Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ini Penjelasan BMKG Cuaca Panas Terik Siang Hari dan Hujan Lebat di Malam Hari

Sebanyak 403 Zona Musim (ZOM) atau sekitar 57,7% wilayah Indonesia diprediksi akan memasuki musim kemarau pada periode April hingga Juni 2025.
Ilustrasi suhu udara panas. /istimewa
Ilustrasi suhu udara panas. /istimewa

Bisnis.com, JAKARTA — Dalam beberapa hari terakhir, cuaca di Jabodetabek mengalami suhu panas pada siang hari, namun hujan di malam hari.

Sub Koordinator Bagian Humas Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwi Rini Endra Sari mengatakan saat ini sebagian besar wilayah Jabodetabek sedang berada pada periode transisi atau masa peralihan dari musim hujan ke musim kemarau.

Periode ini dikenal juga dengan masa pancaroba. Selama periode ini, hujan umumnya terjadi pada siang hingga menjelang malam hari, didahului oleh udara hangat pada pagi hingga siang yang menyebabkan kondisi atmosfer menjadi labil. Pemanasan permukaan yang kuat dapat memicu pembentukan awan-awan konvektif, terutama awan Cumulonimbus (Cb) yang berpotensi menimbulkan hujan lebat disertai kilat/petir dan angin kencang.

"Kondisi ini juga dapat memicu terjadinya angin puting beliung. Karakteristik hujan pada periode peralihan cenderung tidak merata dengan intensitas sedang hingga lebat dapat disertai kilat/petir dan angin kencang," ujarnya kepada Bisnis, Jumat (16/5/2025). 

Awal musim kemarau di wilayah Jabodetabek bervariasi dimulai dari akhir April hingga Juni 2025 mendatang. Awal musim kemarau di wilayah Jakarta bagian utara, Bekasi, dan Tangerang diprediksi terjadi pada akhir April 2025. Untuk wilayah Tangerang Selatan awal musim kemarau diprediksi pada akhir Mei 2025. Sementara itu untuk sebagiam wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Barat bagian selatan, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Depok, sebagian Kab. Bogor, dan sebagian Kota Bogor, awal musim kemarau dimulai pada pertengahan hingga akhir Juni 2025 mendatang.

"Cuaca ekstrem di wilayah Jabodetabek masih berpotensi terjadi hingga sepekan ke depan. Kemudian intensitas curah hujan akan menurun pada akhir bulan Mei hingga awal Juni mendatang," katanya. 

Berdasarkan analisis klimatologi terkini, sebanyak 403 Zona Musim (ZOM) atau sekitar 57,7% wilayah Indonesia diprediksi akan memasuki musim kemarau pada periode April hingga Juni 2025. Namun dalam beberapa pekan terakhir, masyarakat masih merasakan cuaca panas terik pada siang hari disertai hujan pada sore atau malam.

Kondisi atmosfer yang labil pada masa transisi ini berpotensi memicu terbentuknya awan konvektif seperti cumulonimbus, yang dapat menyebabkan cuaca ekstrem seperti hujan lebat, petir, angin kencang, bahkan hujan es.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menambahkan saat ini tren pemanasan global semakin mengkhawatirkan. Indonesia juga berada dalam titik kritis dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Menurutnya, perubahan suhu yang semakin tinggi dan cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi, seperti banjir dan kekeringan, mempengaruhi berbagai sektor, termasuk ketahanan air dan pangan

"Kenaikan suhu rata-rata yang tercatat pada 2024 sebesar 27,52°C, dengan anomali suhu tahunan mencapai +0,81°C dibandingkan periode normal, menunjukkan adanya tren pemanasan global yang mengkhawatirkan," ucapnya. 

Data BMKG menunjukkan suhu udara di Indonesia terus meningkat, dengan sebagian besar wilayah mengalami suhu yang hampir selalu berada di atas persentil ke-95 sepanjang tahun.

Tren ini berpotensi memperparah dampak perubahan iklim, yang akan semakin terlihat dalam bentuk cuaca ekstrem, baik berupa banjir maupun kekeringan.

"Masalah besar yang kita hadapi adalah ketimpangan pasokan air yang berlimpah saat musim hujan, namun langka ketika dibutuhkan di musim kemarau," tuturnya.

Untuk menghadapi proyeksi tersebut terdapat dua solusi utama sebagai respons terhadap krisis air yang semakin memburuk, yakni restorasi sungai dan pemanenan air hujan. Kedua solusi ini harus dilaksanakan secara terkoordinasi dan berbasis data ilmiah yang kurat.

Dwikorita juga mengingatkan bahwa tanpa upaya serius dan terencana dalam mengelola sumber daya air, dampak perubahan iklim akan semakin dirasakan oleh masyarakat, terutama mereka yang tinggal di wilayah-wilayah yang sudah mengalami kekurangan air bersih.

"Restorasi sungai dapat memperbaiki ekosistem sungai yang rusak, yang pada gilirannya akan meningkatkan kapasitas sungai untuk menampung dan mengalirkan air dengan lebih baik. Sementara, pemanenan air hujan dapat menjadi solusi jangka panjang untuk mengatasi krisis air, terutama di daerah-daerah yang rawan kekeringan. Dengan pemanenan air hujan, kita dapat mengurangi ketergantungan pada sumber daya air permukaan yang semakin terbatas akibat perubahan iklim," terangnya. 

Dia menilai perubahan iklim bukan hanya masalah jangka pendek, melainkan tantangan besar yang harus dihadapi dengan pendekatan jangka panjang. Oleh karena itu, perlu strategi pengelolaan air yang lebih cerdas dan adaptif, serta melibatkan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yanita Petriella
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper