Bisnis.com, JAKARTA — Dalam sepekan terakhir, usai banjir besar yang terjadi pada 4 Maret 2025 lalu, Pemerintah gencar melakukan sidak, penyegelan, dan pembongkaran bangunan dan kawasan wisata yang dianggap penyebab banjir. Banjir besar Jabodetabek pada awal Maret 2025 juga menjadi alarm keras daya tampung daerah aliran sungai (DAS) semakin menurun.
Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan tak segan mengenakan sanksi pidana kepada perusahaan baik pemilik properti dan tempat wisata di kawasan Puncak dan Bogor yang terbukti merusak lingkungan sehingga menjadi penyebab banjir. Pasalnya, banjir menjadi peringatan keras daya tampung DAS semakin menurun terutama di hulu sungai Ciliwung dan Kali Bekasi.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup, luas tutupan vegetasi di DAS Bekasi hanya mencapai 3,35% dari total luasan DAS seiring dengan pertambahan area pertanian dan pemukiman di wilayah tersebut.
Deputi Bidang Tata Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Berkelanjutan Kementerian Lingkungan Hidup Sigit Reliantoro mengatakan terdapat penambahan luasan kawasan pemukiman dan pertanian di segmen 1 Das Bekasi di wilayah yang sebelumnya berperan memberikan perlindungan kepada wilayah tersebut salah satunya sebagai resapan air.
“Kalau dilihat DAS Kali Bekasi di segmen 1 di hulunya jauh lebih kecil tutupan lahannya. Jadi kalau dihitung hanya 3,35% dari DAS Kali Bekasi,” ujarnya dikutip Rabu (19/3/2025).
Adapun kriteria tutupan vegetasi harus mencapai minimal 30% dari luas DAS untuk memberikan perlindungan kepada wilayah sekitar termasuk untuk daerah resapan air di kawasan hulu yang berperan dalam tata kelola air yang kemudian mengalir ke hilir atau wilayah lebih rendah.
Baca Juga
Jika hanya melihat segmen 1 atau bagian hulu, maka luas tutupan vegetasinya hanya mencapai 21,24% dari total luas hulu DAS Bekasi. Padahal, DAS Bekasi memiliki luas sekitar 145.000 hektare dengan segmen Puncak mencakup 28.000 hektare di mana 12.500 hektare seharusnya berfungsi sebagai kawasan perlindungan ekosistem dan pengendalian bencana.
Merujuk data KLH, telah terjadi peningkatan luasan lahan terbangun/terbuka meningkat dari 6.711,32 hektare pada 2013 menjadi 7.629,79 hektare pada 2023. Dalam periode 2013 hingga 2023, terjadi sedikit peningkatan vegetasi hutan dari 3.198,72 hektare pada 2013 menjadi 4.895,01 hektare pada 2023 yang kemungkinan hasil dari rehabilitasi lahan di sekitar kawasan gunung kapur di Cileungsi.
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) hulu DAS Bekasi, kawasan pemukiman meningkat dari 5.519,73 hektare pada 2010 menjadi 9.752,90 hektare pada 2022. Kawasan pertanian sendiri tercatat mencapai 5.817,05 hektare pada 2022, yang tidak tertera pada RTRW 2010.
Menurutnya, kehilangan tutupan lahan di area yang seharusnya menjadi kawasan lindung dengan tutupan hutan tersebut juga berpengaruh terhadap banjir di hilir, termasuk yang terjadi di wilayah Jakarta dan sekitarnya baru-baru ini.
“Ini menunjukkan Kali Bekasi dan Cikarang itu banjir, ya barangkali masuk logika karena yang melindungi hanya 3,35% tutupan vegetasi di sana,” katanya.
Dia menyoroti perubahan signifikan kawasan lindung daerah tangkapan air berubah menjadi kawasan permukiman dimana membuat terjadinya banjir di Cisarua pada 3 Maret lalu.
“Banjir itu tidak hanya di dataran rendah saja, juga sudah terjadi di daerah Ciliwung, di hulunya. Artinya ada permasalahan mendasar, dulu ada 8.000 hektare kawasan lindung yang hijau, lalu sekarang dikonversi menjadi kawasan pertanian dan pemukiman,” ucap Sigit.
Deputi Bidang Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup Rizal Irawan menutukan pihaknya telah melakukan pengawasan terhadap sejumlah perusahaan di kawasan hulu DAS yang diduga berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan.
Pihaknya akan menerapkan pendekatan multidoor enforcement bagi perusahaan yang terbukti melanggar regulasi lingkungan hidup. Adapun multidoor enforcement merupakan penindakan yang mencakup sanksi administratif, pidana, dan perdata.
Kementerian Lingkungan Hidup akan mengeluarkan paksaan pemerintah kepada sejumlah korporasi yang berada di hulu DAS Ciliwung, termasuk diantaranya meminta melakukan pembongkaran secara mandiri. Namun jika tidak dilakukan dalam batas waktu tertentu makan pemerintah akan membongkar.
“Kami telah menugaskan pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri sipil untuk menyelidiki penyebab kerusakan lahan di hulu Sungai Ciliwung dan Kali Bekasi,” tuturnya.
Hasil dari penyelidikan dan pengawasan, pihaknya telah memberikan sanksi administratif terhadap delapan perusahaan yang berdiri di hulu DAS Ciliwung. Perusahan tersebut merupakan unit Kerja Sama Operasi (KSO) dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I Regional 2-Unit Agrowisata Gunung Mas.
“Saat ini kami menggunakan sistem multidoors, yaitu sanksi administrasi, sengketa lingkungan hidup, perdata, dan juga pidana,” ujarnya.
Menurutnya, ada sejumlah dugaan pelanggaran lingkungan yang dilakukan PTPN yakni pengelola mengabaikan peringatan dari pemerintah daerah untuk menghentikan pembangunan.
“Karena ada pengabaian dari PTPN akhirnya mulailah pembangunan. Ada 33 kerja sama operasional (KSO) di dalam Hak Guna Usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara I dan beberapa yang sudah melakukan pembangunan secara masif yang berpengaruh pada lingkungan di area Puncak,” kata Rizal.
Lalu pelanggaran lainnya PTPN memperlebar area wisata yang semula 16 hektare menjadi 39 hektare. Kemudian, menambah kegiatan agrowisata yang sebelumnya sembilan menjadi 13 jenis kegiatan. Dugaan pelanggaran selanjutnya, PTPN tidak melakukan pemantauan erosi tanah, pemantauan badan air, dan tidak mencantumkan laporan pengelolaan dan pemantauan lingkungan setiap enam bulan.
“Jika terbukti ada pelanggaran serius, kami akan merekomendasikan pembongkaran fasilitas dan pemulihan lahan terdampak,” ucapnya.
Adapun terdapat 8 perusahaan di hulu DAS Ciliwung termasuk PT Jaswita Lestari Jaya, PT Eigerindo Multi Produk Industri, PT Bobobox Aset Manajemen, PT Karunia Puncak Wisata, PT Farm Nature and Rainbow, PT Pinus Foresta Indonesia, CV Mega Karya Anugrah, PT Jelajah Handal Lintasan, dan PT Perkebunan Nusantara I dan PT Sumber Sari Bumi Pakuan dikenakan sanksi administratif paksaan pemerintah.
“Perusahaan yang kena sanksi administratif wajib pembongkaran mandiri dan pemulihan lingkungan,” tuturnya.
Selain itu, terdapat perusahaan di Sentul yang merupakan kawasan hulu DAS Bekasi yaitu PT Sentul City Tbk, Rainbow Hill Golf Club yang dikelola PT Light Instrumenindo, Golf Gunung Geulis yang dikelola PT Mulia Colliman International, Perumahan Citra City Sentul, dan Perumahan Summarecon Bogor yang dikelola PT Kencana Jayaproperti Mulia, PT Kencana Jayaproperti Agung, dan PT Gunung Srimala Permai akan menghadapi penegakan hukum pidana dan gugatan atas kerugian lingkungan hidup.
“Kami juga telah memasang plang pengawasan. Kami akan meminta bantuan kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bogor dan juga DLH Provinsi Jawa Barat untuk sama-sama melakukan pengawasan terhadap beberapa area yang sudah kita pasang plang pengawasan kemarin. Tentunya ada kolaborasi antara kementerian dengan pemerintah daerah, baik itu provinsi maupun juga kabupaten,” terang Rizal.
Sementara itu, Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup Dodi Kurniawan menambahkan pihaknya telah mengidentifikasi pencemaran maupun perusakan lingkungan di Hibics Fantasy Puncak milik PT Jaswita dan Eiger Adventure Land dari penurunan tim verifikasi lapangan. Investigasi yang melibatkan para ahli dari berbagai bidang mengungkapkan pembangunan fasilitas wisata di area ini berkontribusi pada kerusakan lingkungan.
“Kasus mencolok itu perubahan tutupan lahan di Hibics Fantasy Puncak yang dikelola oleh PT Jaswita Lestari Jaya. Awalnya merupakan perkebunan teh, lahan ini kini berubah menjadi bangunan permanen yang mengurangi daya resapan air dan meningkatkan debit runoff saat hujan. Dampaknya nyata bencana banjir dan longsor yang terjadi di Cisarua pada 3 Maret 2025 terbukti berasal dari aliran air yang tidak tertahan akibat perubahan tutupan lahan tersebut,” ujarnya.
Pemerintah berkomitmen untuk menegakkan aturan dan memulihkan kembali hulu DAS sebagai langkah pencegahan bencana di masa depan.
“Multidoor enforcement akan terus diterapkan agar para pelaku usaha lebih bertanggung jawab dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Masyarakat diharapkan turut serta dalam upaya pemulihan dengan meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan sekitar dan melaporkan potensi pelanggaran yang dapat merusak ekosistem,” kata Dodi.
ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DAN DAS
Sementara itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menegaskan Lahan Sawah Dilindungi (LSD) tidak boleh diubah menjadi perumahan dan permukiman. Saat ini, total luas Lahan Baku Sawah (LBS) di Indonesia adalah 7,3 juta hektare dimana sebesar 87% dari total LBS harus menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).
Saat ini terdapat delapan provinsi yang telah ditetapkan menjadi daerah masuk dalam kawasan LSD. Delapan provinsi tersebutSumatera Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
Berdasarkan data dari delapan provinsi yang masuk LSD, antara 2019 hingga 2021 alih fungsi lahan sawah mencapai 136.000 hektare. Namun angka itu turun menjadi 5.600 hektare selama periode 2021 sampai 15 Februari 2025.
“Setelah ada LSD ternyata efektif, dari 2021 sampai 15 Februari 2025, lahan yang berubah fungsi hanya 5.600 hektare, sangat signifikan,” ucapnya.
Menurutnya, dengan adanya kebijakan LSD, alih fungsi lahan sawah dapat dikendalikan secara signifikan, mengurangi konversi lahan untuk pemukiman dan industri yang mengancam ketahanan pangan.
“Ada alih fungsi karena memang lahan tersebut belum ditetapkan menjadi LP2B (Lahan Pertanian dan Pangan Berkelanjutan),” tuturnya.
Nusron juga menegaskan tanah yang berada di badan dan sepadan sungai harus diterbitkan sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atas nama negara. Hal itu terkait dengan peraturan pemerintah yang mengharuskan tanah yang bukan hutan untuk disertifikatkan baik itu tanah negara maupun tanah yang dikuasai masyarakat.
Tanah di sepanjang sungai termasuk di atas tanggul harus memiliki status hukum yang jelas dengan sertifikat atas nama negara.
Kepastian hukum ini sangat penting mengingat banyak tanah di atas tanggul yang sebelumnya tidak disertifikasi. Sebagian tanah tersebut telah diduduki oleh pihak-pihak tertentu yang kemudian mengurus surat tanah melalui berbagai pihak, termasuk lurah dan instansi lainnya.
“Otoritas atas tanah di badan sungai dan sepadan sungai berbeda-beda tergantung pada pengelolaan sungai tersebut. Jika sungai tersebut dikelola oleh Kementerian Pekerjaan Umum, maka Badan Pengelola Wilayah Sungai (BPWS) yang bertanggung jawab. Lalu jika kewenangan Pemerintah Provinsi, maka pengelolaan Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Provinsi,” terangnya.
Menurutnya, penataan tanah di badan sungai dan sepadan sungai merupakan langkah penting untuk mencegah bencana banjir dan mengoptimalkan pengelolaan sumber daya air. Terlebih, di DAS Kali Bekasi terdapat 124 tanah bersertifikat.
Terpisah, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah mengatakan pihaknya menjamin tidak ada anggota Apersi yang menggunakan lahan sawah untuk perumahan. Pasalnya, sebelum membangun rumah terdapat prosedur yang dilalui.
“Jika perizinan diperbolehkan dan sesuai aturan yang ada, pengembang pasti mengikuti aturan, dan tidak saling menyalahkan. Pengembang pada prinsip izin yang diterbitkan oleh Pemda, kalau pemda yang melarang maka pengembang enggak akan bangun,” ujarnya.
Menurutnya, banjir besar yang terjadi pada pekan lalu bukan salah pengembang. Dia menilai perlu dilakukan evaluasi menyeluruh perizinan dan bukan hanya perumahan saja.
“Perumahan masyarakat umum banyak tenggelam. Banjir kemarin kan seperti bencana dan tidak saling menyalahkan. Evaluasi juga dilakukan ke perumahan masyarakat umum yang dibangun swadaya,” katanya.
Dia mengusulkan agar evaluasi menyeluruh dilakukan pada pembangunan perumahan yang akan datang bukan pada perumahan yang sudah ada saat ini. Pasalnya, perumahan saat ini yang terkena banjir sudah terbangun dan dihuni.
“Pengembang enggak akan bangun kalau tidak sesuai dengan peruntukan lahan dan perizinan. Kalau peruntukkannya sawah kami tidak akan bangun. Kalau peruntukannya boleh dibangun permukiman tidak salah pengembangnya. Ini evaluasi menyeluruh dilakukan untuk semua perumahan baru ke depannya,” ucap Junaidi.
Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Real Estat Indonesia (REI) Bambang Eka Jaya mengatakan proses pembangunan satu wilayah bukan hanya oleh developer saja. Pengembangan perumahan harus sesuai dengan perencanaan dan tata ruang dan berlaku.
“Kami membangun sesuai dengan konsep tata ruang yang ada dan peraturan terkait, serta semua perizinan yang dikeluarkan oleh Pemda,” tuturnya.
Pihaknya menampik pengembang menggunakan lahan bekas sawah dan rawa untuk dijadikan kawasan perumahan. Menurutnya, yang perlu diperhatikan oleh masyarakat tidak semua akibat yang timbul seperti banjir besar yang baru terjadi langsung menunjuk developer sebagai biang kerok.
“Memang koordinasi harus disinergikan oleh Pemda karena saat mulai proyek pun peil banjir (ketinggian muka tanah yang secara hidrologi paling aman dari resiko banjir) sudah ditetapkan oleh pemda dalam proses PBG (perizinan bangunan gedung) di samping dengan amdal lalin, amdal lingkungan untuk proyek yang skala besar,” katanya.
Dia menegaskan tidak ada satu developer yang mau proyek propertinya kebanjiran karena akan menghancurkan nilai proyek tersebut dan juga reputasi developer ke depan.
“Yang perlu dilakukan tentu pengawasan dalam pelaksanaannya agar sesuai,” ucapnya.
Bambang menambahkan untuk developer besar yang menggunakan lahan bekas rawa akan dilakukan pengerukan dan diganti tanah merah. Lalu dibangun dengan fondasi minimal beton plat setempat dan bahkan menggunakan tiang pancang beton untuk menjaga kualitas bangunan.