Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tiga PR Prabowo untuk Suntik Mati PLTU dalam 15 Tahun

Pengamat menilai Presiden Prabowo Subianto harus bergerak cepat untuk merealisasikan target suntik mati PLTU dalam 15 tahun ke depan
PLTU Cirebon-1 dengan kapasitas 660 megawatt (MW) yang berlokasi di Jawa Barat rencananya akan dipensiunkan lebih awal melalui skema energy transition mechanism. Dok cirebonpower.co.id
PLTU Cirebon-1 dengan kapasitas 660 megawatt (MW) yang berlokasi di Jawa Barat rencananya akan dipensiunkan lebih awal melalui skema energy transition mechanism. Dok cirebonpower.co.id

Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat menilai Presiden Prabowo Subianto harus bergerak cepat untuk merealisasikan target suntik mati pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dalam 15 tahun ke depan.

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Brasil, Prabowo optimis Indonesia akan mencapai target emisi nol atau net zero emission sebelum 2050. Janji tersebut lebih cepat 10 tahun dari target pemerintahan sebelumnya, yaitu emisi nol pada 2060.

Menurutnya, pensiun dini PLTU tenaga batu bara bisa terealisasi dalam 15 tahun ke depan lantaran RI memiliki cadangan geothermal atau panas bumi yang melimpah.

"Kami berencana untuk memensiunkan pembangkit tenaga listrik dan energi fosil kami dalam 15 tahun ke depan. Kami berencana untuk membangun 75 gigawatt pembangkit listrik energi terbarukan dalam 15 tahun ke depan," ujarnya pada Sesi Ketiga Pertemuan Pemimpin Negara G20 di Museu de Arte Moderna, Rio de Janeiro, Brasil, Selasa (19/11/2024).

Merespons hal tersebut, Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menilai pernyataan Prabowo sangat ambisius. Menurutnya, ini adalah pernyataan yang paling progresif dari presiden RI.

"Saya menilai ini adalah kelanjutan komitmen Indonesia untuk transisi energi, yang menargetkan net zero di 2060 atau lebih awal. Perpres 112/2022 mengindikasikan pengakhiran operasi PLTU di 2050. Jadi yang disampaikan Presiden, berarti 10 tahun lebih awal dari rencana tersebut," kata Fabby kepada Bisnis dikutip Jumat (22/11/2024).

Berdasarkan kajian yang dilakukan IESR, kata Fabby, pensiun dini PLTU sejatinya layak secara teknis dan finansial. Namun, ada beberapa catatan yang harus diperhatikan Prabowo.

Pertama, target Prabowo untuk menyuntik mati PLTU pada 2040 harus diselesaikan terlebih dahulu dengan draft Kebijakan Energi Nasional (KEN) terbaru. Kedua, target baru itu juga harus diselaraskan dengan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).

Ketiga, kejar pembangunan energi terbarukan besar-besaran dalam 15 tahun mendatang. 

"Diperkirakan kalau seluruh PLTU di sistem PLN diakhiri operasinya maka perlu dibangun 300-350 GW kapasitas pembangkit energi terbarukan atau 15-20 GW per tahun sampai dengan 2040, mayoritas dari VRE [variable renewable energy] seperti surya dan angin," jelas Fabby.

Menurutnya, hal Ini membutuhkan reformasi regulasi dan transformasi industri kelistrikan, serta dukungan instrumen pendanaan dari pemerintah dan bantuan luar negeri.

Selain itu, Fabby juga menyarankan Prabowo membentuk task force atau gugus tugas dekarbonisasi kelistrikan.  

"Yang berisi wakil dari kementerian lintas sektor dan dipimpin orang yang paham isu ini dan melapor ke presiden," kata Fabby.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai target Prabowo itu hanya sekadar gimmick, jika  belum ada shortlist PLTU yang ingin dipensiunkan.

Selain itu, Bhima menilai PLN masih menjaga umur PLTU lebih panjang dengan melakukan co firing biomassa. 

"Kementerian teknis seperti Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM bahkan menghindari pemensiunan PLTU batu bara dengan alasan memicu kerugian negara," imbuh Bhima.

Tak hanya itu, Bhima menyebut beberapa PLTU bahkan baru saja dibangun dan beroperasi. Misalnya, PLTU Cirebon 2. Berkaca dari hal ini, Dia menilai belum ada aksi nyata dari pemerintah dan PLN.

Memang, pemerintah telah berencana untuk mempensiunkan dini PLTU Cirebon 1 dan Pelabuhan Ratu. Suntik mati PLTU itu direncanakan akan menggunakan pendanaan dari Just Energy Transition Partnership (JETP). Namun, upaya ini masih jalan di tempat.

"Ada PLTU Cirebon 1 dan Pelabuhan Ratu yang masuk shortlist JETP saja kan macet progresnya. Pemerintah mungkin sedang menaikkan reputasi saja di forum internasional," tutup Bhima.

Indonesia masih banyak bergantung terhadap PLTU, khususnya yang berbasis batu bara dalam memenuhi kebutuhan energi. Hal itu mengingat batu bara masih menjadi sumber energi yang paling murah.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, Indonesia memiliki 253 PLTU hingga 20 April 2022. PLTU itu tersebar di berbagai provinsi.

Dari jumlah tersebut, PLTU terbanyak berada di Kalimantan Timur, yaitu 26 unit. PLTU juga banyak tersebar Banten dan Jawa Timur yang masing-masing sebanyak 22 unit.

Kemudian, ada 16 PLTU yang berada di Bangka Belitung. Ada pula 13 PLTU yang beroperasi di Kalimantan Barat.

Sementara, Papua Barat hanya memiliki satu PLTU di wilayahnya. Posisinya diikuti oleh enam provinsi yang sama-sama memiliki enam PLTU, yaitu Aceh, Bengkulu, Jakarta, Jambi, Maluku Utara, dan Sulawesi Barat.

Adapun, terdapat dua provinsi yang tidak memiliki PLTU sama sekali. Kedua provinsi tersebut adalah Yogyakarta dan Maluku.

Lebih lanjut, PLTU yang memiliki kapasitas terbesar di Indonesia adalah PLTU Jawa 7. PLTU yang terletak di Kabupaten Serang, Banten tersebut berkapasitas 2 x 1.000 megawatt dari dua unit.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper