Bisnis.com, JAKARTA – Nasib program Just Energy Transition Program (JETP) terkatung-katung setelah rezim kedua Presiden AS Donald Trump resmi dimulai. Ikhtiar program yang dibentuk untuk mendorong pertumbuhan ekonomi rendah karbon di Indonesia ini bakal gugur?
Kemitraan Transisi Energi yang Adil lahir setelah Pemimpin KTT G20 di Bali sepakat untuk meluncurkan kemitraan guna mendukung target baru yang ambisius untuk transisi energi yang adil di Indonesia.
Untuk mencapai target ini, pendanaan awal publik dan swasta senilai US$20 miliar selama periode tiga hingga lima tahun akan dikerahkan melalui koordinasi Sekretariat JETP.
Layu sebelum berkembang. Sepertinya itu peribahasa yang tepat untuk menggambarkan kiprah JETP hingga kini. Sejak Sekretariat JETP resmi berdiri sejak 16 Februari 2023, kabar baik dari ruangan itu tidak banyak terdengar.
Kepemimpinan Presiden AS Donald Trump diproyeksi membuat program ini gugur. Asumsi ini muncul setelah Presiden ke-47 AS ini, langsung menandatangani sejumlah perintah atau executive order yang dianggap bakal membuat Negeri Paman Sam menjauh dari komitmen perubahan iklim.
Salah satunya menandatangani penarikan diri dari perjanjian iklim Paris. Pengumuman ini seakan mengancam tujuan utama perjanjian untuk menghindari kenaikan suhu global sebesar 1,5 derajat celsius.
Baca Juga
Di tengah tingginya kebutuhan pendanaan untuk proyek transisi energi di Tanah Air, hadirnya dana JETP jadi angin segar. Terakhir, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut pendanaan transisi energi dari skema JETP untuk Indonesia baru masuk sebesar US$500 juta atau Rp7,76 triliun (asumsi kurs Rp15.521), dari total komitmen US$21,6 miliar.
Pendanaan tersebut berasal dari Uni Eropa dan International Partners Group (IPG) yang dipimpin Amerika Serikat dan Jepang. Pendanaan tersebut langsung disalurkan kepada PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) yang merupakan pengelola dana JETP, untuk proyek panas bumi.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira khawatir perintah Trump di hari pertamanya bakal memengaruhi keberlanjutan pendanaan transisi energi di Indonesia, salah satunya JETP.
“Apalagi dengan Indonesia yang punya keinginan mendorong berkembangnya EBT untuk menggantikan PLTU. Indonesia akan kehilangan pembiayaan transisi energi, dan dikhawatirkan berpengaruh kepada proyek sedang perjalanan,” katanya, saat dihubungi Bisnis, Selasa (21/1/2025).
Menurutnya, Indonesia perlu menggali potensi pendanaan transisi energi negara negara-negara lain di luar China dan AS. Salah satu kemitraan yang bisa didorong yakni dengan negara-negara di Timur Tengah.
Hal ini, sebelumnya berhasil dilakukan untuk pengembangan PLTS apung Cirata berkapasitas 192 MWp. Sebagai PLTS terbesar di Asia Tenggara dan nomor tiga di dunia, PLTS ini mampu mengurangi emisi karbon sebesar 214 ribu ton per tahun.
PLTS Terapung Cirata merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) hasil kolaborasi dua negara yakni Indonesia dan Uni Emirat Arab (UEA), yang melibatkan subholding PLN Nusantara Power dengan Masdar. Dibangun di atas permukaan air waduk Cirata, PLTS seluas 200 hektare ini mampu memproduksi energi hijau berkapasitas 192 Megawatt peak (MWp) untuk menyuplai listrik bagi 50 ribu rumah.
“Kita harus mencari partner transisi energi di Timur Tengah, selain China dan AS. Keberhasilan skema pembiayaan di proyek PLTS Cirata bisa jadi contohnya,” tegasnya.
Bhima menambahkan, sejumlah proyek pembangkit EBT yang sedang disiapkan juga berisiko terganggu karena ketidakpastian kelanjutan pendanaan JETP. Bahkan, menurutnya, awan gelap ini juga memengaruhi penyusunan RUPTL 2025 - 2034.
Terkait hal ini, Bisnis mencoba menghubungi Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo, tetapi belum ada respons lebih lanjut.
Berdasarkan keterangan resmi PLN pada Juni 2023, perseroan siap mengakselerasi 522 proyek hijau yang dikolaborasikan investasinya melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP).
Jumlah tersebut meningkat tajam dari 163 proyek hijau yang saat ini dijalankan secara mandiri oleh PLN untuk transisi energi mencapai target NZE pada 2060
Sebelumnya, Bisnis memberitakan bahwa AS telah dana US$1 miliar atau Rp16 Triliun untuk JETP telah disetujui dan diharapkan menciptakan lapangan kerja di Tanah Air.
Di sisi lain, kepemimpinan Trump juga diproyeksi tidak serta-merta mengubah kelanjutan transisi energi secara ekstrim.
CEO Resources for the Future Billy Pizer menganggap apa pun yang dilakukan Trump tidak akan mengubah tren mendasar.
Melansir Bloomberg, berdasarkan data kebijakan iklim Trump di era pertamanya sebagai Presiden, berdampak dua arah.
Pertama, beberapa janjinya soal sikap bertolak belakang dengan komitmen perubahan iklim memang akan dipenuhinya. Kedua, Gedung Putih tidak dapat sepenuhnya membatalkan komitmen penurunan emisi AS yang telah berlangsung sekitar dua dekade.
Berdasarkan riset Resources for the Future, banyak faktor yang memengaruhi kontribusi AS dalam upaya dekarbonisasi di dalam negeri maupun luar negeri.
“Dampak perubahan iklim itu sendiri yang terus meningkat. Kebakaran hutan, banjir, badai, dan gelombang panas yang lebih kuat dan lebih sering terjadi mendorong momentum berkelanjutan di beberapa negara bagian dan kota di AS, serta negara lain,” ujar Billy.