Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Lingkungan Hidup mendorong kawasan industri di Jabodetabek untuk mengendalikan limbah dan pencemaran udara.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengatakan pihaknya akan menindak tegas terhadap lemahnya pengawasan lingkungan di Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur. Menurutnya, kawasan industri tidak boleh lagi menjadi titik buta dalam pengendalian limbah dan pencemaran udara.
“Kawasan industri bukan hanya motor ekonomi, tetapi juga episentrum risiko lingkungan. Kalau tidak ditangani serius, masyarakat yang paling terdampak,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (17/6/2025).
Adapun salah satu kawasan industri tertua dan terluas di Indonesia, Pulogadung seluas 433 hektare yang dikelola oleh PT Jakarta Industrial Estate
Pulogadung (JIEP) menjadi lokasi bagi sekitar 370 tenant industri. Namun, hanya 39 tenant yang berpartisipasi dalam Program Penilaian Peringkat Kinerja Lingkungan (PROPER) 2024–2025. Dari jumlah tersebut, 6 tenant bahkan mendapat peringkat merah dan satu tenant ditangguhkan karena pelanggaran berat.
“Lemahnya pengawasan dari pengelola kawasan menjadi faktor utama menurunnya kinerja lingkungan. Jika tidak dibenahi, hal ini berpotensi mencemari udara, air, dan tanah di sekitar kawasan,” katanya.
Hanif meminta tenant dan pengelola kawasan industri untuk mengoperasikan sistem pemantauan kualitas air limbah otomatis (Sparing) yang terhubung ke sistem informasi pelaporan persetujuan lingkungan elektronik (Simpel). Kemudian, pemasangan Continuous Emission Monitoring System (CEMS) atau alat pemantau emisi cerobong secara real-time.
Baca Juga
“Tenant dan pengelola kawasan industri harus menyediakan Stasiun Pemantauan Kualitas Udara Ambien (SPKUA) di dalam kawasan. Lalu publikasi berkala data lingkungan melalui laman resmi dan papan informasi kawasan,” ucapnya.
Selain itu, perlu penunjukan penanggung jawab operasional bidang lingkungan hidup bersertifikasi di setiap tenant. Selain itu, pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3) sesuai peraturan disertai audit lingkungan berkala. Lalu diperlukan pelaporan rutin kinerja lingkungan kepada KLH/BPLH dan pemerintah daerah.
“Ini bukan sekadar memenuhi aturan, tapi soal menjamin hak masyarakat atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat,” tuturnya.
Hanif meminta pengelola kawasan untuk menaruh perhatian pada aspek penghijauan dengan menambah ruang terbuka hijau minimal 10% dari total luas lahan dengan penanaman pohon-pohon penyerap emisi secara berkala. Cerobong asap industri wajib terpantau melalui sistem yang andal dan transparan. Selain itu, penting dilakukan transisi energi di kawasan industri.
“Kami tidak ingin lagi ada pembakaran batu bara di kawasan ini. Industri harus segera beralih ke bahan bakar yang lebih bersih seperti gas,” ujarnya.
Menurutnya, limbah cair industri harus dikelola melalui sistem pengolahan air limbah terpusat (IPAL), dengan prapengolahan (pre-treatment) wajib oleh setiap tenant.
Hanif mengimbau pengurangan polusi debu dari kendaraan industri melalui percepatan penggunaan truk listrik dan penyemprotan rutin jalan kawasan, terutama pada musim kemarau.
Dia menegaskan setiap pelanggaran terhadap kewajiban pengelolaan lingkungan akan dikenai sanksi tegas. Sanksi administratif mencakup teguran, pembekuan izin, hingga pencabutan usaha. Selain itu, sanksi perdata dan pidana dapat diterapkan terhadap pelanggaran berat yang menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan.
“Sanksi pidana bukan jalan terakhir. Bila ditemukan unsur kesengajaan atau kelalaian berat, kami akan bertindak,” kata Hanif.
Sebagai bagian dari prinsip transparansi, KLH juga meminta pengelola kawasan membentuk forum komunikasi lingkungan yang inklusif dan aktif, serta membuka akses data kualitas udara dan air kepada masyarakat. Pasalnya, keterlibatan warga sekitar merupakan elemen penting dalam pengawasan.
“Partisipasi masyarakat adalah alat kontrol terbaik. Keterbukaan akan mencegah pembiaran dan manipulasi,” ucapnya.
Kawasan Industri Pulogadung hanyalah satu dari 166 kawasan industri yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun, tingkat partisipasi dalam program lingkungan masih tergolong rendah. Di wilayah Jabodetabek saja terdapat 48 kawasan industri, hanya 11 yang ikut proper dan dua di antaranya berperingkat merah.
“Industri tak cukup hanya bicara soal pertumbuhan. Mereka harus memimpin dalam keberlanjutan. Evaluasi akan terus kami lakukan, dan jika perlu,
tindakan hukum kami ambil,” tuturnya.
Hanif mengajak seluruh pelaku industri di Indonesia untuk segera berbenah tanpa menunggu peringatan. Peningkatan pengawasan internal dan audit lingkungan secara berkala, serta keterbukaan informasi menjadi kunci transformasi menuju industri yang ramah lingkungan.
“Reputasi industri ke depan tidak hanya diukur dari kinerja keuangan, tapi juga dari komitmennya pada keberlanjutan. Buktikan bahwa industri Indonesia bisa tumbuh tanpa merusak bumi,” terangnya.