Bisnis.com, JAKARTA- Dalam sedekade belakangan, kampanye ekonomi hijau kian semarak. Sebagai konsep, ekonomi hijau telah diadopsi dalam berbagai kebijakan strategis.
Di atas kertas, seiring komitmen Indonesia dalam Kesepakatan Paris dan implementasi COP26, terdapat kebijakan ratifikasi iklim. Hal itu termaktub dalam UU No. 16/2016 tentang Pengesahan Kesepakatan Paris.
Secara serempak berbagai kebijakan turunan pun diterbitkan, termasuk mengenai komitmen Indonesia mengurangi emisi karbon. Tercatat Indonesia telah melaporkan komitmen NDC sebanyak tiga kali kepada United Nationally Framework for Climate Change (UNFCC) dalam periode 2016-2030.
Sejak 2016, terdapat komitmen National Determined Contribution (NDC) yang menggunakan basis BAU, dengan target mengikis karbon sebesar 29% atas kemampuan sendiri dan 41% dengan bantuan internasional.
Setelah itu, terdapat update NDC pada 2021 dan Enhance NDC pada 2022. Untuk yang terakhir, Indonesia mengerek target NDC sebesar 31,89% dan 43,2% atas bantuan internasional pada 2030.
Seiring peningkatan komitmen tersebut, Indonesia berharap dapat melunasi komitmen NZE 2060 atau lebih cepat.
Pada tataran lebih teknis, panduan berupa Kebijakan Energi Nasional alias KEN dan Rancangan Umum Energi Nasional pun disusun dan akan disesuaikan.
Berdasarkan dokumen RUU KEN terbaru, terdapat empat sektor yang menjamin tercapainya nol emisi pada 2060. Lima sektor dengan masing-masing subsektor itu mencakup sektor energi di dalamnya terdapat sub energi dan transportasi, Industrial Process and Product Use/IPPU termasuk subsektor industri, sektor pengolahan limbah dan sampah, pertanian, hingga sektor kehutanan (Forest and Other Land Use/FOLU).
PELAKSANAAN EKONOMI HIJAU
Di lain sisi, meski target besar tersebut telah dirancang, realisasi secara periodik belum menemukan titik cerah. Pasalnya, hingga kini belum terdapat acuan teknis sebagai indikator perkembangan upaya penurunan emisi karbon, menuju ekonomi hijau.
Ambil contoh terkait penetapan Batas Atas Emisi (BAE) sektoral dan penerapan tarif pajak karbon yang belum rampung. Selain sebagai kendali emisi dari lima sektoral, BAE yang merupakan ambang batas pengenaan pajak karbon juga diproyeksi sebagai perangsang bursa karbon.
Lebih jauh, tantangan makro maupun geopolitik global masih sangat mungkin mempengaruhi proses transformasi ekonomi hijau. Alasan yang sama juga melatari penundaan implementasi pajak karbon sejak 2022 lalu.
Tidak hanya itu, persoalan transformasi inipun masih rentan dengan pertimbangan risiko pertumbuhan ekonomi nasional, pembukaan lapangan kerja bersamaan dengan ancaman pengangguran.
Terlebih lagi, sejak kali pertama mengadopsi Kesepakatan Paris, Indonesia dan negara berkembang lainnya masih menagih kewajiban negara-negara maju dalam pendanaan. Sebab, ekonomi hijau sebagai konsep memiliki potensi besar mengubah berbagai lanskap ekonomi dan sosial di Indonesia. Siapkah kita?