Bisnis.com, JAKARTA — Laporan terbaru dari koalisi delapan kelompok lingkungan mengungkap bahwa bank-bank raksasa dunia tetap terlibat aktif dalam membiayai perusahaan dengan emisi karbon tinggi sepanjang 2024.
Laporan bertajuk Banking on Climate Chaos mencatat bahwa nilai pembiayaan 65 bank terbesar di dunia kepada perusahaan batu bara, minyak dan gas menembus US$869 miliar atau sekitar Rp14.182 triliun (kurs transaksi Bank Indonesia Rp16.320 per dolar AS) pada 2024. Nilai fantastis ini digelontorkan bank-bank tersebut terlepas dari komitmen lingkungan yang telah dijanjikan pada KTT Iklim COP21 di Glasgow, Skotlandia pada 2021.
Pembiayaan bank ke sektor energi fosil sejatinya memperlihatkan tren penurunan secara keseluruhan sejak 2021. Namun, dua per tiga dari 65 bank tersebut justru menaikkan pembiayaan ke sektor kotor tersebut dengan nilai mencapai US$162 miliar dalam kurun 2023–2024.
“Ini adalah tren baru karena secara keseluruhan, pembiayaan ke energi fosil cenderung turun sejak 2021,” tulis laporan yang dirilis pada Senin (16/6/2025) tersebut.
Sejak Persetujuan Paris ditandatangani pada 2016, sektor perbankan global telah menggelontorkan pembiayaan senilai US$7,9 triliun ke industri bahan bakar fosil. Sekitar US$1,6 triliun di antaranya disuntikkan untuk mendukung aktivitas ekspansi perusahaan-perusahaan tersebut.
Pembiayaan melalui surat utang mengalami lonjakan paling signifikan dalam kurun 2023–2024, dari US$284 miliar pada 2023 menjadi US$401 miliar pada 2024. Pembiayaan dalam bentuk kredit juga meningkat dari US$422 miliar menjadi US$467 miliar, sedangkan pembiayaan melalui akuisisi naik dari US$63,7 miliar menjadi US$82,9 miliar.
Manajer Kampanye Industri Global dari Oil Change International, David Tong, salah satu penyusun laporan, mengatakan bahwa sektor perbankan tidak memiliki alasan kuat untuk membiayai perusahaan energi fosil pada 2025. Hasil analisis memperlihatkan bahwa perusahaan-perusahaan ini tidak melakukan upaya signifikan untuk mencegah pemanasan global melampaui ambang batas 1,5 derajat Celsius.
“Dengan menyuntikkan investasi fantastis sebesar US$869 miliar dalam setahun, perbankan global telah berkontribusi pada kerusakan iklim yang dipicu oleh aktivitas perusahaan energi fosil,” kata Tong dalam pernyataan resmi.
Dominasi Bank asal Amerika Serikat
JPMorgan Chase tercatat sebagai pemberi dana terbesar untuk sektor energi fosil global pada 2024, dengan komitmen sebesar US$53,5 miliar. Bank of America, Citigroup, Mizuho Financial, dan Wells Fargo menyusul dengan komitmen pembiayaan di kisaran US$40 miliar.
Empat bank tercatat menaikkan pembiayaan energi fosil lebih dari US$10 miliar pada 2024. Peningkatan terbesar dicatat oleh JPMorgan Chase (US$15 miliar), disusul Citigroup (US$14,9 miliar), Bank of America (US$12,7 miliar), dan Barclays (US$12,6 miliar).
Bank-bank asal AS menyumbang pembiayaan sebesar US$289 miliar pada 2024, setara sepertiga dari total global dalam cakupan laporan ini. Empat bank terbesar di AS, yakni JPMorgan Chase, Bank of America, Citigroup, dan Wells Fargo, menyumbang 21% dari total pembiayaan energi fosil global.
Dari Jepang, Mizuho, MUFG, dan SMBC memberikan kontribusi sebesar 12% dari total pembiayaan dalam laporan ini. Hampir separuh dana tersebut dialirkan kepada perusahaan-perusahaan yang bermarkas di Amerika Serikat.
Sementara di Eropa, Barclays dari Inggris menjadi bank dengan pembiayaan energi fosil terbesar pada 2024, dengan nilai mencapai US$35,4 miliar. Disusul oleh Santander dari Spanyol, BNP Paribas dari Prancis, Deutsche Bank dari Jerman, dan HSBC dari Inggris, masing-masing dengan pembiayaan antara US$14 miliar hingga US$17,3 miliar.
“Tahun ini, bank-bank telah menunjukkan wajah aslinya, banyak yang meninggalkan komitmen iklim dan justru menggandakan pembiayaan untuk ekspansi bahan bakar fosil, bahkan ketika suhu global mencetak rekor tertinggi,” kata Lucie Pinson, Direktur dan Pendiri Reclaim Finance yang turut terlibat dalam penyusunan laporan.
Dia mengemukakan bahwa satu-satunya cara agar bank berkontribusi dalam menangani krisis iklim adalah dengan memaksa mereka. Untuk itu, seluruh pemangku kepentingan harus terlibat.
“Hal ini bisa dimulai dari otoritas pengawas yang memiliki mandat untuk melindungi sistem keuangan dari risiko perubahan iklim yang terus meningkat,” katanya.