Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Musim Kemarau 2025 Mundur dan Lebih Pendek, Berikut Penjelasan BMKG

BMKG melaporkan bahwa sebagian besar wilayah zona musim Indonesia belum memasuki musim kemarau dan mengalami curah hujan tinggi
Petani memanen padi di lahan persawahan di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Senin (2/6/2025). BMKG menyebutkan curah hujan tinggi membawa berkah untuk pertanian padi./Bisnis-Abdurachman
Petani memanen padi di lahan persawahan di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Senin (2/6/2025). BMKG menyebutkan curah hujan tinggi membawa berkah untuk pertanian padi./Bisnis-Abdurachman

Bisnis.com, JAKARTA — Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan musim kemarau tahun ini mundur dan bakal lebih pendek dibandingkan dengan durasi normal, seiring dengan curah hujan tinggi yang dialami sejumlah wilayah di Indonesia.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan bahwa kemunduran awal musim kemarau tahun ini terutama disebabkan oleh kondisi curah hujan yang lebih tinggi dari biasanya (Atas Normal) selama April–Mei 2025. Padahal periode ini merupakan masa peralihan dari musim hujan ke musim kemarau.

Pemantauan BMKG juga memperlihatkan bahwa baru baru sekitar 19% zona musim di Indonesia yang telah memasuki musim kemarau hingga awal Juni 2025. Hal ini menjadi indikasi bahwa sebagian besar wilayah di Indonesia masih berada dalam kategori musim hujan, meskipun kalender klimatologis menunjukkan bahwa kemarau seharusnya telah dimulai di banyak daerah pada periode ini.

Dwikorita mengatakan kondisi ini telah diprediksi oleh BMKG melalui prakiraan iklim bulanan yang dirilis pada Maret 2025. Dalam prediksi tersebut, BMKG mengantisipasi adanya peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia bagian selatan, seperti Sumatra bagian selatan, Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Peningkatan curah hujan ini menyebabkan wilayah-wilayah tersebut belum dapat bertransisi sepenuhnya ke musim kemarau sebagaimana biasanya.

“Prediksi musim dan bulanan yang kami rilis sejak Maret lalu menunjukkan adanya anomali curah hujan yang di atas normal di wilayah-wilayah tersebut, dan ini menjadi dasar utama dalam memprediksi mundurnya musim kemarau tahun ini,” kata Dwikorita dalam siaran pers, dikutip Senin (23/6/2025).

Analisis BMKG terhadap data curah hujan di seluruh Indonesia pada Dasarian I (sepuluh hari pertama) Juni 2025 memperlihatkan bahwa sifat hujan di berbagai wilayah mulai menunjukkan tanda-tanda pergeseran menuju kondisi kemarau.

Sebanyak 72% wilayah berada dalam kategori Normal, 23% dalam kategori Bawah Normal atau lebih kering dari biasanya, dan hanya sekitar 5% wilayah yang masih mengalami curah hujan Atas Normal.

Hal ini menunjukkan bahwa tren pengurangan curah hujan mulai dirasakan di sebagian besar wilayah Indonesia, meskipun secara spasial belum merata. Dwikorita menjelaskan bahwa wilayah Sumatra dan Kalimantan justru telah mengalami beberapa dasarian berturut-turut dengan curah hujan yang lebih rendah dari normal.

“Ini indikasi awal musim kemarau lebih cepat terlihat di wilayah tersebut dibanding wilayah selatan Indonesia,” tambah Dwikorita.

Curah Hujan Tinggi di Indonesia Selatan

Meski beberapa wilayah memperlihatkan kemarau yang lebih cepat, BMKG mencatat bahwa beberapa wilayah di Indonesia bagian selatan mengalami kondisi curah hujan Atas Normal atau lebih basah. Wilayah-wilayah ini mencakup Sumatra Selatan, Jawa, Bali, NTB, NTT, sebagian kecil Kalimantan, sebagian wilayah Sulawesi, dan Papua bagian selatan. Pola ini menunjukkan bahwa transisi musim kemarau tidak berlangsung seragam di seluruh Indonesia.

Berdasarkan prediksi cuaca bulanan terbaru, BMKG memperkirakan bahwa kondisi curah hujan dengan kategori Atas Normal masih akan berlanjut di sebagian wilayah hingga Oktober 2025.

Oleh karena itu, BMKG menekankan kembali bahwa musim kemarau 2025 cenderung memiliki durasi yang lebih pendek dibandingkan dengan kondisi normalnya, dengan sifat hujan di atas normal.

Dwikorita menyampaikan kondisi curah hujan yang tetap tinggi selama periode kemarau membawa konsekuensi yang harus dipahami dan disikapi secara tepat. Keberadaan hujan selama musim kemarau di satu sisi dapat menjadi berkah bagi para petani padi, karena pasokan air irigasi relatif tetap tersedia.

Namun di sisi lain, peningkatan curah hujan di musim kemarau juga menimbulkan risiko bagi pertanian hortikultura yang umumnya lebih sensitif terhadap kondisi kelembaban tinggi. Tanaman hortikultura seperti cabai, bawang, dan tomat sangat rentan terhadap serangan hama dan penyakit akibat kelembaban berlebih.

“Kami mendorong petani hortikultura untuk mengantisipasi kondisi ini dengan menyiapkan sistem drainase yang baik dan perlindungan tanaman yang memadai,” ujar Dwikorita.

Selain itu, Dwikorita juga menegaskan pentingnya kesiapsiagaan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah dan masyarakat, untuk merespons dinamika iklim yang makin tidak menentu.

“Kita tidak bisa lagi berpaku pada pola iklim lama. Perubahan iklim global menyebabkan anomali-anomali yang harus kita waspadai dan adaptasi harus dilakukan secara cepat dan tepat,” ujarnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper