Bisnis.com, JAKARTA — Sektor pertanahan memainkan peran penting dalam aksi iklim global berdasarkan Perjanjian Paris dimana hampir semua negara memasukkan penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan kehutanan (land use, land-use change, and forestry/LULUCF) sebagai bagian dari target emisi nasional.
Namun demikian, terdapat kekhawatiran dari komunitas ilmiah karena pemerintah mungkin melebih-lebihkan serapan lahan dalam penghitungan mereka, menutupi skala dan kecepatan pemotongan emisi bahan bakar fosil yang diperlukan untuk mempertahankan pencapaian 1,5 derajat Celcius.
Analis Climate Analytics Kim Coetzee mengatakan terjadi ketidakselarasan antara estimasi ilmiah penyerapan karbon lahan dan inventaris gas rumah kaca nasional resmi.
Perbedaan ini menunjukkan pengurangan emisi yang lebih cepat diperlukan dalam kenyataan daripada yang tersirat oleh pendekatan yang menggunakan inventaris gas rumah kaca nasional resmi.
Adapun metode penghitungan penyerapan karbon LULUCF saat ini, jika disertakan dalam sistem penghitungan nasional, maka dapat menambah emisi bahan bakar fosil yang masih dapat dipancarkan negara dan memenuhi target Nationally Determined Contribution (NDC) Paris.
"Secara keseluruhan, masalah-masalah ini membahayakan kemampuan untuk membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat Celcius, bahkan jika jalur nominal 1,5 derajat Celcius diikuti," ujarnya dalam laporan Addressing Challenges in
The Land Sector Under The Paris Agreement dikutip Senin (28/4/2025).
Baca Juga
Menurutnya, ketergantungan negara pada penyerapan karbon LULUCF berisiko merusak pemotongan emisi fosil yang mendesak dan mendalam yang diperlukan untuk menjaga agar target 1,5 derajat Celcius tetap tercapai.
Selain itu, penurunan tajam dalam serapan karbon daratan yang diamati pada 2023 dan 2024, yang terkait dengan peningkatan kadar CO2 yang lebih tinggi dari yang diperkirakan, menambah kekhawatiran bahwa penurunan jangka panjang dalam kemampuan lahan untuk menyerap karbon mungkin semakin cepat.
Lahan yang tersedia untuk penyerapan saat ini terbatas dan bersaing dengan penggunaan lahan penting lainnya seperti produksi pangan dan perlindungan keanekaragaman hayati. Meskipun pemotongan emisi memiliki efek permanen, namun penyimpanan karbon berbasis lahan pada dasarnya bersifat sementara.
Hal ini karena aktivitas manusia dan peristiwa alam dapat melepaskan karbon yang tersimpan. Oleh karena itu, selain masalah keberlanjutan, gagasan bahwa penyerapan karbon berbasis lahan dapat mengimbangi emisi karbon dioksida (CO2) dari pembakaran bahan bakar fosil secara ilmiah cacat karena emisi CO2 bahan bakar fosil untuk semua tujuan praktis dimana tidak dapat diubah.
"NDC di seluruh perekonomian yang selaras dengan batas pemanasan 1,5 derajat Celcius, yang mencakup semua gas, sektor, sumber, dan kategori, termasuk sektor lahan," katanya.
Dia menilai perlu adanya transparansi untuk menunjukkan peran lahan dalam memberikan pengurangan emisi utama dengan memberikan target indikatif terpisah pada pengurangan emisi bruto tidak termasuk perubahan penggunaan lahan dan kehutanan. Lalu penyerapan karbon berbasis lahan dan rekayasa penghilangan karbon permanen.
Menurutnya, perlu fokus pada pengurangan emisi sebagai prioritas dimana pemotongan emisi fosil sekarang akan menghindari kebutuhan untuk penghilangan karbon yang berisiko di masa mendatang.
"Ketergantungan yang besar pada penampungan sementara akan mengakibatkan pemanasan tambahan dan dapat mendorong tujuan iklim di luar jangkauan," ucapnya.
Selain itu, perlu komitmen untuk mengakhiri deforestasi pada 2030 dengan menetapkan rencana nasional sejalan dengan seruan Global Stocktake untuk menghentikan deforestasi dan memulihkan penampungan karbon pada 2030.
Atasi ketidakselarasan antara inventaris gas rumah kaca nasional dan estimasi ilmiah penyerapan karbon dengan mereformasi pendekatan yang diambil untuk pelaporan dan penghitungan fluks karbon di lahan yang dikelola dan tidak dikelola, dan dengan memastikan bahwa semua fluks karbon berbasis hutan dilacak
"Tetapkan rencana nol bersih dengan menunjukkan kapan dan bagaimana pemerintah dan pelaku lain berencana untuk mencapai nol bersih CO2 dan semua gas rumah kaca, termasuk sektor mana yang akan memiliki emisi residual yang tersisa di sektor yang tidak dapat dihindari atau sulit dikurangi dan bagaimana ini akan ditangani. Jelaskan rencana perdagangan karbon selama periode NDC," tuturnya.
Dengan tidak adanya aturan umum yang ketat yang mengatur LULUCF, negara-negara perlu secara aktif memastikan lahan yang terserap tidak mengaburkan tingkat pengurangan emisi riil yang dibutuhkan. Peningkatan transparansi dan pendekatan yang mengutamakan bahan bakar fosil terhadap pengurangan emisi sangat penting untuk memastikan bahwa sektor lahan tidak berfungsi untuk meningkatkan emisi secara keseluruhan
"Namun, dengan tindakan untuk menghentikan penggundulan hutan dan memulihkan penyerap karbon, lahan memiliki peran penting untuk dimainkan dalam mencapai nol emisi bersih dan menjaga agar batas suhu 1,5 derajat Celcius Perjanjian Paris tetap tercapai," ucap Kim.
Analis Climate Analytics Claudio Forner menambahkan penyerapan karbon oleh hutan dinilai kompleks dan belum sepenuhnya dipahami, terutama dalam kondisi pemanasan global yang terus meningkat.
Namun demikian, banyak negara tetap memasukkan asumsi serapan karbon hutan dalam rencana iklim nasional yang harus diserahkan ke PBB sebelum Konferensi Perubahan Iklim COP30 di Brasil pada November mendatang.
Menurutnya, asumsi yang terlalu optimistis terhadap kemampuan hutan dapat menutupi skala dan kecepatan pemangkasan emisi yang sebenarnya dibutuhkan untuk menjaga pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celsius dibandingkan era pra-industri.
Dia mencontohkan Australia dalam rencana iklim terbarunya sangat bergantung pada hutan untuk mengurangi jejak karbon dimana bisa mengurangi upaya pemangkasan emisi nyata hingga 10%. Kemudian, Brasil berkomitmen menurunkan emisi sebesar 59% hingga 67% pada 2035. Namun, negara tersebut tidak secara transparan menjelaskan kontribusi hutan terhadap pencapaian target tersebut.
"Skema seperti ini berpotensi membuat emisi Brasil justru tetap meningkat dua kali lipat. Kalau hutan digunakan untuk mengompensasi semuanya, emisi dari sektor energi tetap akan bertumbuh," tuturnya.
Dia menilai meskipun hutan penting dalam mitigasi perubahan iklim, namun serapan karbonnya tidak boleh digunakan sebagai penyeimbang emisi dari energi dan industri. Terlebih, karbon yang tersimpan dalam pohon bisa kembali lepas ke atmosfer akibat kebakaran hutan atau gangguan alam lainnya.
"Aktivitas deforestasi dan degradasi lahan, juga memperlemah kemampuan hutan untuk menyerap karbon. Kalau para ilmuwan saja belum bisa memahami perilaku penyerapan karbon di masa depan, saya pastikan sebagian besar pemerintah juga tidak memahaminya," ujarnya.
Claudio mengimbau jika negara-negara terus mendasarkan perhitungan emisi pada asumsi serapan karbon yang keliru, maka akan terjadi defisit besar antara karbon yang dilepaskan dan yang berhasil diserap.
Adapun ketidakpastian ini dapat mencapai 3 miliar metrik ton karbon dioksida atau setara dengan total emisi tahunan India, negara penghasil emisi terbesar ketiga di dunia.