Bisnis.com, JAKARTA — Inggris (United Kingdom/UK) berhasil mengamankan investasi senilai US$10 miliar atau sekitar Rp163,35 triliun (kurs Rp16.335 per dolar AS) dari perusahaan asal Jepang Sumitomo Corp untuk pengembangan infrastruktur energi bersih. Investasi ini akan mencakup pembangunan proyek pembangkit tenaga angin lepas pantai (wind offshore) dan hidrogen selama 10 tahun.
Kesepakatan investasi ini diumumkan oleh menteri investasi Inggris Poppy Gustafsson dalam kunjungan resmi ke Jepang. Dia mengemukakan bahwa Jepang adalah mitra perdagangan penting bagi Inggris.
Gustafsson menyatakan bahwa Sumitomo secara historis merupakan investor besar dalam proyek energi di Inggris. Kesepakatan baru ini dipercaya akan meningkatkan ambisi di sektor infrastruktur seperti jaringan listrik dan ladang angin.
“Setiap pembangunan infrastruktur pada akhirnya menghadapi kendala rantai pasok, dan mereka telah menjadi mitra nyata dalam mengatasi hambatan tersebut,” ujarnya kepada Reuters dalam wawancara menjelang lawatan, dikutip Kamis (10/7/2025).
“Ini adalah contoh nyata bagaimana modal tersebut digunakan secara langsung untuk membangun infrastruktur dan mendukung proyek-proyek riil,” tambahnya.
Pemerintahan Partai Buruh Inggris telah memprioritaskan dukungan sektor swasta dalam agenda investasi energi, seiring upaya Perdana Menteri Keir Starmer untuk menavigasi transisi menuju nol emisi bersih sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi Inggris yang stagnan.
Baca Juga
Namun, langkah ini dihadapkan pada tantangan global, termasuk pengumuman tarif baru oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Inggris telah mencapai kesepakatan untuk menghapus sebagian tarif tersebut, sementara Jepang masih menghadapi beban tarif baru.
Gustafsson menekankan bahwa kondisi perdagangan internasional kini menjadi faktor utama dalam pengambilan keputusan investasi.
“Nilai suatu negara dalam perdagangan dan investasi kini menjadi pertimbangan utama, dan penting bagi negara-negara untuk menjaga komitmen tersebut,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa ia melihat peran Inggris sebagai “pusat penghubung” dalam situasi global yang makin terfragmentasi.