Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Negara Produsen Baja Terbesar Kedua Dunia Hadapi Tantangan Standar Lingkungan Eropa

Bagi India, Uni Eropa adalah pasar penting bagi produk baja dengan menyumbang 25% dari ekspor baja negara tersebut.
Ratan Tata (kiri) berbincang dengan Perdana Menteri India Narendra Modi/ x.com Narendra Modi
Ratan Tata (kiri) berbincang dengan Perdana Menteri India Narendra Modi/ x.com Narendra Modi

Bisnis.com, JAKARTA – India, sebagai negara produsen baja terbesar di dunia menghadapi tantangan standar lingkungan Uni Eropa yang lebih ketat guna mengejar target net zero emission (NZE). 

Bagi India, Uni Eropa adalah pasar penting bagi produk baja dengan menyumbang 25% dari ekspor baja negara tersebut. Untuk itu, India harus segera mematuhi peraturan karbon yang lebih ketat agar tidak dikenakan denda besar yang dapat merugikan posisi globalnya di pasar baja. 

Mengutip laporan dari Rystad Energy, diperkirakan pada 2034, India dan Rusia bisa menghadapi biaya karbon yang sangat tinggi untuk industri baja. Tercatat, setidaknya beban tambahan bisa mencapai $397 per ton, bahkan jika harga karbon tetap stabil.

Uni Eropa telah menerapkan kebijakan penting, seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), yang mulai berlaku penuh pada 2034. Kendati demikian, proses awal berlakunya CBAM dimulai pada tahun depan.

Diperkirakan standar lingkungan terbaru Uni Eropa ini akan mengutip biaya karbon pada produk impor, termasuk baja, berdasarkan emisi karbon yang terkandung. 

Menurut Pusat Penelitian Gabungan UE (JRC), produksi baja India lebih intensif karbon dibandingkan dengan pesaing global lainnya. Oleh karena itu, kebijakan ini dapat mendorong biaya tambahan hingga $80 per ton pada 2030 jika India tidak mengadopsi teknologi yang lebih bersih. 

Vice President, Supply Chain Research, Rystad Energy Alistair Ramsay mengatakan ongkos yang terus meningkat ini dapat merusak daya saing baja India di pasar Eropa, menjadikannya kurang menarik dibandingkan alternatif baja dengan emisi lebih rendah. 

Menurutnya, Korea Selatan dan Turki memiliki posisi yang lebih baik untuk mendapatkan manfaat dari standar lingkungan ini dan berpotensi menggeser India dari posisi tiga besar produsen baja.

“Di masa mendatang, mengurangi emisi karbon bisa menjadi lebih dari sekadar kewajiban regulasi dan menjadi kebutuhan kompetitif, seiring dengan perkembangan kebutuhan pembeli,” ujarnya, dalam keterangan pers, dikutip Senin (7/4/2025).

Strategi India

Menanggapi kebijakan terbaru ini, pemerintah India dan produsen baja terbesar negara ini sedang menyesuaikan pendekatan mereka untuk beradaptasi dengan kebijakan lingkungan negara lain. 

Pemerintah India memperkenalkan sistem klasifikasi baja hijau di bawah skema Insentif Berbasis Produksi (PLI) pada Desember 2024. Dalam kerangka ini, baja yang menghasilkan kurang dari 2,2 ton karbon dioksida (CO₂) per ton baja jadi dianggap sebagai "baja hijau", sementara baja dengan emisi di bawah 1,6 ton per ton memperoleh rating bintang lima. 

Inisiatif ini bertujuan untuk memberi insentif kepada produsen baja India untuk mengurangi emisi dan mengadopsi teknologi yang lebih bersih. Pembicaraan juga sedang berlangsung untuk mewajibkan baja hijau dalam proyek sektor publik, yang dapat mengubah permintaan domestik.

“Di India, produksi baja masih sangat bergantung pada batu bara, apabila beralih ke alternatif rendah karbon seperti pembuatan baja berbasis gas alam atau hidrogen hijau tentu emerlukan investasi dan inovasi besar,” ujar Ramsay.

Lima produsen baja terbesar di India yaitu Tata Steel, JSW Steel, Jindal Steel & Power (JSPL), Steel Authority of India (SAIL), dan AM/NS India berkontribusi menyumbang lebih dari 50% dari produksi baja negara tersebut dan telah melakukan perubahan, dengan beberapa dengan menetapkan tujuan emisi nol karbon pada 2045. 

Untuk mengurangi emisi, produsen-produsen ini juga mengadopsi campuran energi terbarukan, optimasi proses, dan inisiatif ekonomi sirkular. Tata Steel, misalnya, akan mengoperasikan pabrik tungku busur listrik (electric arc furnace/EAF) dengan kapasitas 0,75 juta ton per tahun (Mtpa) di Ludhiana pada Maret untuk produksi baja rendah karbon. 

Perusahaan ini juga telah berinvestasi dalam pabrik penangkap karbon di Jamshedpur dan sedang mengamankan 379 megawatt (MW) tenaga terbarukan untuk operasionalnya. 

Sementara itu, JSW Steel, yang menargetkan emisi nol pada 2050, telah mengumpulkan dana sebesar $500 juta melalui obligasi untuk mendorong keberlanjutan dan sedang memperluas produksi dengan menggunakan teknologi rendah karbon. 

Perusahaan ini juga telah mengalokasikan $1 miliar untuk dekarbonisasi dan sedang mengintegrasikan biomassa dan hidrogen dalam proses pembuatan baja.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper