Bisnis.com, Jakarta – Pemerintah perlu menyiapkan strategi dan perencanaan menghadapi proyek ambisius Asean Power Grid (APG) yang bertujuan mengintegrasikan jaringan listrik di seluruh Asia Tenggara.
Indonesia memiliki peran sentral dan potensi besar untuk menjadi pemain utama dalam proyek ini, khususnya untuk pengembangan energi terbarukan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menyoroti bahwa inisiatif APG sebenarnya sudah digaungkan sejak 15 hingga 20 tahun lalu. Namun, tujuan awalnya adalah untuk memenuhi kebutuhan listrik di kawasan.
"Sekarang, relevansinya lebih kepada bagaimana interkoneksi bisa menyalurkan listrik dari energi baru terbarukan (EBT)," kata Fabby dihubungi Bisnis, Senin (18/8/2025).
Menurutnya, Indonesia memiliki keunggulan kompetitif, terutama dalam hal potensi ekspor. Fabby menjelaskan, jika keandalan jaringan di Kalimantan sudah baik, maka potensi tersebut bisa dimanfaatkan secara optimal.
Selain itu, interkoneksi di wilayah perbatasan juga memungkinkan Indonesia untuk mengimpor listrik EBT, sebuah langkah strategis yang mendukung transisi energi.
Baca Juga
Sayangnya, hingga saat ini, pemerintah belum memberikan pernyataan yang jelas mengenai arah dan peran Indonesia dalam proyek APG. “Pemerintah belum memberikan statement yang jelas soal APG. Mau dibawa ke mana, atau sebenarnya Indonesia mau apa,” kata Fabby.
Padahal, menurut Fabby, Indonesia memiliki peran sentral di Asean. Kejelasan mengenai wacana APG ini sangat diperlukan untuk menentukan langkah strategis ke depan. Proyek APG ini, lanjutnya, kuncinya adalah kolektivitas.
"Kita lihat bagaimana kawasan ini benar-benar kompak," ujarnya.
Lebih lanjut, Fabby menambahkan bahwa praktik impor dan ekspor listrik bukanlah sesuatu yang anti terhadap pengembangan kawasan, melainkan justru menjadi bagian dari upaya kolektif untuk membangun ketahanan energi regional.
Sebenarnya, merujuk Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025 - 2034, dijelaskan bahwa PLN juga menyiapkan dan mendukung pengembangan infrastruktur untuk ekspor listrik lintas negara.
RUPTL PLN 2025 - 2034 menjabarkan rencana interkoneksi antara Sistem Sumatera dan Peninsular (Malaysia) yang menjadi potensi proyek strategis. Proyek ini dapat meningkatkan keandalan pasokan serta meningkatkan utilitas pembangkit, mengingat terdapat perbedaan waktu beban puncak pada kedua sistem.
Adapun interkoneksi ini dihubungkan langsung dengan jalur backbone 500 kV Sumatera yang terdekat dengan Malaysia, yaitu SUTET 500 kV Perawang – Rantau Prapat atau GITET 500 kV Perawang. Rencananya proyek ini dilaksanakan pada 2034.
Sementara itu, Thang Do, Peneliti di Program Zero-Carbon Energy for Asia-Pacific, Australian National University (ANU), mengatakan integrasi jaringan listrik dapat mengurangi kebutuhan penyimpanan energi dan pembangkit baru, karena energi terbarukan bisa disalurkan secara efisien melalui sistem Super Grid.
Ia menjelaskan bahwa biaya rata-rata pembangkitan energi (Levelized Cost of Electricity, LCOE) juga menurun dalam jangka panjang.
Asean, menurutnya, memiliki kapasitas untuk menjadi kawasan dengan 100% energi terbarukan, melalui pembangunan PLTS sebesar 6.606 GW (3% lahan), PLTB 420 GW, dan penyimpanan hidro terpompa (pumped hydro storage) hingga 44.707 GWh.
Namun, Thang menyoroti bahwa pengembangan APG masih dihadapkan pada hambatan politik dan sosial, termasuk keinginan negara-negara untuk swasembada energi sebagai bentuk kedaulatan nasional.
“Contohnya, regulasi Indonesia memang membuka peluang impor listrik, namun tetap memprioritaskan pembangkitan dalam negeri. Padahal, perdagangan listrik berbasis energi surya dan angin justru dapat memperkuat ketahanan energi yang terjangkau dan berkelanjutan,” jelasnya dalam keterangan tertulis, dikutip dari laman IESR.