Bisnis.com, JAKARTA — Permasalahan polusi udara yang dihadapi Indonesia berisiko menghambat target pertumbuhan ekonomi 8% yang dibidik oleh Presiden Prabowo Subianto.
Hal ini dikemukakan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa dalam peluncuran kajian “Analisis Dampak Kebijakan Pengetatan Standar Kualitas BBM pada Aspek Lingkungan, Kesehatan, dan Ekonomi.” Dia mengatakan kualitas udara sangat berpengaruh terhadap ekonomi dan kualitas hidup masyarakat.
Berdasarkan laporan Bank Dunia, polusi udara di Indonesia bisa mengurangi produk domestik bruto (PDB) sekitar US$220 miliar atau sekitar 6,6 persen per tahun.
“Jika ingin mencapai pertumbuhan ekonomi delapan persen, seperti yang dicita-citakan Presiden Prabowo, maka pemerintah perlu sungguh-sungguh mengatasi masalah polusi udara ini,” kata Fabby dikutip dari siaran pers.
Polusi udara di Jakarta sendiri 45% berasal dari sektor transportasi. Selain itu, mayoritas BBM di pasar Indonesia, seperti Pertalite dan Pertamax, memiliki kualitas rendah yang diindikasikan dari kandungan sulfur mencapai 150–400 ppm, jauh di atas standar Euro IV. Sulfur merupakan komponen alami minyak mentah yang terdapat pada bensin dan diesel. Saat dibakar, sulfur menghasilkan emisi berupa sulfur dioksida (SO2).
Oleh karena itu, ia mendorong penurunan kandungan sulfur dengan memperketat standar kualitas BBM, seperti menerapkan Euro IV yang membatasi sulfur maksimal 50 ppm.
Baca Juga
Namun, penerapan standar Euro IV atau yang lebih tinggi memerlukan investasi yang relatif besar, terutama untuk teknologi pengolahan bahan bakar, serta pembaruan infrastruktur kilang minyak.
“Meskipun demikian, biaya ini akan terbayar dari perbaikan kualitas udara yang berdampak pada penurunan biaya kesehatan dan pertumbuhan ekonomi yang jauh signifikan dibandingkan investasi yang dikeluarkan,” katanya.
Ketua Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC UI) Budi Haryanto menuturkan bahwa total kasus penyakit akibat polusi udara di Jakarta, seperti ISPA, asma, radang dan infeksi paru-paru, mencapai 175.000 hingga 599.000 kasus pada periode 2016-2021. Total biaya pengobatan yang diklaim melalui BPJS pada periode yang sama mencapai Rp191 juta hingga Rp1,8 milar.
“Kualitas udara yang lebih bersih akan mengurangi risiko rawat inap dan biaya pengobatan terkait penyakit akibat polusi. Dengan mempromosikan kualitas BBM yang lebih tinggi, maka dapat melindungi kesehatan masyarakat sekaligus mengurangi beban ekonomi yang disebabkan oleh biaya pengobatan jangka panjang,” kata Budi.