Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perdagangan Teknologi Energi Bersih dalam Pusaran Perang Tarif

Meski Donald Trump menunda pengenaan tarif, ekspor dan impor teknologi energi bersih telah diganjar hambatan dagang yang besar
Para pekerja berjalan di salah satu pembangkit listrik tenaga surya di Tongchuan, provinsi Shaanxi, China, 11 Desember 2019./Reuters-Muyu Xu
Para pekerja berjalan di salah satu pembangkit listrik tenaga surya di Tongchuan, provinsi Shaanxi, China, 11 Desember 2019./Reuters-Muyu Xu

Bisnis.com, JAKARTA — Produk-produk teknologi yang mendukung transisi energi bersih berada di pusaran tarif tinggi yang diumumkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump awal April 2025.

Meski Trump memutuskan menunda pengenaan tarif balasan ke mitra dagang selama 90 hari dan mengecualikan sejumlah produk China, produk teknologi hijau seperti modul surya dan kendaraan listrik (electric vehicles/EV) tetap menjadi target tarif resiprokal AS.

Bahkan tanpa kebijakan protektif Trump, BloombergNEF mencatat bahwa negara-negara G20 telah menetapkan 16 tarif impor baru terhadap teknologi bersih sepanjang 2024. Kendaraan listrik asal China merupakan target utama dari tarif yang diterapkan oleh sejumlah negara maju seperti AS, Kanada dan Uni Eropa tahun lalu.

“Meski langkah ini dapat memberikan perlindungan bagi industri manufaktur lokal yang baru tumbuh, tetapi ia dapat memperlambat adopsi teknologi bersih dan menghambat upaya dekarbonisasi,” tulis Stephanie Muro dan Antoine Vagneur-Jones dalam laporan BloombergNEF.

Menariknya, negara-negara maju bukanlah satu-satunya aktor yang menerapkan tarif tinggi terhadap energi bersih. Brasil, Turki dan India juga turut menaikkan tarif terhadap produk-produk tersebut.

Terlepas dari tren protektif banyak negara pada teknologi bersih, perdagangan global produk-produk ini memperlihatkan pertumbuhan yang signifikan. Nilai ekspor teknologi bersih, peralatan jaringan listrik (grid) hingga mineral penting naik tiga kali lipat sejak 2017 dan nilainya menembus US$448,5 miliar dalam kurun Januari–November 2024.

“Hal ini memperlihatkan ketahanan global dan meningkatnya permintaan terhadap teknologi bersih,” tulis BloombergNEF.

Sebagai perbandingan, total ekspor teknologi bersih pada 2023 mencapai US$434,4 miliar. Produk teknologi bersih mendominasi dengan nilai US$286,2 miliar pada tahun tersebut, disusul oleh peralatan jaringan sebesar US$109,6 miliar.

Di tengah pertumbuhan ini, terdapat pula pergeseran pasar teknologi bersih. Eropa dan Amerika Utara dulu mendominasi pasar impor teknologi bersih. Namun akses bagi pengembang dan konsumen di negara-negara berpendapatan rendah kini makin lebar seiring dengan harga baterai, panel surya, dan kendaraan listrik yang makin murah.

Sebaliknya, tarif tinggi yang diberlakukan negara-negara Eropa dan Amerika Utara justru dapat mempercepat tren pergeseran tersebut.

Hal ini setidaknya terlihat dari pertumbuhan signifikan ekspor teknologi bersih China ke negara berkembang. Harga rendah yang didorong oleh kemajuan teknologi dan kelebihan kapasitas produksi di Negeri Panda menjadi faktor pendorong utama.

Negara-negara berpendapatan tinggi merupakan destinasi ekspor utama baterai (lithium-ion) China pada 2022, dengan pangsa yang menembus 65,3%. Sementara ekspor ke negara berpendapatan menengah ke bawah (lower-middle income) hanya sebesar 14,3% dari total ekspor baterai China. 

Namun struktur ini berubah signifikan dua tahun kemudian. Ekspor baterai China ke negara berpendapatan tinggi hanya berkontribusi 38,4% dari total nilai, sementara pangsa ke destinasi lower-middle income naik menjadi 25,4% dan middle income naik dari 20,3% pada 2022 menjadi 36,1% pada 2024. Tren serupa turut diperlihatkan pada ekspor kendaraan listrik, panel surya dan plug-in hybrids asal China.

“Meskipun dikenai tarif, produk teknologi bersih asal China tetap mampu bersaing secara harga,” demikian analisis BloombergNEF.

Negara-negara Barat makin gencar membangun manufaktur domestiknya untuk mengurangi ketergantungan impor. Namun ambisi ini terkendala kapasitas produksi yang belum mampu memenuhi permintaan.

Bahkan dengan tarif yang relatif tinggi sekalipun, biaya produksi yang murah tetap membuat produk China kompetitif. Hal ini makin memperjelas siapa yang berpotensi makin diuntungkan dalam perang tarif yang disulut Trump.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper