Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mimpi Asia Tenggara Jadi Hub Pasar Karbon Dunia

Ketergantungan tinggi kawasan Asia Tenggara terhadap batu bara membuka peluang untuk pemanfaatan perdagangan kredit karbon transisi dari pensiun dini PLTU
Hasil pembakaran pembangkit batu bara merupakan salah satu sumber emisi karbon terbesar di Asia Tenggara./Bloomberg-Krisztian Bocsi
Hasil pembakaran pembangkit batu bara merupakan salah satu sumber emisi karbon terbesar di Asia Tenggara./Bloomberg-Krisztian Bocsi

Bisnis.com, JAKARTA — Metode penghitungan kredit karbon transisi yang belum lama ini mendapat lampu hijau dari badan standardisasi karbon internasional, Verra, berpotensi membawa keuntungan bagi kawasan Asia Tenggara yang memiliki ketergantungan tinggi pada batu bara.

Kehadiran kredit karbon jenis baru itu diperkirakan membuka jalan bagi Asia Tenggara untuk menjadi pemasok utama dalam perdagangan karbon internasional.

Metodologi penghitungan kredit karbon transisi mencakup kredit yang dihasilkan dari pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Metodologi ini akan menjadi panduan dalam pengembangan proyek serupa dan membantu menghitung pengurangan emisi dari pensiun dini PLTU.

Jumlah emisi yang berhasil dihindari dari pensiun dini tersebut nantinya dapat dikonversi menjadi kredit transisi. Setiap kredit mewakili satu ton metrik setara karbon dioksida atau CO₂.

Kredit ini dapat dibeli oleh perusahaan yang ingin memenuhi target iklim mereka. Sebagai alternatif, pemerintah juga dapat menggunakannya untuk menghitung kontribusi terhadap target iklim sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Paris 2015.

“Bagi Asia Tenggara, metodologi ini memperkuat ambisi untuk menjadikan kawasan ini sebagai pusat perdagangan karbon global,” tulis Analis BloombergNEF Joy Foo dalam laporannya, dikutip Selasa (20/5/2025).

Saat ini, pasar Asia Tenggara telah menyumbang 4% dari penerbitan tahunan kredit karbon. Selain itu, 17% dari penggunaan (retirement) kredit karbon global sepanjang tahun ini berasal dari Asia Tenggara.

Kredit karbon transisi membuka peluang bagi Asia Tenggara karena jaringan listrik di kawasan ini didominasi pembangkit bertenaga batu bara. Sekitar 471 PLTU yang beroperasi di kawasan ini menyumbang 43,5% dari bauran pembangkit listrik pada 2023, meningkat dari 19,7% pada 2000.

Di Indonesia, batu bara tetap menjadi bahan bakar pembangkit listrik termurah dalam satu dekade terakhir, menurut analisis biaya energi seumur hidup (levelized cost of energy) dari BloombergNEF.

Biaya operasional PLTU eksisting diperkirakan 66% hingga 70% lebih rendah dibandingkan biaya energi seumur hidup dari pemakaian pembangkit bertenaga surya dan angin darat pada 2023.

“Melimpahnya pasokan batu bara murah di Asia Tenggara memberi sinyal potensi kawasan ini dalam menghasilkan kredit transisi,” lanjut Foo.

Meski demikian, kredit transisi masih dalam tahap awal pengembangan. Panduan lebih lanjut masih dibutuhkan untuk menilai kualitas kredit yang tersedia di pasar. Sebagian panduan ini mungkin akan datang dari perundingan iklim PBB terkait Perjanjian Paris, atau dari upaya Integrity Council for the Voluntary Carbon Market (ICVCM) dalam merumuskan definisi kredit kualitas tinggi.

“Ketiadaan praktik terbaik [perdagangan karbon] saat ini membuat kekhawatiran terhadap integritas kredit sulit dihilangkan. Hal ini menjadi hambatan dalam membangun kepercayaan pembeli yang diperlukan untuk menarik lebih banyak pelaku pasar,” tulis BloombergNEF.

Pasar Karbon Asia Pasifik Pulih

Dalam perkembangan lain, pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) Asia Pasifik memperlihatkan pertumbuhan bulanan pada April 2025.

“Setelah kinerja yang mengecewakan pada bulan sebelumnya, pasokan dan permintaan kredit karbon sukarela dari Asia Pasifik mengalami peningkatan pada April,” lapor BNEF.

Pasokan kredit karbon naik 110% secara bulanan menjadi 8,27 juta setara CO2. Volume tersebut setara dengan 34% dari total pasokan global. Posisi Thailand melonjak ke peringkat ketiga sebagai penerbit terbanyak di kawasan ini, dari posisi kedelapan bulan sebelumnya.

Sebagian besar kredit yang terbit pada April berasal dari proyek pembangkitan energi (93%) dan sebagian kecil dari transportasi. Meskipun ada kekhawatiran soal integritas proyek energi, sektor ini tetap dominan dengan menambah 5,52 juta kredit sepanjang April.

Sisi permintaan kredit karbon juga pulih pada April. Penggunaan kredit atau retirement di Asia Pasifik naik 53% secara bulanan menjadi 7,53 juta pada April dan menyumbang setengah dari total global.

EnergyAustralia menjadi pembeli kredit karbon terbesar selama bulan ini. Mereka tercatat menggunakan 640.000 kredit yang berasal dari proyek emisi di Bangladesh, setara dengan 8% dari permintaan bulanan kawasan.

“India tetap menjadi pasar terbesar untuk penggunaan kredit, dengan 1,45 juta digunakan di bulan yang sama,” demikian bunyi laporan tersebut.

Harga kredit dari proyek energi juga melonjak dua kali lipat dibandingkan dengan Maret. Meski volume dan nilai transaksi meningkat, lonjakan harga kemungkinan besar disebabkan oleh nilai perdagangan yang lebih tinggi.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper