Bisnis.com, JAKARTA – Suhu panas ekstrem di kawasan tropis, termasuk Indonesia dan Singapura, berpotensi kembali berlangsung lebih lama tahun ini.
Berdasarkan laporan dari konsorsium World Weather Attribution dari London, Climate Central dari AS, dan Pusat Iklim Palang Merah menyebutkan setidaknya ada tambahan 30 hari dengan suhu ekstrem dalam beberapa tahun terakhir akibat perubahan iklim.
Untuk Indonesia dan Singapura sendiri, tercatat ada tambahan 99 hari dengan suhu panas ekstrem sejak Mei 2024 dengan skenario yang mengabaikan dampak pemanasan global. Barbados, Haiti, dan beberapa pulau di kawasan Karibia dan Pasifik mengalami tambahan 120 hari dengan cuaca panas ekstrem.
Dari 247 negara dan kawasan yang dianalisis dalam laporan tersebut, hari-hari dengan suhu ekstrem berlangsung lebih lama di negara-negara yang dekat dengan garis khatulisiwa.
"Suhu di daerah tropis memiliki variabel yang lebih sedikit dibandingkan dengan kawasan di kawasan lintang tengah, yang artinya tren dampak perubahan iklim lebih terlihat jelas di kawasan tropis," kata Periset Imperial College London Clair Barnes, dikutip dari Bloomberg, Jumat (30/5/2025).
Barnes yang juga anggota World Weather Attribution menambahkan bahwa negara-negara di kawasan tropis memiliki kemungkinan yang besar bakal mengalami cuaca ekstrem, khususnya negara kepulauan.
Hal itu terjadi karena lautan yang mengelilingi kepulauan cenderung menyimpan panas untuk waktu yang lama, sehingga suhu akan meningkat di periode yang seharusnya sudah periode yang lebih sejuk.
Dalam laporan tersebut, periset menjelaskan hari-hari dengan cuaca panas ekstrem terjadi ketika suhu harian berada 90% di atas rata-rata suhu di lokasi tersebut secara historis. Perbandingannya dilakukan untuk lokasi yang sama, alih-alih melakukan perbandingan dengan lokasi lain di dunia.
Adapun, tahun lalu 2024 merupakan periode terpanas yang pernah tercatat dengan sejumlah gelombang panas melanda berbagai wilayah. Beberapa lokasi yang terkena gelombang panas seperti di sebelah barat daya Amerika Serikat pada Juni 2024, bagian selatan Eropa beberapa bulan setelahnya, dan Asia tengah pada Maret 2025.
"Cuaca panas ekstrem bisa menyebabkan tekanan terhadap populasi, termasuk orang tua, komunitas berpendapatan rendah, dan wanita hamil," tulis laporan tersebut.
Selain itu, cuaca ekstrem juga berdampak negatif untuk produktivitas agrikultur, ketersediaan air, dan infrastruktur energi.