Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia diperkirakan menghadapi risiko kenaikan suhu sebesar 3 derajat Celcius jika tidak mempersiapkan langkah strategis dan ambisius dalam menurunkan emisi gas rumah kacanya.
Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam laporan terbarunya mengenai transisi energi Indonesia mencatat bahwa realisasi janji penurunan emisi dan transisi energi Indonesia masih jauh dari ekspektasi. Hal ini setidaknya tecermin dari bauran pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang masih tinggi dan persentase bauran energi terbarukan yang di bawah target.
Manajer Riset IESR Raditya Wiranegara mengemukakan bahwa semua sektor masih bergantung secara signifikan pada bahan bakar fosil, dengan dominasi penggunaan batu bara, liquefied petroleum gas (LPG), dan bahan bakar minyak (BBM).
Di sektor ketenagalistrikan, 81 persen energinya berasal dari energi fosil pada 2023. Tidak hanya itu, PLTU di luar wilayah usaha PLN (captive) kapasitasnya berkembang menjadi 21 GW di 2023 sehingga berkontribusi naiknya emisi sebesar 27 persen di tahun yang sama.
Di sisi lain, sebanyak 87 persen rumah tangga menggunakan LPG yang disubsidi, dengan total subsidi mencapai Rp83 triliun pada kuartal IV/2024.
Sementara itu, energi terbarukan hanya memiliki kontribusi bauran energi yang sangat kecil. Misalnya, di sektor industri, energi terbarukan hanya menyumbang 6,52 persen dari total energi yang digunakan.
Baca Juga
“Pemerintah perlu progresif mengurangi bertahap subsidi bahan bakar fosil dan mengalihkan subsidinya ke sektor energi terbarukan,” kata Raditya dalam keterangan resmi, dikutip Jumat (6/12/2024).
Dia juga mengemukakan bahwa pernyataan Presiden Prabowo Subianto tentang pensiun dini PLTU batu bara pada 2040 harus segera direalisasikan, dimulai dari PLTU yang paling tidak efisien, alih-alih melengkapi PLTU dengan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS/CCUS).
“Dari analisis kami, pensiun dini PLTU Cirebon-1, misalnya, akan membutuhkan biaya pengurangan karbonnya sekitar US$31-40 per ton CO2e, lebih rendah dibandingkan CCS yang mencapai US$62-324 per ton CO2e,” katanya.
Analis Pertanian, Kehutanan, Tata Guna Lahan, dan Perubahan Iklim IESR Anindita Hapsari mengemukakan risiko pemanasan global yang dihadapi Indonesia jika tidak segera menurunkan target emisinya.
“Perlu ada strategi jangka pendek untuk menangani isu yang mendesak, dan jangka panjang untuk membangun fondasi sistem energi rendah karbon yang berkelanjutan dan selaras Persetujuan Paris,” kata Anindita.
Anindita mengemukakan strategi jangka pendek bisa mencakup elektrifikasi kendaraan darat dan implementasi perdagangan karbon. Sementara itu, strategi jangka panjang meliputi pembangunan infrastruktur energi terbarukan dan penyusunan mekanisme pasar yang mendorong efisiensi dan keberlanjutan energi terbarukan.