Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah Indonesia diminta mengerek pungutan pada batu bara untuk mendukung pembiayaan transisi energi dan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (Sustain) Tata Mustasya mengatakan dana yang terkumpul melalui kenaikan pungutan produksi batu bara secara progresif dapat menjadi salah satu opsi pembiayaan transisi energi.
Dia mengatakan Indonesia berpeluang memperoleh pembiayaan hingga 170% dari kebutuhan transisi energi dalam dokumen Just Energy Transition Partnership (JETP) sebesar US$96,1 miliar melalui pungutan progresif.
Potensi dana yang dikumpulkan Indonesia bahkan mencapai 35% dari kebutuhan JETP dalam skenario terkecil. Dana ini disebut Tata cukup untuk membiayai pembangunan jaringan listrik dan pensiun dini PLTU.
“Ini menunjukkan, kalau pemerintah punya kemauan politik untuk meningkatkan pungutan batu bara, Indonesia sebenarnya bisa membiayai transisi energi,” kata Tata dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (8/2/2025).
Selain pungutan batu bara progresif, Tata mengatakan pemerintah dapat menerapkan pajak karbon untuk PLTU, dengan batasan emisi dan harga yang tepat. Langkah ini menjadi disinsentif bagi bisnis PLTU karena dapat memangkas laba, sehingga mendorong pemilik PLTU untuk beralih ke bisnis energi terbarukan.
Baca Juga
Tak hanya itu, makin tidak menguntungkannya bisnis batu bara dapat membuat Indonesia menurunkan biaya yang dibutuhkan untuk menutup PLTU. Pajak karbon juga dapat menjadi sumber pendanaan penutupan PLTU.
“Gap yang ada dalam pensiun dini itu PLTU masih mendapat karpet merah dengan berbagai fasilitas yang membuat untungnya masih besar, sehingga tidak ada urgensi pensiun ini. Penerapan pajak karbon ini memang berproses, tetapi harus dilakukan dari sekarang,” tambah Tata.
Banyaknya fasilitas yang diberikan kepada sektor energi fosil, termasuk batu bara, disebut Martha Maulidia, Peneliti Kebijakan Energi International Institute for Sustainable Development (IISD), juga menghambat pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
“Akhirnya kita terkunci pada situasi di carbon lock-in. Karena sudah sayang mengucurkan uang ke sana, bukannya dihentikan, kita malah terus bakar duit ke sana. Subsidi ke energi fosil perlu dicabut dulu, baru kita terapkan pajak karbon, agar uang negara tidak sekadar berpindah dari kantong kanan ke kantong kiri,” ungkap Martha.
Menurutnya, pemerintah perlu melakukan transformasi untuk merealisasikan transisi energi, utamanya agar pertumbuhan energi terbarukan dapat naik signifikan. Subsidi dan kompensasi listrik pada 2022 mencapai lebih dari Rp500 triliun. Jika Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil, besaran subsidi dan kompensasi energi dapat dipangkas dan dialokasikan ke sektor lain yang lebih penting.
“Kalau Indonesia menjalankan business as usual, masih banyak kepentingan di RUKN [rencana umum ketenagalistrikan nasional] dan RUPTL [rencana usaha penyediaan tenaga listrik], artinya bauran energi terbarukan tidak akan naik signifikan,” kata Martha.