk mendorong upaya keberlanjutan agar serupa dengan yang diterapkan di Uni Eropa dan Inggris.

"Kebijakan yang lebih kuat dapat mendorong adopsi inisiatif hijau dalam skala yang lebih besar di seluruh sektor. Jika kita melihat wilayah lain yang berada di garis depan keberlanjutan, undang-undang pemerintah yang bersifat menghukum justru mendorong integrasi inisiatif pengurangan karbon dalam konstruksi," ujarnya dalam laporan PropertyReport, Rabu (30/7/2025). 

Menurutnya, pemerintah di seluruh negara Asia sedang meluncurkan kebijakan untuk mendorong real estat berkelanjutan. Di Singapura, dalam rencana induk bangunan hijau ditargetkan dapat mencapai 80% pada 2030. Di China, rencana aksi bangunan hijau mewajibkan 50% bangunan baru untuk mendapatkan sertifikasi hijau tahun 2025.

Beberapa negara Asia juga telah menetapkan target nol bersih yang ambisius untuk sektor real estat. Jepang menargetkan emisi nol bersih pada 2050, dengan investasi signifikan dalam teknologi dan infrastruktur hijau. Korea Selatan berencana mencapai netralitas karbon pada tahun 2050, dengan fokus pada standar bangunan hijau dan integrasi energi terbarukan. Lebih lanjut, rencana aksi iklim 2050 Hong Kong menargetkan pengurangan emisi karbon sebesar 50% pada 2035 dan menargetkan nol bersih tahun 2050.

"Meskipun momentumnya semakin meningkat, mengintegrasikan keberlanjutan ke dalam pengembangan real estat menghadirkan beberapa tantangan," katanya. 

Dia menilai pengeluaran modal awal untuk teknologi dan praktik berkelanjutan dapat sangat besar, dan periode pengembalian modal, meskipun seringkali kurang dari empat tahun, masih dapat menjadi hambatan bagi beberapa pengembang. Selain itu, diperlukan perubahan budaya dalam organisasi untuk memprioritaskan dan memperjuangkan praktik berkelanjutan.

Pendiri Firma Konsultan Real Estat IC Partners Limited kata Charles Blocker menilai berinvestasi dalam teknologi berkelanjutan tidak hanya mengurangi biaya operasional tetapi juga meningkatkan nilai keseluruhan dan daya jual proyek real estat.

"Namun, pengembang harus berkomitmen untuk mengubah pola perilaku dan mendidik tim mereka agar dapat sepenuhnya mewujudkan manfaat ini," ucapnya. 

Dia menilai teknologi yang sedang berkembang juga akan berperan penting dalam membentuk masa depan ini. Inovasi dalam manajemen energi, pengurangan limbah, dan material bangunan akan mengubah cara bangunan dirancang, dibangun, dan dioperasikan.

"Teknologi adalah kunci untuk membuka potensi penuh real estat berkelanjutan. Dari sistem manajemen energi berbasis AI hingga material bangunan berkelanjutan, inovasi-inovasi ini akan mendorong efisiensi dan keberlanjutan di sektor ini," tuturnya. 

Menurut Blocker, meningkatnya permintaan investor terhadap bangunan bersertifikat hijau merupakan tanda positif lainnya. Proyek hijau menjadi penting untuk mengamankan pembiayaan dan menarik investor.

"Tren ini akan terus berkembang, menjadikan keberlanjutan sebagai komponen inti dari strategi investasi real estat," ujarnya. 

Selain itu, keberlanjutan menjadi faktor penting dalam menarik dan mempertahankan talenta. Perusahaan dengan kredibilitas lingkungan yang kuat lebih menarik bagi generasi pekerja baru yang memprioritaskan keberlanjutan, menurut Thorsteins.

"Nilai-nilai yang dianut pemilik dan komitmen merek terhadap praktik ramah lingkungan memudahkan perekrutan dan retensi karyawan. Keselarasan antara keberlanjutan dan budaya perusahaan ini vital untuk kesuksesan jangka panjang," katanya. 

Fokus pada keberlanjutan ini meningkatkan budaya perusahaan sekaligus menggarisbawahi kebutuhan yang lebih luas akan perubahan sistemik dalam industri ini. Menurutnya, adopsi praktik berkelanjutan yang meluas di seluruh industri real estat lebih bergantung pada inisiatif kebijakan yang kuat dan kemajuan teknologi.

"Seiring Asia terus menerapkan kebijakan ramah lingkungan dan teknologi inovatif, sektor real estat dapat menantikan masa depan di mana tanggung jawab lingkungan menjadi norma, bukan pengecualian. Perpaduan proyek visioner dan strategi pragmatis pada akhirnya akan membentuk lanskap perkotaan yang lebih berkelanjutan dan tangguh," ucap Blocker. 

PENERAPAN BANGUNAN HIJAU RI

Senior Manager untuk Inovasi dan Pengembangan Bisnis di Departemen Bisnis Iklim International Finance Corporation (IFC) Diep Nguyen-van Houtte menuturkan di Indonesia kemajuan adopsi bangunan hijau juga didorong oleh reformasi kebijakan dan regulasi. Upaya penyesuaian kebijakan dengan target nasional pengurangan emisi sebesar 29%  pada 2030 telah membuka peluang besar bagi praktik konstruksi ramah lingkungan untuk menjadi bagian dari arus utama pembangunan.

Adapun di Indonesia terdapat empat sertifikasi bangunan hijau yang umum digunakan: Excellence in Design for Greater Efficiencies (EDGE) Certification oleh IFC, GREENSHIP Certification oleh Green Building Council Indonesia (GBCI), Leadership in Energy and Environmental Design (LEED) Certification oleh U.S. Green Building Council (USGBC), dan Green Mark Certification oleh Building and Construction Authority (BCA) Singapura.

Sejak 2015 hingga 2 Juli 2025, Indonesia menjadi salah satu negara yang paling aktif mengadopsi EDGE. IFC mencatat 200 proyek bangunan hijau telah tersertifikasi EDGE di seluruh Indonesia, baik yang sudah jadi maupun masih dalam desain. Total luas bangunan tersertifikasi mencapai 4,33 juta meter persegi termasuk 27.620 unit rumah. Proyek-proyek ini mencakup bangunan hunian, komersial, dan fasilitas publik. Beberapa di antaranya bahkan telah mencapai status zero carbon yang menunjukkan komitmen terhadap masa depan yang rendah emisi dan mendukung target net-zero.

"Salah satu tonggak penting terjadi pada April 2022 ketika Masjid Istiqlal di Jakarta, yang merupakan masjid terbesar di Asia Tenggara, menjadi tempat ibadah pertama di dunia yang meraih sertifikasi akhir EDGE. Pencapaian ini menjadi bukti bahwa prinsip keberlanjutan dapat diterapkan pada bangunan bersejarah maupun modern," tuturnya. 

IFC mencatat Jakarta sebagai provinsi dengan tingkat pertumbuhan pasar bangunan hijau tertinggi di Indonesia dengan total 171 bangunan tersertifikasi. Provinsi lain yang menunjukkan perkembangan signifikan adalah Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Di Jawa Barat memiliki 45 bangunan hijau tersertifikasi, diikuti Banten dan Jawa Timur masing-masing 26 bangunan, serta Jawa Tengah 16 bangunan. Adapun dari 38 provinsi di Indonesia, 25 telah memiliki proyek bangunan hijau bersertifikat. 

"Wilayah Jawa memiliki jumlah proyek gedung hijau tersertifikasi terbanyak, diikuti Sumatera dan Kalimantan yang menunjukkan tren pertumbuhan positif. Inisiatif ini diklaim mampu memangkas emisi karbon dan menghemat energi serta air secara signifikan," terangnya. 

Menurutnya, pencapaian ini mencerminkan tren global menuju bangunan yang lebih berkelanjutan dan hemat sumber daya. Dia menilai EDGE telah membantu mendorong transformasi pasar di berbagai negara berkembang dengan pendekatan yang praktis, terukur, dan mudah diterapkan. Dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya bangunan hijau, EDGE terus memainkan peran penting dalam mendorong perubahan positif baik dari sisi pasar maupun kebijakan.

"Kami berkomitmen untuk terus memperluas kerja sama dengan pemerintah, pengembang, dan mitra lainnya di seluruh dunia.EDGE dirancang sebagai platform digital yang mudah diakses dan terjangkau. Aplikasi ini tersedia secara gratis dan memungkinkan pengembang untuk menghitung penghematan energi, air, serta energi yang terkandung dalam material bangunan melalui pemodelan bioklimatik dan data lokal. Fitur ini juga membantu proses pengambilan keputusan dalam desain bangunan yang berkelanjutan," ujarnya. 

Penerapan prinsip bangunan hijau pada proyek-proyek dengan EDGE Certification ini diklaim mampu memangkas emisi karbon dioksida (CO2) sebesar total 100.000 ton karbon dioksida (CO2) per tahun, menghemat energi 120.000 megawatt hour (MWh) per tahun, serta menghemat air 4,7 juta meter kubik per tahun.

Untuk diketahui, selain 200 proyek sertifikat EDGE, juga terdapat 121 proyek bangunan hijau seluas 5,16 juta meter persegi dengan GREENSHIP Certification, 56 proyek seluas 1,13 juta meter persegi dengan LEED Certification, dan 25 proyek seluas 1,43 juta meter persegi dengan Green Mark Certification. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yanita Petriella
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro