Bisnis.com, JAKARTA — JP Morgan Chase & Co. tengah aktif menjajaki kesepakatan untuk mendanai pemensiunan dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
“Kami sangat berminat," ujar Managing Director Pusat Transisi Karbon JP Morgan Andre Abadie sebagaimana diwartakan Bloomberg, Selasa (26/11/2024).
Perbankan investasi asal Amerika Serikat (AS) tersebut juga sedang mengevaluasi sejumlah proyek potensial. Langkah JP Morgan juga sejalan dengan bank-bank global lain yang mulai mengubah arah terkait pembangkit listrik tenaga batu bara.
Batu bara merupakan salah satu komoditas energi dengan emisi karbon paling tinggi di dunia, tetapi ia tetap menjadi pilihan utama di kalangan negara berkembang dalam penyediaan listrik memadai di tengah pertumbuhan populasi dan ekonomi.
Menurut Badan Energi Internasional (IEA), 36% listrik di dunia dipasok dari hasil pembakaran batu bara. Jika operasional pembangkit batu bara berlanjut, target Perjanjian Paris untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5°C diperkirakan tidak tercapai.
“Tanpa mengatasi isu batu bara, kita tidak memiliki peluang untuk mencapai target iklim yang berarti," kata Fatih Birol, Direktur Eksekutif IEA, di KTT Iklim COP29 di Baku, Azerbaijan.
Baca Juga
Namun, pemensiunan dini PLTU batu bara merupakan isu yang kompleks dan membutuhkan biaya tinggi, terutama di negara berkembang. Banyak PLTU di negara-negara ini merupakan infrastruktur baru sehingga memiliki masa operasional yang masih panjang. Untuk mempersingkat masa operasi ini, pendekatan keuangan baru perlu diterapkan.
JP Morgan, bersama bank lain seperti HSBC Holdings Plc dan Standard Chartered Plc, telah menyesuaikan kebijakan iklim mereka untuk mendukung pendanaan penutupan dini pembangkit listrik bertenaga batu bara. Meski demikian, transisi ini akan meningkatkan jejak karbon yang dibiayai bank dalam jangka pendek, sehingga JPMorgan mendorong perubahan cara industri keuangan menghitung emisi yang dibiayai.
Beberapa kelompok keuangan iklim, seperti Glasgow Financial Alliance for Net Zero dan Coal Transition Commission, terus menekan pemangku kebijakan agar melonggarkan kriteria terkait batu bara untuk memungkinkan bank mendanai proyek transisi. Model keuangan campuran, yang menggabungkan langkah-langkah mitigasi risiko publik dengan investasi swasta, juga disebut sebagai pendekatan utama untuk menjaga proyek tetap terjangkau dan menarik minat investor.
Pendanaan konvensional dengan suku bunga rendah menjadi solusi yang banyak diterapkan, kata Abadie. Selain itu, StanChart mengeksplorasi penggunaan kredit karbon untuk mendukung penutupan awal pembangkit batu bara, meski pendekatan ini menghadapi kritik dari para aktivis iklim karena kecenderungan greenwashing.
“Kami membawa model keuangan baru dan cara berpikir baru ke meja diskusi,” ujar Marisa Drew, Chief Sustainability Officer StanChart, seraya menyebut bahwa pendapatan dari kredit karbon dapat membantu mengompensasi investor atas harapan keuntungan jangka panjang mereka.
Namun, para kritikus menilai konsep kredit karbon memiliki kelemahan mendasar dan rekam jejak yang buruk dalam konteks penghapusan batu bara.