Bisnis.com, JAKARTA — Malaysia mengkhawatirkan tindakan Uni Eropa yang memberikan klasifikasi risiko standar berdasarkan undang-undang antideforestasi yang baru karena berdasarkan data lama.
Menteri Komoditas Malaysia Johari Abdul Ghani mengatakan klasifikasi tersebut didasarkan pada data Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2020 dan Malaysia merupakan eksportir minyak sawit terbesar kedua di dunia telah melakukan sejumlah langkah untuk ditetapkan risiko rendah.
Komisi Eropa telah mengkategorikan barang-barang yang diimpor dari Belarus, Myanmar, Korea Utara, dan Rusia sebagai risiko tinggi yang memicu deforestasi.
Berdasarkan peraturan Uni Eropa, negara-negara dengan risiko standar akan menghadapi pemeriksaan kepatuhan yang lebih ringan atas barang-barang yang diekspor ke Eropa, sedangkan negara dengan risiko rendah akan menghadapi aturan uji tuntas yang kurang ketat. Negara-negara yang diklasifikasikan sebagai risiko standar termasuk Malaysia, Indonesia, dan Brasil.
Undang-undang UE, yang diharapkan mulai berlaku pada bulan Desember, berlaku untuk kedelai, daging sapi, minyak sawit, kayu, kakao, dan kopi, serta beberapa produk turunan termasuk kulit, cokelat, dan furnitur.
Johari menegaskan kembali komitmen Malaysia untuk menyajikan bukti terbaru berbasis sains guna mendukung permintaannya untuk status risiko rendah.
Baca Juga
"Malaysia telah menerapkan kebijakan anti-deforestasi yang ketat dan mengembangkan sistem sertifikasi kami sendiri yang memastikan keterlacakan, kepatuhan, dan inklusivitas, khususnya bagi petani kecil. Kami berkomitmen penuh untuk bekerja sama dengan Komisi UE guna memastikan pengakuan yang adil atas kemajuan kami," katanya, seraya menambahkan Malaysia juga telah berpartisipasi secara luas dalam upaya keberlanjutan internasional," ujarnya dilansir Reuters, Selasa (3/6/2025).
Dewan Minyak Sawit Malaysia melihat klasifikasi UE didasarkan pada metode yang terlalu sempit dan tidak lengkap dan didasarkan pada rata-rata hilangnya hutan tahunan antara tahun 2015 dan 2020.
"Jangka waktu yang singkat ini tidak menunjukkan gambaran yang utuh," katanya.
Selain itu, metodologi Uni Eropa yang hanya menilai hilangnya hutan secara umum mendiskriminasi sektor minyak sawit.
Delegasi Uni Eropa di Malaysia menyatakan semua negara dinilai dengan menggabungkan dua ambang kuantitatif untuk membedakan risiko rendah dari risiko standar. Negara termasuk Malaysia, yang melampaui satu atau kedua ambang tersebut diklasifikasikan sebagai risiko standar.
"Ambang batas tersebut melihat deforestasi secara keseluruhan, bukan deforestasi yang terkait dengan salah satu dari tujuh komoditas secara khusus," ucapnya.