Bisnis.com, JAKARTA — Pemanfaatan hidrogen hijau akan membantu Indonesia mencapai target net zero emission (NZE) 2060 atau lebih cepat melalui pemanfaatannya pada sektor kelistrikan, industri dan transportasi.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan produksi hidrogen hijau akan mempercepat pembangunan pembangkit energi terbarukan dan mendukung strategi mitigasi di sektor-sektor pengguna yang emisi sulit ditekan seperti industri berintensitas energi tinggi (intensive) dan transportasi jarak jauh. Pihaknya mendorong pemerintah untuk meningkatkan produksi dan penciptaan pasar penggunaan hidrogen hijau.
Menurutnya, harga menjadi tantangan adopsi hidrogen hijau di Indonesia. Saat ini, biaya produksi hidrogen hijau berkisar antara US$3,8 per kilogram hingga US$12 per kilogram atau sekitar empat kali lebih mahal dibandingkan hidrogen abu-abu dari gas alam.
"Untuk mendorong pemanfaatan hidrogen hijau, maka harganya harus diturunkan dalam lima tahun mendatang," ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (27/3/2025).
Fabby menuturkan terdapat tiga faktor yang akan meningkatkan daya saing hidrogen hijau. Faktor pertama teknologi produksinya semakin matang. Pembangkit surya dan angin yang semakin murah harga listriknya dan teknologi elektrolisis sehingga menurunkan harga hidrogen hijau.
Lalu faktor kedua, investasi global untuk hidrogen hijau terus meningkat. Pada 2020 secara global sekitar 102 proyek hidrogen bersih mencapai keputusan investasi final dengan nilai sekitar US$10 miliar. Kemudian, di tahun 2024, investasi meningkat menjadi 434 proyek dengan nilai US$75 miliar.
Baca Juga
Faktor ketiga, hidrogen hijau memberikan manfaat ekonomi, seperti penciptaan lapangan kerja dan meningkatkan ketahanan energi. Selain dapat menggantikan gas dan batu bara sebagai sumber energi hidrogen juga berpotensi menjadi komoditas ekspor dan berkontribusi pada devisa negara.
Adapun saat ini permintaan utama hidrogen berasal dari sektor industri seperti kimia, dan baja,. Namun, seiring dengan ambisi penurunan emisi untuk mempertahankan kenaikan suhu bumi di 1,5 derajat Celsius, permintaan hidrogen akan berasal dari sektor yang lebih beragam termasuk teknologi baru di industri baja, bahan bakar penerbangan dan laut, pembangkitan listrik, serta transportasi darat.
Bahkan, Fabby menjelaskan berdasarkan data Deloitte, pasar ekspor hidrogen di Asia Tenggara diperkirakan akan mencapai US$51 miliar pada 2030, US$79 miliar pada 2040 dan US$ 141 miliar pada 2050.
Dia meyakini dengan potensi energi terbarukan Indonesia yang mencapai lebih dari 3.686 GW dan target mencapai dekarbonisasi pada 2050, pengembangan hidrogen hijau dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan rendah emisi.
Berdasarkan kajian terbaru IESR, potensi proyek energi terbarukan yang dapat dikembangkan dan layak secara finansial sebesar 333 gigawatt (GW). Potensi proyek pembangkit energi terbarukan layak yang tersebar di seluruh Indonesia dapat dimanfaatkan untuk memproduksi hidrogen hijau jika listriknya tidak dapat diserap oleh PLN.
"Pemerintah diharapkan menetapkan target pengembangan hidrogen hijau dalam 5 tahun mendatang dengan sasaran peningkatan produksi dan penciptaan pasar, serta target menurunkan biaya produksi hidrogen hijau di bawah US$2 per kilogram. Pencapaiannya harus didukung oleh kerangka kebijakan dan insentif fiskal dan finansial untuk produksi dan pengguna hidrogen hijau," katanya.
Fabby menilai untuk menarik investasi pada hidrogen hijau diperlukan ekosistem yang mendukung implementasi Strategi Hidrogen Nasional (SHN).
IESR mendorong percepatan ekosistem hidrogen hijau di Indonesia dengan enam langkah yakni merumuskan strategi hidrogen nasional beserta peta jalan pengembangan hidrogen hijau sebagai landasan arah kebijakan jangka panjang dalam transisi energi rendah karbon.
Kemudian, menetapkan prioritas kebijakan yang tepat guna meningkatkan daya saing harga hidrogen hijau, agar lebih kompetitif dibandingkan sumber energi konvensional. Selanjutnya, mengembangkan sistem tata kelola dan kerangka kebijakan pendukung lintas sektor, guna menciptakan ekosistem yang kondusif bagi pemanfaatan dan pengembangan hidrogen hijau.
Selain itu, membangun sistem sertifikasi dan pelacakan asal-usul (guarantee of origin) untuk hidrogen hijau, yang dapat menjamin transparansi, integritas, dan keberterimaan di pasar internasional. Di sisi lain, mendorong kerja sama antarnegara sebagai bagian dari strategi global untuk mempercepat transformasi sistem energi dan membuka peluang perdagangan energi rendah karbon.
Lalu juga menguatkan kolaborasi domestik yang sinergis antara pemerintah, sektor swasta, dan lembaga riset, dalam rangka mendorong inovasi, investasi, dan implementasi teknologi hidrogen secara menyeluruh.
Sementera itu, Koordinator Pelayanan dan Pengawasan Usaha Aneka Energi Baru Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Muhamad Alhaqurahman Isa menuturkan saat ini pihaknya sedang menyelesaikan peta jalan hidrogen dan amonia nasional yang berisi strategi implementasi, rencana aksi, evaluasi dan pengawasan.
Adapun peta jalan tersebut direncanakan akan diluncurkan pada April 2025, saat acara Global Hydrogen Ecosystem Summit (GHES) 2025.