Bisnis.com, JAKARTA – Dana iklim multilateral Climate Investment Funds (CIF) di bawah Bank Dunia (World Bank) akan menerbitkan obligasi perdana senilai US$500 juta dari total dana iklim mencapai US$12 miliar untuk mendukung transisi energi di negara bekembang.
Dana hasil penerbitan surat utang tersebut bakal digunakan untuk membiayai investasi energi terbarukan dan teknologi di negara berkembang dalam kurun lima hingga sepuluh tahun ke depan sebagai bagian dari adaptasi perubahan iklim.
“Ini tentang menggunakan modal kami secara lebih cerdas dan menciptakan efek pengganda yang signifikan,” kata CEO CIF Tariye Gbadegesin kepada Bloomberg.
Dana iklim multilateral dirancang untuk mengumpulkan dana dari negara-negara kaya dan menyalurkannya ke negara-negara berkembang. Namun, kontribusi nasional dari negara maju masih jauh dari yang diperlukan negara berkembang untuk menghadapi perubahan iklim.
Pada penutupan KTT COP29 di Azerbaijan, negosiator dari hampir 200 negara menyepakati target pendanaan iklim tahunan baru sebesar setidaknya US$300 miliar pada 2035. Namun angka yang disepakati tersebut masih jauh dari kebutuhan negara berkembang yang mencapai US$1 triliun.
“Ini situasi yang sulit. Semua orang tahu kita harus berbuat lebih banyak, tetapi dana yang tersedia lebih sedikit. Jadi, pertanyaannya adalah bagaimana kita melakukan lebih banyak dengan lebih sedikit,” kata Gbadegesin.
Baca Juga
Adapun CIF Capital Markets Mechanism, pengakomodasi penerbitan obligasi tersebut, telah menerima peringkat Aa1 dari Moody’s. Lembaga pemeringkat tersebut mengharapkan mekanisme yang dipakai dalam penerbitan obligasi dapat mempertahankan posisi modal yang kuat dan buffer likuiditas yang tinggi sembari memperluas neraca dan akses pembiayaan pasar.
Sementara itu, Bank of America Corp. sebagai manajer utama penerbitan, menyatakan bahwa CIF menawarkan solusi bagi negara-negara untuk bertindak cepat dalam menyalurkan dana ke tujuan yang relevan dengan prioritas mereka.
Investor swasta di sisi lain telah menunjukkan minat awal terhadap obligasi ini, meskipun beberapa manajer aset dari pasar negara berkembang masih mempertanyakan kesesuaiannya dengan portofolio mereka.
CIF sebelumnya telah menerima kontribusi dari negara-negara kaya seperti Prancis, Jerman, dan Inggris untuk Clean Technology Fund senilai US$6 miliar, yang menyalurkan pinjaman berjangka hingga 40 tahun melalui enam bank multilateral. Pinjaman ini akan mendukung penerbitan obligasi baru CIF sehingga memberikan akses pendanaan untuk investasi energi bersih sebelum target iklim 2030.
"Dengan model baru ini, CIF berubah dari sekadar penampung dana donor yang terbatas menjadi lembaga keuangan yang responsif terhadap kebutuhan," kata Gbadegesin.
Selama ini, CIF mampu menggunakan modalnya untuk memobilisasi dana hingga 10 kali lipat. Namun, para investor kini menginginkan hasil yang lebih besar dari risiko yang mereka ambil, meminta CIF mencapai efek pengganda hingga 25 kali lipat.
"Investor berkata, 'jika kami mengambil lebih banyak risiko, kami ingin efek pengganda yang lebih besar, kami ingin skala yang lebih besar'," tambah Gbadegesin.
Gbadegesin juga memprediksi bahwa model inovatif ini akan diikuti oleh dana multilateral lainnya seperti Global Environment Facility dan Green Climate Fund.