Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Studi: Padi Paling Tahan Hadapi Perubahan Iklim daripada Gandum dan Kedelai

Studi memproyeksikan bahwa padi akan menjadi tanaman pangan dengan penurunan produksi terendah meski menghadapi tantangan perubahan iklim
Petani mengontrol mesin pompa air tanah untuk mengairi sawah di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, Rabu (4/10/2023). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengimpor beras (HS 8 digit) sebanyak 1,59 juta ton sepanjang periode Januari-Agustus 2023 - JIBI/BISNIS.
Petani mengontrol mesin pompa air tanah untuk mengairi sawah di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, Rabu (4/10/2023). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengimpor beras (HS 8 digit) sebanyak 1,59 juta ton sepanjang periode Januari-Agustus 2023 - JIBI/BISNIS.

Bisnis.com, JAKARTA — Penelitian terbaru yang dipublikasi di jurnal Nature memproyeksikan bahwa padi akan menjadi tanaman pangan pokok dengan penurunan produksi global terendah, meski menghadapi tantangan perubahan iklim.

Temuan yang juga menganalisis komoditas pangan pokok lain seperti kedelai, sorgum dan gandum ini memberikan gambaran tentang bagaimana perubahan iklim dapat memengaruhi sistem pangan dunia. Riset tersebut juga menunjukkan bahwa petani masih memiliki peluang untuk meminimalisir dampak kerugian dari perubahan iklim.

Andy Hultgren, penulis utama studi dan asisten profesor di University of Illinois Urbana-Champaign, mengatakan bahwa padi merupakan tanaman yang lebih mudah beradaptasi sehingga cenderung terlindungi dari risiko iklim.

“Ini merupakan kombinasi antara karakteristik tanaman dan tindakan yang bisa dilakukan petani untuk mencegah dampak [perubahan iklim],” kata Hultgren, dikutip dari Bloomberg, Kamis (19/6/2025).

Suhu ekstrem, terutama panas pada siang hari, menjadi faktor utama yang menekan hasil panen. Di sisi lain, suhu malam hari yang juga meningkat diperkirakan akan merugikan tanaman seperti jagung.

Kendati demikian, beberapa varietas padi justru lebih tahan dibandingkan tanaman lain di tengah kondisi tersebut, terutama di kawasan dengan iklim yang sangat basah seperti di Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Menurut Hultgren, meski beberapa studi menunjukkan malam yang lebih panas dapat menurunkan hasil padi, efeknya sangat tergantung pada varietas padi dan kondisi kelembapan lokal.

“Dalam kondisi sangat basah, suhu minimum yang lebih tinggi justru membantu, terutama jika berada di wilayah dengan tingkat pendapatan global yang relatif tinggi,” tambahnya.

Studi ini juga memproyeksikan bahwa peningkatan pendapatan di Asia akan memungkinkan petani melakukan adaptasi, misalnya dengan beralih ke varietas padi dengan performa lebih baik.

Hasilnya, meski produksi padi global diperkirakan masih mengalami penurunan, nilai taksiran ini hanya sekitar 1% dalam skenario emisi karbon moderat pada akhir abad ini. Persentase penurunan lebih besar terlihat di hasil panen komoditas lain seperti seperti sorgum (-6%), gandum (-14%), dan kedelai (-22%).

Penelitian tersebut menjadi studi pertama yang menghitung bagaimana adaptasi petani, seperti pergantian varietas dan peningkatan irigasi, berinteraksi dengan perubahan iklim dalam memengaruhi hasil panen global.

Menggunakan data global hasil panen dan metode machine learning, peneliti mensimulasikan berbagai skenario perubahan cuaca, adaptasi, dan faktor ekonomi di berbagai wilayah agrikultur. Mereka juga mempertimbangkan asumsi terkait kemampuan adaptasi petani berdasarkan prospek perkembangan ekonomi tiap negara dan variasi suhu dunia.

Secara umum, penelitian ini memproyeksikan bahwa langkah adaptasi dapat meredam, tetapi tidak sepenuhnya menghilangkan penurunan hasil panen. Misalnya, pada 2050, skenario emisi tinggi tanpa intervensi menurunkan hasil panen global hingga sekitar 10%.

Namun, dengan intervensi adaptasi dan pertumbuhan ekonomi, penurunan tersebut bisa ditekan menjadi hampir 8%. Pada 2098, tindakan adaptasi dan perkembangan ekonomi bahkan dapat mengurangi dampak suhu tinggi dari penurunan hasil panen dari 37% menjadi 24%.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper