Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni membantah pemanfaatan hutan seluas 20 juta hektare sebagai kawasan cadangan pangan, energi, dan air merupakan deforestasi.
Dia mengatakan langkah tersebut adaah salah satu upaya untuk mendukung swasembada pangan dengan tetap menjaga keberlanjutan dan kelestarian hutan. Kementerian Kehutanan disebutnya telah mengidentifikasi sekitar 20 juta hektare hutan yang bisa dimanfaatkan sebagai kawasan cadangan pangan, energi dan air.
"Idenya bukan deforestasi, tetapi justru menjaga hutan, yang secara bersamaan swasembadanya berjalan," kata Raja Juli dalam keterangan resmi sebagaimana dikuti Antara, Rabu (8/1/2025).
Dia memberi contoh lahan yang bisa ditanami padi gogo sehingga bisa mendukung dan merealisasikan swasembada pangan. "Contoh padi gogo, 1,1 juta hektare lahan berpotensi di tanam padi gogo. Kalau tanam 1 juta bisa menghasilkan hingga 3,5 juta ton beras per tahun," sambungnya.
Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan AM Putranto sependapat dengan langkah yang diambil Kemenhut. Namun dia mengatakan Kementerian Kehutanan perlu memastikan analisis dampak lingkungan (amdal) yang mendukung langkah tersebut. Terlebih, menurutnya, kebijakan ini akan disorot oleh dunia.
"Yang perlu diwaspadai memastikan amdal betul-betul mendukung pada lingkungan. Kebijakan beliau ini pasti dunia akan melihat," sebutnya.
Baca Juga
Terpisah, Manajer Kampanye dan Advokasi Forest Watch Indonesia (FWI) Anggi Prayoga mengatakan pembukaan area hutan untuk tanaman monokultur bukanlah solusi yang tepat untuk keamanan pangan, energi dan air Indonesia. Sebagai contoh, pembukaan lahan sawit di kawasan hutan akan mempercepat laju pelepasan emisi karbon.
“Butuh waktu 44 hingga 104 tahun untuk mengembalikan emisi yang hilang dari pergantian hutan menjadi tanaman monokultur,” kata Anggi ketika dihubungi.
Dia juga mencatat bahwa pendekatan yang acap kali digunakan dalam pengelolaan hutan di Indonesia adalah konversi hutan, alih-alih pemanfaatan fungsi hutan. Hal ini bisa berdampak negatif bagi masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem hutan.
Senada, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik mengatakan gagasan kedaulatan pangan dan energi yang dijanjikan pemerintah dapat memperparah krisis iklim dan memicu krisis multidimensi.
“Pembukaan 20 juta hektare hutan jelas akan meningkatkan emisi karbon, termasuk juga memicu kebakaran dan kabut asap jika alih fungsi lahan ini dilakukan di lahan gambut. Ujungnya adalah kegagalan pemerintah memenuhi komitmen untuk mengatasi krisis iklim dan menjaga keanekaragaman hayati,” kata Iqbal dalam siaran pers.
Greenpeace Indonesia juga menyoroti risiko tidak tercapainya target penurunan emisi karbon jika pemanfaatan hutan seluas dua kali Pulau Jawa ini direalisasikan. Dalam Nationally Determined Contribution (NDC) di bawah Perjanjian Iklim Paris, Indonesia menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca 31,89% pada 2030 dengan kemampuan sendiri, dan 43,2% dengan bantuan internasional. Komitmen NDC Indonesia juga bertumpu dari sektor forest and land use (FoLU), salah satunya dengan pengurangan deforestasi.
Namun, laporan tim ilmuwan Global Carbon Project dalam jurnal Earth System Science Data yang rilis pada akhir 2023 menyebut, emisi global karbon dioksida global pada 2023 terus mengalami kenaikan bahkan menduduki tingkat tertinggi dalam sejarah.
Indonesia juga menempati posisi kedua sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia dari sektor lahan. Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/WMO) baru-baru ini juga memperingatkan kawasan Asia termasuk Indonesia akan ancaman bahaya akibat krisis iklim yang makin parah, termasuk kondisi ekstrem seperti kekeringan, gelombang panas, banjir, dan badai.