Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perang Dagang AS dengan China Ancam Pengembangan Teknologi Energi Hijau

Perang dagang AS-China mengancam teknologi energi hijau, terutama baterai, karena tarif impor dan kendali China atas mineral tanah jarang. Hal ini memperlambat transisi energi AS.
Panel surya di sebuah pembangkit listrik tenaga fotovoltaik di Taman Industri Fotovoltaik Dunhuang, Dunhuang, Provinsi Gansu, China, pada Rabu, 16 Oktober 2024./Bloomberg-Qilai Shen
Panel surya di sebuah pembangkit listrik tenaga fotovoltaik di Taman Industri Fotovoltaik Dunhuang, Dunhuang, Provinsi Gansu, China, pada Rabu, 16 Oktober 2024./Bloomberg-Qilai Shen

Bisnis.com, JAKARTA — Baterai dan produk yang bergantung pada mineral tanah jarang termasuk yang paling berisiko jika perang dagang meningkat.

Gencatan senjata tarif Amerika Serikat dengan China semakin dekat dengan batas waktunya pada hari ini 12 Agustus. Hal ini membuat para pelaku bisnis di kedua sisi Samudra Pasifik menahan napas. Jika diberlakukan tarif timbal balik Presiden AS Donald Trump, maka akan merugikan eksportir China. Tarif ini juga akan memberikan pukulan baru bagi industri teknologi iklim AS yang sudah bermasalah. 

Profesor Kebijakan, Ekonomi, dan Teknologi Iklim Universitas Columbia Tom Moerenhout menuturkan perang dagang akan berdampak pada pasar penyimpanan baterai di AS. Hal ini karena penerapan baterai memainkan peran penting dalam membantu memperlancar sifat energi terbarukan yang intermiten. 

"Ini pasti akan memperlambat transisi energi," ujarnya dilansir Bloomberg, Selasa (12/8/2025). 

Kepala Perdagangan dan Rantai Pasokan BloombergNEF Antoine Vagneur Jones mengatakan para pemasang dan pengembang baterai AS berpotensi paling dirugikan. China mendominasi ekspor baterai litium-ion dan material baterai ke AS dan rantai pasokan tidak dapat diubah dengan cepat untuk mengubahnya.

Adapun tarif akan memengaruhi baterai dan teknologi bersih lainnya dimana untuk setiap lima baterai litium-ion yang diimpor AS selama 5 bulan pertama tahun ini, tiga di antaranya berasal dari China. Bahkan, porsi tersebut lebih tinggi untuk baterai litium besi fosfat yang banyak digunakan oleh utilitas.

Tarif untuk baterai skala utilitas buatan China sudah mencapai hampir 41%. Negara-negara seperti Korea Selatan dapat menawarkan alternatif tetapi baterai yang dibuat di sana lebih mahal daripada baterai buatan China. Trump juga telah mengenakan pungutan sebesar 15% untuk impor dari Korea Selatan yang selanjutnya akan menaikkan harga bagi calon importir.

Meskipun AS telah mulai mengembangkan rantai pasokan baterai domestiknya, namun pembangunannya akan membutuhkan waktu. Produsen baterai yang beroperasi di AS juga akan terdampak oleh perang dagang Trump yang dapat melemahkan kemampuan mereka untuk meningkatkan produksi.

"Perusahaan seperti LG Energy Solution dan Fluence Energy telah berinvestasi besar dalam memperluas kapasitas produksi mereka, tetapi baterai buatan Amerika bergantung pada komponen impor, termasuk katoda dan anoda baterai, yang banyak di antaranya secara tradisional bersumber dari China," katanya. 

China juga memiliki cengkeraman kuat pada bagian lain dari rantai pasok teknologi bersih AS seperti tanah jarang. Negara Asia ini menambang lebih banyak mineral tanah jarang daripada negara lain dan mengendalikan sekitar 90% kapasitas penyulingan global.

Meskipun pemerintahan Trump sebagian besar telah membebaskan impor tanah jarang dari tarif, namun Beijing memberlakukan kontrol ekspor pada awal April terhadap beberapa material strategis dan produk terkait sebagai bagian dari pembalasan terhadap tarif timbal balik Trump.

Spesialis Rantai Pasok Institute for Energy Economics and Financial Analysis Grant Hauber menilai gangguan rantai pasokan tersebut telah menghancurkan berbagai industri di AS.

Produsen mobil Ford, misalnya, terpaksa menutup sementara salah satu pabriknya pada bulan Mei karena kesulitan mendapatkan magnet tanah jarang, yang menggerakkan berbagai hal, mulai dari jok hingga sistem audio dan wiper kaca depan. Baru pada 11 Juni, ketika kedua negara menyepakati kerangka kerja perdagangan baru, China melanjutkan ekspor tanah jarang secara berkala ke perusahaan-perusahaan AS.

"Belum jelas apakah pembatasan ekspor akan kembali diberlakukan jika negosiasi perdagangan gagal. Tanah jarang merupakan alat tawar-menawar antara China dan Amerika Serikat. Karena keputusan kebijakan sangat tidak menentu, Anda tidak dapat mengesampingkan apa pun," ucapnya. 

Banyak produsen teknologi iklim AS akan terpukul jika Beijing kembali menjadikan tanah jarang sebagai senjata. Magnet neodymium, salah satu komponen yang termasuk dalam daftar pembatasan ekspor China sangat penting untuk motor kendaraan listrik. Material ini juga umum digunakan dalam turbin angin.

Hal ini terjadi di tengah keputusan Trump untuk menghentikan dukungan pemerintah terhadap berbagai teknologi pengurangan emisi, dengan fokus khusus pada kendaraan listrik dan ladang angin. Industri energi terbarukan terkejut dengan betapa luasnya serangan tersebut dan hal itu tercermin dalam meningkatnya jumlah pembatalan proyek.

Pada paruh pertama tahun 2025, perusahaan-perusahaan membatalkan, menutup, atau mengurangi skala proyek ramah lingkungan di AS senilai lebih dari US$22 miliar. Hal itu terjadi sebelum Trump menandatangani undang-undang perpajakan yang menghapus insentif teknologi bersih dan putaran tarif terbaru mulai berlaku.

Para negosiator Amerika dan China menyelesaikan putaran ketiga perundingan perdagangan tingkat tinggi mereka akhir bulan lalu di Stockholm, tanpa mencapai kesepakatan apa pun. Hal ini menimbulkan keraguan apakah dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini akan mampu mencapai kesepakatan. 

Pada pekan lalu, Trump menyatakan kedua negara kemungkinan akan sepakat untuk memperpanjang gencatan tarif mereka. Namun, para ahli khawatir negosiasi perdagangan yang berkepanjangan dapat menghambat kemajuan teknologi iklim AS.

"Aturan emas dalam bisnis adalah stabilitas. Ketika menggabungkan volatilitas ini dan perubahan keputusan serta arahan, kebanyakan orang hanya berkata saya akan menunggu," tuturnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yanita Petriella
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro