Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Lingkungan Hidup berkomitmen dalam mengatasi masalah sampah plastik.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengatakan pihaknya tengah merevisi Peta Jalan Pengurangan Sampah Oleh Produsen karena ketaatan produsen yang belum optimal. Hal itu dilakukan bertepatan dengan berakhirnya Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Jakstranas).
Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 97 Tahun 2017 tentang Jakstranas ditargetkan 30% pengurangan sampah dan 70 persen penanganan sampah pada 2025. Namun, pengelolaan sampah baru mencapai 39,01% pada tahun ini. Adapun merujuk Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) milik KLH, dari 34,2 juta ton sampah pada 2024 berasal dari 317 kabupaten/kota, sebanyak 19,74% diantaranya adalah sampah plastik.
Indonesia menghasilkan sekitar 12 juta ton sampah plastik setiap tahun dan baru sekitar 14% di antaranya yang berhasil didaur ulang, sisanya masih tertumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) atau mencemari lingkungan.
"Prosesnya sendiri melalui pembahasan antar-Kementerian/Lembaga (K/L) serta sosialisasi dan diskusi dengan para pemangku kepentingan. Target revisi bulan Agustus paling lambat selesai, rencana kebijakan strategis nasional terkait dengan penanganan sampah bisa kita selesaikan," ujarnya dilansir Antara, Jumat (6/6/2025).
KLH akan segera memanggil produsen terkait rencana meningkatkan Extended Producer Responsibility (EPR) atau tanggung jawab produsen yang diperluas. Pihaknya juga akan mewajibkan produsen untuk bertanggung jawab mengelola sampah kemasan dari produk sebagai bagian dari upaya menekan timbulan sampah plastik di Indonesia.
Baca Juga
"Di negara maju ini sudah merupakan mandatory, kita masih voluntary. Kita mau tingkatkan dari voluntary menjadi mandatory. Artinya kalau kamu memproduksi 5 ton maka 5 ton itu yang wajib kamu tangkap," kata Hanif.
Direktur Pengurangan Sampah dan Pengembangan Ekonomi Sirkular KLH Agus Rusli mengatakan pelaku industri makanan dan minuman diharapkan untuk bersama-sama mencari solusi pengurangan limbah plastik berlapis atau multi-layer terutama dari kemasan mi instan yang sulit didaur ulang.
Menurutnya, plastik multi-layer menjadi tantangan besar dalam pengelolaan sampah nasional karena tidak memiliki nilai ekonomi tinggi seperti plastik jenis PET yang banyak dimanfaatkan kembali oleh pelapak dan bank sampah.
"Contohnya bungkus mi instan, sachet sampo, bungkus wafer dan ciki-cikian. Itu semua plastik multi-layer yang sangat sulit diolah karena terdiri dari beberapa lapisan, termasuk alumunium foil," ucapnya.
Sebagai salah satu produsen mi instan terbesar di Indonesia memproduksi hingga 20 miliar bungkus dalam setahun. Berdasarkan perhitungan KLH, dari total tersebut dihasilkan sekitar 40.000 ton sampah plastik multi-layer dalam setahun yang belum memiliki solusi daur ulang memadai.
"Untuk menghasilkan satu kilogram mi instan saja diperlukan sekitar 500 bungkus. Jadi bayangkan betapa banyak volume yang terkumpul setiap tahunnya, tapi sulit dimanfaatkan kembali," tuturnya.
Dia menegaskan pemerintah tidak hanya menyasar produsen besar, tetapi juga berupaya menjangkau pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) yang banyak memproduksi makanan ringan dalam kemasan plastik multi-layer. Produk-produk seperti wafer dan kudapan ringan banyak dijual bebas di pasar tradisional maupun minimarket, dan dikonsumsi luas oleh anak-anak. Pemerintah tetap berkomitmen untuk menekan limbah plastik tanpa mengorbankan pertumbuhan industri.
"Kami memahami industri kecil dan menengah ini jumlahnya sangat banyak, melibatkan tenaga kerja besar, sehingga pendekatannya tidak bisa represif. Kami harus berhati-hati karena pengurangan plastik berdampak pada pertumbuhan ekonomi," ujarnya.
KLH terus mengampanyekan perubahan gaya hidup masyarakat merupakan elemen kunci dalam upaya pengendalian polusi plastik, selain regulasi dan teknologi pengolahan sampah. Pasalnya, sebagian besar konsumsi plastik di masyarakat bersumber dari kebiasaan sehari-hari yang tidak disadari, seperti penggunaan kantong plastik sekali pakai saat berbelanja di pasar hingga pemakaian produk rumah tangga yang menghasilkan mikroplastik.
Kebiasaan masyarakat yang bergeser ke arah kemudahan dan kepraktisan telah mempercepat akumulasi sampah plastik di lingkungan. Untuk itu, edukasi publik dan kampanye gaya hidup ramah lingkungan perlu diperkuat agar masyarakat ikut berkontribusi secara aktif dalam pengurangan plastik dari sumbernya.
"Kami terus mendorong pembatasan penggunaan plastik sekali pakai melalui regulasi dan penyusunan peta jalan pengurangan sampah oleh produsen. Namun, regulasi saja tidak cukup tanpa dukungan perubahan pola konsumsi masyarakat. Plastik sebenarnya sangat bermanfaat jika digunakan secara bijak dan berkelanjutan. Yang menjadi masalah adalah pola pakai-buang tanpa tanggung jawab. Itu yang harus kita ubah bersama," kata Agus.
Dia menilai rendahnya kesadaran masyarakat akan mikroplastik, yang sebagian besar berasal dari aktivitas rumah tangga seperti mencuci pakaian sintetis dan memakai sabun pembersih wajah berbahan microbeads. Mikroplastik ini, masuk ke saluran air, mencemari laut, dan bisa kembali masuk ke tubuh manusia melalui konsumsi ikan.
Oleh karena itu, pentingnya pendekatan kultural dalam penanganan plastik. kontribusi rumah tangga dalam mengurangi konsumsi plastik menjadi sangat krusial dalam mencapai target nasional pengurangan sampah.
"Kita perlu membangun kembali budaya membawa tas belanja, memakai wadah isi ulang, dan menghindari produk dengan kemasan berlebih. Perubahan gaya hidup ini jauh lebih berdampak jangka panjang," ucapnya.
DAgus menambahkan Indonesia aktif mendorong penguatan resolusi global terkait pengendalian polusi plastik dalam berbagai forum internasional. Salah satunya melalui United Nations Environment Assembly (UNEA), termasuk pengelolaan dana berkelanjutan untuk pengendalian plastik menuju Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025.
"Indonesia sempat menjadi Wakil Presiden UNEA ke-5 pada 2019–2022, dan saat itu kami mempromosikan isu-isu global seperti air, edukasi, dan polusi plastik," tuturnya.
Indonesia juga menjadi pemain kunci dalam perundingan Intergovernmental Negotiation Committee (INC) yang membahas perjanjian plastik global. Dalam forum tersebut, Indonesia mendorong masuknya isu kelestarian laut dan mikroplastik ke dalam agenda perundingan internasional.
Menurut Agus, posisi Indonesia dalam perundingan global masih berada di tengah, tidak tergabung dalam blok negara-negara ambisius seperti Norwegia maupun blok negara penghasil minyak seperti Arab Saudi. Pemerintah Indonesia melalui KLH akan terus terlibat aktif setiap negosiasi internasional tentang menyelesaikan masalah limbah plastik, khususnya mikroplastik yang masih sulit mengelolanya itu, mengingat ancamannya tidak hanya terhadap lingkungan, tetapi juga kesehatan manusia.
Sementara itu, Ketua Bidang Sustainability dan Social Impact Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Arief Susanto menuturkan pihaknya penguatan tanggung jawab bersama seluruh pemangku kepentingan dalam pengelolaan sampah plastik seiring masih tingginya ketergantungan masyarakat terhadap kemasan plastik dalam kehidupan sehari-hari.
Menurutnya, kemasan plastik masih menjadi kebutuhan vital dalam industri makanan dan minuman, terutama karena mempertimbangkan aspek keamanan pangan dan keterjangkauan harga bagi masyarakat.
"Plastik ini masih sangat diperlukan oleh konsumen karena terkait dengan keawetan makanan, perlindungan, penyimpanan, dan tentu saja karena harganya masih bisa dijangkau oleh masyarakat luas," ujarnya.
Dia menilai tantangan terbesar saat ini bukan pada penghapusan plastik, melainkan bagaimana mengelola sampah plastik secara berkelanjutan. Berdasarkan data dari sekitar 300 kabupaten, total sampah nasional hingga 2024 mencapai sekitar 35 juta ton dan 20% di antaranya adalah sampah plastik.
Sejumlah perusahaan makanan dan minuman yang tergabung dalam GAPMMI telah melakukan berbagai upaya untuk pengelolaan sampah plastik, termasuk membentuk industri daur ulang. Saat ini terdapat lebih dari 200 industri daur ulang di Indonesia dengan kapasitas hingga 2,5 juta ton per tahun, namun baru sekitar 800 ribu ton yang termanfaatkan secara optimal.
GAPMMI mencatat puluhan perusahaan anggotanya telah menyusun peta jalan pengelolaan sampah sesuai amanat Peraturan Menteri LH Nomor 75/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
"Total ada 21 perusahaan, masih akan terus bertambah lagi, mereka yang telah mendapat pengakuan dari Kementerian LH atas pelaksanaan peta jalan tersebut," ucapnya.
Kendati demikian, dia menegaskan pentingnya pendekatan kolaboratif yang melibatkan semua pihak dalam ekosistem pengelolaan sampah plastik. Dia mengusulkan konsep extended stakeholder responsibility yang melibatkan industri, pemerintah, masyarakat, akademisi, hingga organisasi non-pemerintah.
“Kami menyadari bahwa pengelolaan sampah plastik bukan hanya tanggung jawab produsen, tetapi juga seluruh stakeholder. Mulai dari edukasi masyarakat, pemilahan sampah dari rumah, hingga perbaikan sistem pengangkutan dan pemrosesan sampah di lapangan harus dilakukan bersama,” kata Arief.
Dia berharap ke depan industri makanan dan minuman dapat terus menjadi pemimpin dalam pengelolaan sampah plastik, namun tetap memerlukan dukungan nyata dari seluruh elemen bangsa agar pengendalian sampah plastik bisa berjalan efektif dan berkelanjutan.