Bisnis.com, JAKARTA — Polusi udara dapat mengganggu siklus menstruasi. Siklus menstruasi merupakan indikator utama kesehatan perempuan secara keseluruhan. Namun, hal tersebut sebagian besar diabaikan dalam penelitian kesehatan lingkungan.
Kini, para ilmuwan telah menemukan hubungan antara paparan polusi udara jangka panjang dan periode menstruasi yang tidak teratur. Penelitian ini disebut dust bloom.
Peneliti dari MIT, University of Colorado Denver, dan aplikasi Clue telah menerbitkan studi terbesar hingga saat ini yang meneliti dampak polusi udara terhadap kesehatan menstruasi menganalisis data dari 2,2 juta siklus menstruasi di 230 kota di Amerika Serikat, Meksiko, dan Brasil.
Dengan memanfaatkan lebih dari 2,2 juta siklus menstruasi yang tidak teridentifikasi dari 92.550 pengguna aplikasi pelacak kesehatan seluler, antara tahun 2016 hingga 2020 meneliti paparan terhadap partikel halus (PM 2.5) berkorelasi dengan panjang siklus yang tidak normal.
Temuan tersebut mengungkapkan hubungan yang signifikan antara paparan PM 2.5 jangka panjang dan persentase siklus yang tidak normal dan sangat panjang yang lebih tinggi di tingkat kota, sedangkan dalam jangka pendek tidak menunjukkan efek yang signifikan. Adapun terdapat potensi dampak polusi udara terhadap kesehatan reproduksi dan menggarisbawahi perlunya penelitian lebih lanjut tentang mekanisme biologis yang mendasarinya.
Studi yang diterbitkan dalam The Lancet Planetary Health tersebut menemukan konsentrasi partikel halus (PM2.5) yang lebih tinggi di udara berhubungan dengan peningkatan frekuensi ketidakteraturan siklus menstruasi, khususnya siklus yang lebih panjang. Hubungan ini menunjukkan gangguan fungsi endokrin dan reproduksi yang terkait dengan paparan polusi.
Baca Juga
Studi ini menggunakan data pelacakan siklus longitudinal dari pengguna Clue yang dikombinasikan dengan pengukuran satelit terhadap tingkat polusi udara. Meskipun paparan polusi jangka pendek tidak menunjukkan efek langsung, penelitian menunjukkan bahwa paparan PM 2.5 pada siklus sebelumnya tampaknya memengaruhi keteraturan siklus di kemudian hari.
Research Lead University of Colorado Denver & MIT Senseable City Lab Priyanka deSouza mengatakan bukti toksikologi menunjukkan bahwa sifat polusi udara sekitar yang mengganggu endokrin dapat memengaruhi siklus menstruasi menjadi penanda penting kesehatan perempuan.
"Kami menggunakan data 2.220.281 siklus menstruasi antara tahun 2016-2020, yang sesuai dengan 92.550 pengguna di 210 kota di seluruh Amerika Serikat, Meksiko, dan Brasil. Kami membandingkan tingkat polusi udara (konsentrasi PM 2.5, bervariasi dari 3,7 μg/m³ hingga hampir 35 μg/m³ dengan persentase siklus menstruasi yang tidak normal," ujarnya dalam laporan dikutip Jumat (30/5/2025).
Analisis regresi digunakan untuk mengevaluasi hubungan antara PM 2.5 jangka panjang, yang dirata-ratakan antara tahun 2016-2020, dan hasil tingkat kota setelah mengendalikan faktor pengganggu yang potensial.
"Hubungan yang signifikan diamati antara PM 2.5 jangka panjang dan siklus dengan panjang yang tidak normal. Integrasi data kesehatan beresolusi tinggi skala besar dan pemantauan lingkungan yang canggih mengubah cara kita mempelajari kesehatan masyarakat," katanya.
Dia menuturkan panjang siklus menstruasi dan variabilitasnya merupakan indikator penting kesehatan wanita. Penelitian telah menunjukkan bahwa siklus menstruasi yang sangat bervariasi dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian dini, penyakit kardiovaskular, diabetes tipe 2, kanker, dan infertilitas.
"Dampak polusi pada panjang siklus menstruasi masih kurang diteliti, karena sedikit kohort epidemiologi yang melacak informasi siklus menstruasi," ucapnya.
Fractional Chief Science Officer Clue Amanda Shea menuturkan terdapat hubungan antara polusi udara dengan hasil reproduksi seperti kelahiran prematur dan infertilitas, tetapi berfokus secara khusus pada kesehatan menstruasi dimana suatu area yang menurut para peneliti telah diabaikan karena kesenjangan kesehatan gender yang terus-menerus dalam penelitian ilmiah.
"Clue membantu menutup kesenjangan kesehatan gender dengan membuat penelitian skala besar tentang kesehatan wanita lebih cepat dan lebih layak daripada sebelumnya. Dengan menganalisis jutaan siklus yang tidak teridentifikasi yang dilacak di aplikasi bersama data lingkungan, kami telah mengambil pendekatan baru untuk mengeksplorasi bagaimana faktor eksternal seperti polusi dapat memengaruhi kesehatan reproduksi,"
Assistant Professor of Environmental, Reproductive, and Women's Health Harvard T.H. Chan School of Public Health dan Massachusetts General Hospital Shruthi Mahalingaiah menuturkan polusi udara dapat memengaruhi panjang siklus menstruasi di tiga negara berbeda.
Menurutnya, PM 2.5 sudah diketahui membahayakan kesehatan manusia, terutama jantung dan paru-paru. Studi ini menunjukkan bahwa hal itu juga dapat memengaruhi ovulasi dan kesehatan menstruasi.
"Bagi mereka yang khawatir tentang potensi dampak kualitas udara terhadap kesehatan mereka, para peneliti merekomendasikan pemantauan kualitas udara dan pembatasan paparan selama hari-hari dengan polusi tinggi, melacak siklus menstruasi untuk menetapkan pola pribadi, dan berkonsultasi dengan profesional perawatan kesehatan tentang perubahan siklus yang mengkhawatirkan," tuturnya.