Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menakar Besarnya Kerugian Ekonomi dan Lingkungan dari Karhutla

Indonesia menghadapi kerugian triliunan rupiah akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang berulang setiap tahun
Foto udara kebakaran hutan dan lahan di Desa Gambut Jaya, Muaro Jambi, Jambi, Senin (21/7/2025). Kebakaran yang terjadi sejak Minggu (20/7/2025) pagi di lahan gambut yang berjarak dua kilometer dari permukiman tersebut telah menghanguskan sekitar 70 hektare lahan. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/YU
Foto udara kebakaran hutan dan lahan di Desa Gambut Jaya, Muaro Jambi, Jambi, Senin (21/7/2025). Kebakaran yang terjadi sejak Minggu (20/7/2025) pagi di lahan gambut yang berjarak dua kilometer dari permukiman tersebut telah menghanguskan sekitar 70 hektare lahan. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/YU
Ringkasan Berita
  • Indonesia menghadapi kerugian ekonomi dan lingkungan yang signifikan akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang berulang setiap tahun, dengan estimasi kerugian mencapai triliunan rupiah.
  • Karhutla terutama disebabkan oleh pembakaran lahan secara sengaja, dengan Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, dan Riau sebagai wilayah terdampak terluas pada 2025.
  • Pemerintah menuntut pertanggungjawaban dari perusahaan pemegang konsesi atas kerugian lingkungan, dengan ancaman sanksi pidana jika karhutla kembali terjadi di area mereka.

* Ringkasan ini dibantu dengan menggunakan AI

Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia berisiko menanggung kerugian bernilai triliunan rupiah akibat bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang berulang terjadi setiap tahunnya. Namun, hingga kini belum ada mekanisme perhitungan dan pertanggungjawaban yang jelas untuk menakar magnitudo bencana yang diperparah perubahan iklim tersebut.

Berdasarkan pantauan citra satelit Kementerian Kehutanan, luas karhutla selama periode Januari–Mei 2025 mencapai 8.594,5 hektare (ha). Aktivitas pembakaran yang disengaja oleh manusia menjadi penyebab utama karhutla selama periode ini menurut Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan (Ditjen Gakkumhut).

Total area terdampak karhutla paling luas terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT), dengan luas mencapai 1.424,23 hektare. Kemudian Provinsi Kalimantan Barat menyusul dengan luas 1.149,02 hektare dan Riau 751 hektare.

Pantauan titik panas (hotspot) berdasarkan satelit Terra-Aqua (NASA) periode 1 Januari sampai 22 Juli 2025 memperlihatkan total 854 titik. Khusus hotspot di Riau, tercatat total 180 titik dengan jumlah tertinggi yaitu di Kabupaten Rokan Hilir sebanyak 106 titik.

Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, jumlah hotspot selama Januari–Juni 2025 cenderung memperlihatkan penurunan. Jumlah titik panas selama periode ini berada di angka 373, lebih rendah daripada Januari–Juni 2024 yang mencapai 655 titik atau di periode yang sama pada 2023 di angka 631.

Karhutla menjadi fenomena yang tak awam di Indonesia, terlebih dengan datangnya musim kemarau pada Juni. Pembakaran, mayoritas di tanah gambut, acap kali dipilih sebagai opsi termurah untuk membuka dan mempersiapkan lahan untuk pertanian atau perkebunan.

Meski demikian, kerugian ekonomi dan lingkungan yang harus dibayar masyarakat Indonesia dari aksi pembakaran terorganisir ini sejatinya jauh lebih mahal. Bank Dunia (World Bank) dalam laporan bertajuk The Cost of Fire: An Economic Analysis of Indonesia’s 2015 Fire Crisis mengestimasi bahwa kerugian ekonomi akibat karhutla selama Juni–Oktober 2015 menembus US$16,1 miliar atau setara Rp221 triliun.

Dalam bencana yang dipicu aktivitas manusia itu, 2,6 juta hektare lahan di berbagai wilayah di Indonesia dibakar. Total area terbakar tersebut setara dengan luas empat kali Pulau Bali. Musim kemarau kering yang dipicu fenomena El Nino makin memperburuk karhutla dan kabut asap kala itu.

Puluhan juta warga Indonesia harus menanggung biaya kesehatan karena gangguan pernapasan akibat emisi yang dilepas dari pembakaran. Sementara aktivitas ekonomi turut terganggu karena jarak pandang dan kualitas udara yang turun signifikan.

“Jika menghitung dampak regional dan global, jumlah sesungguhnya jauh lebih besar,” tulis World Bank dalam laporan itu.

Empat tahun berselang, tepatnya pada 2019, World Bank dalam laporan ekonomi kuartalan menyebutkan bahwa karhutla Indonesia telah membuat 900.000 orang menderita gangguan pernapasan. Kabut asap dari karhutla juga memaksa 12 bandara menghentikan operasi dan menghentikan aktivitas belajar di sekolah-sekolah di Indonesia, Malaysia dan Singapura.

“Secara keseluruhan, total kerusakan dan kerugian ekonomi di delapan provinsi yang terdampak sepanjang Juni–Oktober 2019 diperkirakan mencapai US$5,2 miliar atau 0,5% dari PDB. Dampak ini terutama tercatat melalui sektor pertanian, transportasi, perdagangan, industri, dan lingkungan,” papar World Bank.

Kepala Subdit Penanggulangan Kebakaran Hutan Kementerian Kehutanan, Israr Albar, mengemukakan bahwa belum ada metode baku yang menjadi rujukan pengukuran kerugian karhutla.

“Jadi kita belum memiliki metode yang betul-betul baku untuk mengukur kerugian akibat karhutla,” kata Israr di Jakarta, Rabu (23/7/2025).

Dia menjelaskan bahwa Sekretariat Asean pernah menugaskan jasa konsultan untuk mengukur biaya kerugian ekonomi, sosial dan lingkungan dari karhutla, tetapi upaya penghitungan kerap terkendala kesediaan data di lapangan.

“Terdapat banyak aspek dalam penilaian, dan tantangan besarnya adalah menaksir dengan cepat dan tepat di tengah metode yang beragam. Bagaimanapun, perhitungan untuk karhutla tidak bisa disamakan dengan kebakaran properti yang nilainya sudah diukur,” tambahnya.

Pemegang Konsesi Bertanggung Jawab

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq sempat menyebut kerugian lingkungan akibat karhutla di seluruh Indonesia sejak 2020 mencapai Rp18 triliun. Biaya kerugian ini lantas ditagih ke pemegang konsesi yang lahannya terbakar.

Hanif mengatakan KLH telah mengajukan tagihan atas kerugian lingkungan akibat karhutla kepada beberapa perusahaan pemegang lahan konsesi sejak 2019 hingga 2023.

Berdasarkan putusan berkekuatan hukum tetap (inkrah), akumulasi nilai kerugian lingkungan dampak dari karhutla yang disebabkan oleh perusahaan-perusahaan pemegang konsesi itu mencapai Rp18 triliun.

"Ini akan terus kami tagih kepada perusahaan-perusahaan tergugat tersebut," katanya di Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan, Minggu (25/5/2025).

Ia juga mengingatkan para pemegang konsesi bahwa sanksi pidana bakal dijatuhkan jika karhutla kembali terjadi di area mereka.

"Kami tidak peduli jika lahan ini terbakar disebabkan oleh masyarakat ataupun oleh mereka sendiri. Maka akan berikan sanksi pidana," ujarnya.

Selain itu, Kementerian LH telah menyurati seluruh perusahaan pemegang konsesi untuk menyampaikan laporan penanggulangan karhutla. Perusahaan pemegang konsesi wajib menyampaikan laporan penanggulangan karhutla mereka, setelah dua minggu surat tersebut diterima.

"Apabila hal ini tidak dipenuhi oleh perusahaan, kami akan memberikan teguran yang berkonsekuensi sanksi pidana," kata Hanif.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro