Bisnis.com, JAKARTA – Arah investasi berbasis environment, sustainability and governance atau ESG berada di persimpangan seiring dengan kembalinya Donald Trump ke tampuk kepemimpinan.
Saat terpilih untuk pertama kalinya pada 2016, pasar merespons kemenangan Trump dengan aliran dana ke investasi ESG yang lebih deras. Tren tersebut berangkat dari satu kesepakatan: jika rezim baru tidak bisa mendukung transisi energi, maka pasar modal yang turun tangan. Walhasil, masa periode pertama Trump dibarengi dengan meningkatnya pamor investasi ESG.
Euforia tersebut tampaknya meredup kali ini. Serangan dari kelompok Republik yang berlangsung bertahun-tahun dan performa investasi di atas kertas menjadi kerikil besar bagi jalan ESG ke depan.
Trump sendiri jarang menyinggung soal ESG secara gamblang dalam kampanye maupun kicauannya di Twitter/X. Namun dukungan penuhnya terhadap bahan bakar fosil hampir pasti mengubah arah prospek investasi miliaran dolar yang telah disuntikkan ke proyek-proyek energi bersih.
“Dengan kembalinya Trump, serangan kelompok konservatif terhadap kelompok finansial iklim akan makin kencang. ESG kini seperti mayat berjalan,” kata Will Hild seperti diwartakan Bloomberg. Hild adalah periset konsumen dari lembaga nonprofit yang disponsori Leonard Leo, salah satu ahli hukum konservatif andalan Trump.
Ingatan penarikan diri Amerika Serikat dari Kesepakatan Paris saat Trump resmi menjabat pada 2017 tentu masih segar dalam ingatan. Gestur serupa berpotensi terulang saat ia resmi menjabat sebagai presiden ke-47 AS pada Januari 2025.
Baca Juga
Saat itu, para manajer investasi memasang alarm waspada. Pendekatan Trump dianggap sebagai ancaman yang direspons dengan kemunculan aliansi iklim di kalangan pelaku pasar modal. Argumen yang menjadi pondasi kala itu jelas: adopsi ESG berdampak lebih positif pada bisnis. Sebaliknya, pemakaian energi kotor berisiko menambah tekanan hukum dan kepatuhan seiring dengan meluasnya transisi energi.
Kala itu, CEO BlackRock Inc. Larry Fink bahkan ikut turun gunung. Dia menghabiskan sebagian besar waktu bersuratnya untuk berkorespondensi dengan para bos-bos korporasi supaya menaruh perhatian besar pada aspek ESG seperti dampak lingkungan dan sistem pengupahan adil.
Buntut dari adopsi investasi berbasis ESG ini lantas membuahkan hasil. Tecermin dari laporan US SIF Foundation yang menyebutkan bahwa produk investasi berbasis ESG telah tumbuh menjadi sekitar US$17 triliun pada 2020.
Namun, krisis energi, inflasi dan suku bunga tinggi yang memuncak pada akhir pandemi Covid-19 menjadi titik balik investasi ESG. Kondisi itu makin diperparah dengan konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina. Imbasnya, harga saham perusahaan-perusahaan yang telah mencurahkan modal besar ke bisnis energi bersih anjlok.
Momen tersebut menjadi kesempatan bagi kelompok Republik untuk mempertanyakan investasi ESG. Mereka menuding ESG hanya sebatas topeng yang dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan liberal. Buntut lainnya adalah aksi ketua Komite Kehakiman DPR dari Partai Republik Jim Jordan yang mempertanyakan aliansi korporasi bernama Climate Action 100+. Tercatat lebih dari 130 firma terlibat dalam aliansi tersebut. Saat penyelidikan berlangsung, sejumlah perusahaan investasi kakap seperti Pacific Investment Management Co., Goldman Sachs Group Inc. dan JPMorgan Chase & Co. memutuskan hengkang dari aliansi. Sementara itu, CEO BlackRock Larry Fink berhenti menyebut ESG dalam surat-suratnya.
Miliaran dolar tercatat telah keluar dari investasi-investasi berbasis ESG di Amerika Serikat dalam delapan kuartal terakhir. Nilai aliran keluar mencapai US$26 miliar sejak akhir 2022 menurut riset dari Morningstar Inc. Pada periode yang sama, label ESG telah dihapus dari lebih dari 80 dana kelolaan dan pertumbuhan produk berbasis ESG juga turun secara drastis.
Tren perlambatan juga terlihat dari pasar Eropa, seiring dengan regulasi yang makin kompleks. Manajer investasi di kawasan ini berkontribusi sekitar 80% terhadap total aset ESG global, tetapi aksi merger dan likuidasi lebih dari 350 dana kelolaan ESG telah berlangsung dalam periode sembilan bulan 2024. Sementara itu di kawasan Asia, pertumbuhan tetap tinggi meskipun kontribusi terhadap pasar global masih minim.
Menggeser ESG dari Hanya Sekadar Label
“Intensitas serangan terhadap investasi berbasis ESG akan makin tinggi di periode kedua Trump,” tulis analis Jefferies Financial Group Inc. Mereka menyarankan manajer investasi untuk mempersiapkan tim hukum yang siaga menhadapi berbagai tudingan, mulai dari pelanggaran antimonopoli hingga pengabaian tugas keuangan mereka.
ESG dicetuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dua dekade lalu sebagai cara untuk menganalisis risiko dan peluang nonfinansial. Namun, konsep ini cenderung membingungkan dan bisa dimaknai berbeda. Pemakaian istilah ESG juga bercampur, ia dipakai untuk menjelaskan adopsi nilai-nilai perlindungan lingkungan dalam bisnis. Namun ia dipakai pula untuk mendeskripsikan tata kelola perusahaan. Label ESG bahkan disematkan pada pengelolaan dana investasi di perusahaan-perusahaan sektor teknologi dan keuangan.
Perdebatan paling anyar barangkali terlihat pada investor-investor di Nvidia Corp. Bloomberg melaporkan jumlah manajer investasi berlabel ESG yang memasukkan saham Nvidia dalam portofolionya 70% lebih banyak daripada perusahaan pembuat turbin Vestas Wind Systems A/S. Faktanya, saham perusahaan yang getol mengembangkan kecerdasan buatan ini beredar di 3.600 dana ESG. Padahal, bisnis pengembangan artificial intelligence (AI) memiliki kebutuhan energi dan emisi yang justru mempercepat pemanasan global.
Aktivis keberlanjutan juga mengkritis label ESG yang disematkan untuk dana kelolaan di saham-saham bisnis yang ‘kotor’ seperti pusat data, Bitcoin hingga perusahaan minyak dan gas ExxonMobil. Data Bloomberg mengungkap terdapat lebih dari 1.000 dana ESG yang menempatkan saham Exxon dalam portofolionya.
“Saya pikir demi kemudahan pemasaran, istilah tersebut telah digunakan secara berlebihan,” kata Rob Du Boff, analis senior di Bloomberg Intelligence.
Deregulasi adalah salah satu cara yang dapat digunakan Partai Republik untuk membunuh ESG, menurut Du Boff. Pemerintahan Trump diperkirakan akan mencoba memblokir aturan Komisi Sekuritas dan Bursa untuk perusahaan yang mengungkapkan emisi mereka.
Dalam kasus lain, aturan baru dapat menciptakan hambatan bagi ESG. Misalnya, pimpinan SEC yang ditunjuk Trump mungkin akan mengekang resolusi pemegang saham yang berfokus pada perubahan iklim dan keragaman tenaga kerja. Presiden terpilih mungkin juga akan membatalkan aturan Departemen Tenaga Kerja yang mengizinkan dana pensiun untuk mempertimbangkan faktor ESG saat berinvestasi, seperti yang ia lakukan pada masa jabatan pertamanya, kata Du Boff.
Du Boff menilai koreksi terhadap pendekatan ESG tak sepenuhnya buruk jika ia mengarah pada definisi dan praktik investasi berkelanjutan yang konkret, alih-alih hanya sebagai label.
Sementara itu, pendiri Reynders, McVeigh Capital Management yang memiliki dana kelolaan sebesar US$4 miliar, Chat Reynders menilai transisi ke ekonomi rendah karbon bisa berdampak positif bagi banyak perusahaan dan tren peralihan ke energi bersih bahkan menyentuh rekor pada 2023.
“Kebutuhan elektrifikasi masih berlanjut. Begitu pula dengan permintaan infrastruktur air, dan teknologi jaringan yang telah berkembang pesat,” katanya.
Dari aspek geopolitik, China berpotensi hadir sebagai pusat investasi hijau dan pemimpin transisi energi jika Amerika Serikat memutuskan untuk menarik diri dari perlombaan untuk mengadopsi teknologi rendah karbin.
“China mungkin akan berusaha memainkan peran kepemimpinan yang lebih besar,” kata pengacara di Sidley Austin, Nicolas Lockhart.
Leslie Samuelrich, presiden Green Century Capital Management, yang mengelola sekitar $1,3 miliar dana keberlanjutan, berencana untuk menjangkau investor yang khawatir tentang masa jabatan kedua Trump. “Kami mencoba mengingatkan orang-orang bahwa mereka dapat membuat perbedaan melalui investasi mereka,” katanya.