Bisnis.com, JAKARTA — Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025–2034 dikritik karena masih mengandalkan energi fosil seperti batu bara dan gas, meskipun Indonesia tengah mendorong transisi ke energi bersih.
Secara total, pemerintah akan menambah pembangkit listrik hingga 69,5 gigawatt (GW) hingga 2034. Dari jumlah itu, Komposisi energi fosil atau pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara sebesar 6,3 GW dan gas 10,3 GW atau setara 24%.
Sementara, sisanya berasal dari pembangkit energi baru terbarukan (EBT) mencapai 42,6 GW atau 61% dan storage 10,3 GW atau 15%.
Direktur Eksekutif Centre of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan RUPTL 2025-2034 lebih banyak mengakomodasi kepentingan energi fosil baik batu bara dan gas. Langkah tersebut menjadi ganjalan bagi iklim investasi energi terbarukan di Indonesia.
Menurut Bhima, investor di sektor energi terbarukan dan pembangunan transmisi akan bingung dengan RUPTL. Sebab, pemerintah tidak memiliki rencana yang ambisius dalam transisi energi.
"Misalnya mereka mau membangun industri komponen lokal panel surya dan baterai, ternyata arah pemerintah masih berkutat di instalasi pembangkit batu bara dan teknologi yang mahal. Ada ketidakpastian dari sisi investasi yang membuat daya saing Indonesia tertinggal," kata Bhima dalam keterangan tertulis, Senin (26/5/2025).
Baca Juga
Dia juga berpendapat RUPTL anyar ini justru berisiko menjadi batu sandungan bagi penciptaan lapangan kerja dan motor pertumbuhan ekonomi.
"Apa RUPTL ini menjawab target pertumbuhan 8%? Saya rasa tidak sama sekali. Tidak ada cara lain, pemerintah harus segera melakukan revisi RUPTL dengan menghapus rencana pembangunan pembangkit fosil," katanya.
Policy Strategist CERAH Sartika Nur Shalati mengatakan investasi ke pembangkit listrik berbahan fosil berisiko membuat sistem energi nasional tergantung pada energi kotor.
Dia mencontohkan, pembangunan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) yang memiliki umur teknis 25-30 tahun, biasanya akan diikuti investasi pembangunan pipa gas dan terminal gas alam cair (liquefied natural gas/LNG).
Lalu, diikuti kontrak pasokan gas jangka panjang, hingga subsidi pemerintah melalui harga gas bumi tertentu (HGBT).
"Ketika proyek infrastruktur gas sudah dibangun dan modal besar sudah tertanam [sunk cost], sangat sulit bagi pemerintah atau operator untuk menutupnya sebelum akhir umur teknisnya, kecuali dengan kompensasi besar," kata Sartika.
Menurutnya, penambahan PLTU di tengah dominasinya yang mencapai 70% dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik bukan merupakan langkah yang tepat.
Jika PLTU terus ditambah, maka pemerintah daerah-terutama yang selama ini ekonominya bergantung pada batu bara–semakin kehilangan waktu untuk membangun ekonomi alternatif di tengah sumber daya alam dan lingkungan yang telah terdampak.
"Padahal tanpa tambahan sekalipun dalam grid PLN, PLTU tetap tumbuh diam-diam lewat captive power," ucap Sartika.